Sabtu, 05 Maret 2011

Mengenal diri

BENEH
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Matius 22 : 37 - 39


Beneh” bermakna dalam interaksi antar individu.
Saya menyadari bahwa belum tentu setiap orang Indonesia memahami makna kata tersebut. Sebab kata “beneh” berasal dari bahasa Jawa. Bahkan dari pengalaman saya bertatap muka dengan peserta Diklat Aparatur di lingkungan Kementerian Dalam Negeri khususnya di Jawa Timur,  meskipun mereka lahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa, belum tentu mereka memahami benar apa arti kata tersebut. Sampai-sampai dalam jokes yang sering saya berikan Saya bangga terlahir sebagai  Warga Negara Jawa, karena bangsa Jawa lebih tua dari pada bangsa Indonesia. Banyak ungkapan perasaan Orang Jawa yang tidak terwakili dalam kosa kata Indonesia secara tepat. Contoh “kunduran”, dalam kalimat: “Bapake mati amergo kunduran truk.” (Bapaknya mati karena ditabrak truk yang mundur.) Contoh lain adalah kata beneh. Saya yakin pembaca punya banyak lagi contoh yang lain.
            Dalam proses pembelajaran, saya selalu mengatakan bahwa tujuan inti dari kurikulum Diklat Aparatur adalah membuat PNS menjadi beneh, artinya memahami tugasnya dan fungsinya serta melaksanakannya sesuai dengan tugas dan fungsi  terdebut. Mereka tidak memahami benar makna kata beneh. Mereka pada umumnya menyamakannya dengan kata benar atau baik. Beneh menurut konsep Jawa bermakna lebih dari hanya sekedar benar atau baik.  Beneh adalah gambaran kondisi mental seseorang. Yaitu apa yang dipikirkan yang tidak dapat diketahui orang lain yang akan  terungkap dalam perilaku. Perilaku bisa berupa bicara, baik verbal maupun non verbal, juga bisa berupa gerakan. Jadi ke-beneh-an seseorang akan dapat diketahui orang lain lewat apa yang dilakukan  dan apa yang diucapkan.
            Bila kita membaca maupun mendengar berbagai berita di berbagai media masa, setiap hari selalu mendapati berita-berita tentang korupsi, kejahatan dalam keluarga, perlakuan kekerasan terhadap anak dan sebagainya. Seperti contoh yang sekarang ini lagi menjadi perhatian masyarakat adalah drama di lingkungan hukum dan peradilan dengan judul “Buaya dan cicak”, di bidang ekonomi dengan judul “Skandal Bank Centuri”, di bidang politik dengan judul “ Pansus Bank Centuri,” di bidang social dengan judul “Bebe”, dan masih banyak lagi di bidang yang lain, yang saya yakin pembaca tentu memiliki lebih banyak lagi kisah semacam itu. Pertanyaan yang timbul di pikiran kita adalah mengapa atau apa yang menyebabkan? Tentu anda memiliki banyak jawaban dengan berbagai argument. Dalam tulisan ini saya tidak hendak mencari penyebabnya apa lagi memberi solusinya. Saya yakin bahwa banyak diantara pembaca yang lebih kompeten dalam hal ini. Dalam tulisan ini saya hanya mencoba membuka wacana dan inspirasi lewat bermain-main dengan diri sendiri dan orang lain.
Beneh menjadi ukuran tingkat kedewasaan individu. Kedewasaan diukur dari keseimbangan antara penggunaan rasio dan emosi dalam menyikapi sesuatu, bukan dari jumlah tahun individu hidup di dunia. Dalam budaya Jawa ada ungkapan perasaan yang menggambarkan konsep beneh ini. “Wong tuwo kelakuanne kok koyo bocah.”  ( Orang tua perilakunya layaknya perilaku anak-anak.) Ini menunjukkan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang yang bukan anak-anak lagi.  Orang tua di sini menggambarkan seseorang yang sudah dewasa, yang sudah banyak belajar tentang kehidupan. Banyak tahu tentang norma atau etika pergaulan dalam masyarakat, dan pengetahuan ini akan menjadi dasar bagaimana ia menyikapi sesuatu. Sikap yang dianggap dewasa adalah sikap yang tidak berbeda dengan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Tapi sebaliknya ada ungkapan; “Bocah cilik omonganne kok koyok wong tuwo”. ( Anak kecil bicaranya layaknya orang tua.) Ungkapan ini menunjukkan konsep “beneh”.
Bila kita telaah dua ungkapan ini, menggambarkan adanya hubungan antara umur dengan perilaku. Logikanya semakin banyak umur seseorang, semakin banyak pengalaman dan pengetahuan yang ia miliki. Pengalaman dan pengetahuan ini tentunya tentang kehidupan, baik sebagai individu maupun masyarakat. Sebagai individu pasti memiliki nilai (value). Berdasarkan nilai inilah individu menyatakan sikap, setuju atau tidak setuju. Bukan hanya individu anggota masyarakat yang memiliki nilai, masyarakatpun memiliki nilai yang memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai tolok ukur terhadap sesuatu, baik orang, barang atau peristiwa. Berdasarkan inilah maka di masyarakat selalu ada apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Sesuatu dianggap baik bila sesuai dengan nilai, demikian sebaliknya yang dianggap jelek adalah yang tidak sesuai dengan nilai. Orang dewasa dianggap sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang nilai ini, sehingga layaklah bila dia dapat membedakan sesuatu yang sesuai dengan nilai dan yang tidak. Berbeda dengan anak-anak. 

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar