Minggu, 10 Maret 2013

Renungan

 "TEPO SELIRO" Lalu Ia berkata lagi: “Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan disamping itu akan ditambah lagi kepadamu.” (Markus,4: 24) Di dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga atau masyarakat sangatlah wajar bila terjadi konflik baik dalam skala besar dalam arti melibatkan banyak fihak, atau hanya melibatkan dua individu, atau bila dilihat dari substansinya sekedar sesuatu yang kecil, sepele seperti makanan, pakaian atau gaya, sampai pada masalah yang besar seperti politik, pembangunan dan sebagainya. Setiap hari kita melihat dan membaca di media masa, berbagai bentuk konflik yang kadang-kadang sampai menimbulkan kerusakkan bahkan korban jiwa. Dalam tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan cara kita memandang diri sendiri dan memandang orang lain. Ceritera dalam tulisan ini terinspirasi oleh ceritera seorang teman beberapa tahun yang lalu. Alkisah hiduplah sebuah keluarga yang memiliki anggota empat orang yang terdiri dari suami istri seorang anak yang masih berumur 5 tahun dan seorang mertua laki-laki. Keluarga ini hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka secara materi boleh dikata cukup bagi ukuran sebuah keluarga muda. Suami berumur 35 tahun sementara istrinya 30 tahun. Proses pacaran yang mereka jalani cukup lama sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Mereka termasuk pasangan yang beruntung karena rahmad Tuhan yang diterimanya. Mereka merasakan betapa Tuhan mengasihi mereka. Belum sampai setahun sakramen pernkawinan mereka terima, Tuhan telah menganugerahkan bibit manusia di dalam rahim istrinya, alias hamil. Ini dirasakan sebagai satu rahmad yang sangat membahagiakan pasangan muda ini. Sebab dia memiliki teman yang belum hamil meskipun perkawinannya 5 tahun lebih dulu dari pada dia. Hari demi hari kehidupan mereka jalani dengan penuh kegembiraan meskipun tidak selalu apa yang mereka butuhkan dapat dipenuhi setiap waktu. Hidup saling mengasihi membuat mereka mampu mengatasi kekurangan dalam rumah tangga. Perlu dimaklumi penghasilan yang mereka terima tidak besar meskipun keduanya bekarja. Suami bekerja sebagai PNS di Kantor Kota dengan pangkat golongan III/b dengan masa kerja baru 6 tahun. Sementara istrinya sebagai karyawan di apotik swasta. Begitu menikah mereka putuskan untuk hidup mandiri mereka ngontrak rumah, tentunya itupun rumah dengan ukuran kecil. Tapi mereka hidup dengan bahagia dan penuh kegembiraan. Sore hari saat makan bersama itulah saat yang paling di tunggu-tunggu seisi rumah. Setelah dipanjatkan doa syukur, yang biasanya dipimpin secara bergantian, mereka saling berbagi ceritera yang mereka alami pada hari itu. Yang paling menarik adalah ceritera dari Adik, anak mereka yang masih sekolah di Paud. Dengan gaya bicaranya yang kenes dan sering kali disertai dengan gerakan tangan yang menggambarkan kejadian yang diceriterakan. Alur ceritera yang tidak teratur serta lidahnya yang mesih pelat seringkali mendomonasi perhatian mereka. Sampai pada suatu hari terjadi perubahan yang sangat besar, bahkan 180’. Suasana makan malam yang biasanya berlangsung dalam kegembiraan, berubah menjadi suasana ketegangan yang mencekam. Semua orang membisu dan berusaha menyelesaikan makannya dengan cepat supaya segera dapat keluar dari suasana yang tidak menyenangkan itu. Termasuk adik yang biasanya ceria, malam itu ikut-ikut diam dengan wajah yang murung. Setelah mereka menghabiskan makanan di piring masing-masing yang biasanya ditutup dengan doa, malam itu diakhiri tampa doa. Si Ibu langsung berdiri dan mengangkat piring kosong ke dapur, si Suami duduk di beranda, pada hal biasanya membantu istrinya. Kakek masuk ke kamarnya, entah apa yang dilakukan sedang Adik bermain-main dengan bonekanya di depan TV. Suasana seperti ini tidak pernah terjadi selama ini. Rumah menjadi sangat sepi, tidak ada komunikasi di antara anggota, kecuali Adik yang ngomong dengan bonekanya layaknya sedang membujuk agar adiknya tidak menangis dan segera tidur. Dia menirukan apa yang dilakukan oleh Tantenya, adik ibunya yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya, kepada anaknya yang masih bayi. Memang hampir setiap hari Adik ada di sana, maklum setelah pulang sekolah dia hanya tinggal dengan Kakeknya. Perubahan suasana itu sebenarnya dipicu oleh kejadian yang tidak disengaja yang dilakukan oleh Kakek. Entah karena apa saat itu ketikan selesai Kakek memimpin doa makan, dan seperti biasa Kakek adalah orang pertama yang mengambil nasi. Pada saat mengambil nasi sebenarnya sudah ada tanda-tanda yang tidak beres, mereka semua melihat, tapi tidak bereaksi karena dianggap tidak ada yang istimewa. Saat itu tangan Kakek terlihat gemetar dan nampak gerakannya lambat, tidak seperti biasanya. Mereka semua melihat kecuali Adik yang sibuk bermain dengan kedua sendok di tangannya, layaknya dalang wayang golek. Tetapi tidak ada yang berpikir jauh bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada diri Kakek. Malapetaka terjadi pada saat Kakek mengambil sayur. Letak mangkok sayur kebetulan juga agak sedikit di tengah meja sehingga untuk mengambilnya Kakek terpaksa harus sambil sedikit mengangkat pantatnya dari kursi. Tempat duduk Kakek di sisi jauh dari meja, berseberangan dengan Adik. Sedang sisi yang dekat ditempati oleh ibu, karena dekat dengan dapur dan cool cast, sehingga mudah untuk mengambil sesuatu bila hidangan ada yang kurang. Untuk mengambil sayur, Kakek harus mengangkat mangkok sayur dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang sendok. Usaha Kakek ini tidak berhasil dengan mulus. Mangkok sayur yang ada di tangan jatuh di meja dan menimpa piring nasi Kakek. Keruan saja mangkok dan piring pecah serta isinya berhamburan bukan saja tumpah di meja makan tetapi juga berserakan di lantai. Kuah sayurnya menyebar di meja membasahi alas meja yang baru saja diganti hari itu. “Bapaaak;” teriak Ibu. “Kenapa bisa terjadi seperti ini?” tambahnya. “Alas meja ini baru saja diganti, Bapak tidak menghargai tenaga saya, saya mencuci, nyapu, ngepel, capek, capek lo Pak saya ini.” ibu dengan suara keras dan ekspresi wajah yang mununjukkan kemarahan dan kekesalan. Suami berusaha mendinginkan suasana dengan berkata: “Sudahlah Buuu, memang orang tua.” Jawaban suami yang demikian tidak membuat Ibu reda tapi justru menyulut kemarahan yang lebih besar lagi. “Sudahlah gimana? Ayah sih sesalu seperti itu, membela Bapak terus. Ayah lebih mencintai Bapak dari pada istrinya. Mulai besuk Bapak tidak lagi boleh makan satu meja dengan kita.” kata Ibu dengan muka yang semakin garang. Semua diam, Ayah tahu persis karakter istrinya, kalo sudah seperti ini tidak lagi bisa dilerai, apapun yang ia katakan selalu ditangkap salah. Kakek hanya diam dengan wajah yang menunjukkan penyesalan dia berkata lirih; “Maafkan Bapak.” sambil memberesi nasi dan sayur yang tertumpah. Mulai saat itu dan waktu-waktu selanjutnya, di sekeliling meja makan hanya ada tiga orang, sedang Kekek makan sendirian di meja kecil di depan kamar tidurnya. Suasana makan tidak lagi dipenuhi oleh canda ria seisi rumah karena mendengarkan ceritera Adik yang lucu. Doa makan mereka lakukan sendiri-sendiri tidak lagi doa bersama. Kebahagiaan yang ada di dalam keluarga ini seakan leyap dihapus oleh peristiwa Kakek yang menumpahkan sayur. Semua orang sibuk dengan pikiran dan kepentingannya sendiri-sendiri. Tidak ada komunikasi diantara mereka kecuali sesekali dengan Adik. Rumah ini sudah berubah menjadi tempat yang tidak nyaman untuk dihuni, untuk melepaskan tekanan yang dihadapi seharian di kantor. Bahkan tekanan pekerjaan di kantor menjadi semakin berat karena ditambah dengan tekanan suasana di rumah. Kebiasaan yang dilakukan Kakek semenjak muda adalah doa sebelum tidur, semenjak peristiwa di meja makan yang lalu, dalam doa, Kakek mengutarakan keluhannya pada istrinya yang telah meninggal, disamping mengucap syukur atas rahmad yang Allah berikan padanya pada hari itu serta mohon ampun atas segala dosa dan kesalahannya. serta istrinya, katanya: “Nek, trimakasih atas kasihmu kepadaku saat kau masih hidup, sebab saat ini kasih seperti itu tidak lagi aku peroleh dari menantu kita.” Sebab bukan hanya Kakek dilarang makan bersama satu meja tapi juga sikap, kata-kata dan perilaku yang ditunjukkan oleh menantunya tidak lagi mencerminkan kasih kepada mertua. Sebenarnya Kakek ingin sekali meninggalkan rumah anak dan menantunya untuk hidup di rumahnya sendiri. Tapi rasanya dia tidak mampu berpisah dengan cucu pertamanya itu, sehingga dia bertahan dalam penderitaanya. Dia mengingat Tuhan Yesus bersedia menderita bahkan bersedia mati demi sahabat yang dikasihinya. Itulah yang membuat dia bertahan dalam penderitaan batin. Pada suatu sore ketika Ayah dan Ibu pulang kantor menjumpai Adik sedang melakukan sesuatu sendirian di ruang tamu. Begitu melihat ayah dan ibunya datang. Adik berdiri setelah mengucapkan salam Adik berkata: “ Ayah, Ibu, hari ini kan malam minggu Adik ingin ke supermarket.” Hampir bersamaan Ayah dan Ibunya menjawab: “Iya sayang. Adik mau beli apa sih?” tanya mereka. Jawab Adik: “ Piring dan mangkok plastik” Terkejut mereka mendengar jawaban Adik lalu menambahkan pertanyaan : “ Buat apa, bukankah Adik sudah punya piring sendiri, bahkan ada gambarnya Princes. Apa Adik pingin gambar yang baru? Mengapa harus yang plastik, piring plastik kan jelek.” Kata Ibu menambahkan. Sambil melihat ke arah belakang dimana meja makan Kakeknya berada, Adik menjawab: “Biar nanti kalo Ayah dan Ibu sudah tua tidak memecahkan piring kalo makan, kayak Kakek.” Seperti disambar petir rasanya dua orang itu tersentak, matanya terbelalak dan mulut menganga, tenggorokan rasanya tersumbat, mereka tidak sanggup berkata-kata. Mereka saling tertegun sambil berpandangan satu sama lain seolah tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tanpa disadari air mata mereka mengalir dengan derasnya tanpa mampu mereka bendung sambil menjerit seakan melepaskan beban yang menghimpit dadanya meraka serempak jongkok dan memeluk Adik sambil terisak mereka berkata: “Maafkan kami Adik, selama ini Ibu telah berdosa kepada Kakek dan lebih-lebih pada Tuhan Yesus karena telah mengingkari kasihnya dengan memperlakukan Kakek secara tidak hormat”. Setelah berkata demikian mereka berdua berlari mendekap kaki Kakek sambil tak henti-hentinya menangis, dengan penuh penyesalan minta maaf kepada Kakek. Sejak saat itu kembalilah suasana gembira dan penuh kebahagiaan memenuhi rumah keluarga itu. Sering kali dalam hidup ini kita berprilaku seperti Ibu dalam ceritera tersebut. Kita cenderung menilai sesuatu diluar diri kita, apa itu orang, benda atau keadaan menurut persepsi kita, menurut nilai yang kita anut. Apa yang baik bagiku seharusnya begitu juga bagi orang lain. Bila tidak, itu jelek, salah, tidak berharga, maka harus dirubah, disesuaikan atau dibuang, dijauhi atau bahkan dimusuhi. Dalam ilmu sosiolagi dikenal salah satu sumber konflik individu atau konflik kelompok disebabkan oleh keinginan untuk menguasai sumberdaya (resources) untuk dirinya sendiri atau kelompoknya. Dan secara psikologis, manusia selalu merasa dirinya sendiri adalah yang paling baik, paling sempurna. Manusia cenderung sulit melihat kesalahan sendiri. tetapi sangat mudah melihat kesalahan orang lain. Karena hanya melihat kebaikan diri sendiri, maka orang lain nampak selalu jelek oleh sebab itu orang lain harus dirubah agar bisa aku terima, bukan aku yang harus berubah (karena aku sudah baik). Renungan di minggu III Prapaskah 2013 Malang, 4 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar