Kamis, 12 Januari 2012

Pengembangan Diri

Renungan diawal 20012
ANTARA CINTA DAN BENCI
“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ..tidak mencari keuntungan diri sendiri... Kasih tidak berkesudahan..”
(1 Kor 13)
Kata-kata yang sangat akrap dengan kehidupan kita sehari-hari yang menunjukan suasana hati kita. Cinta menggambarkan suasana hati yang positif dan benci yang negatif. Cinta dan benci laksana dua sisi dari sekeping mata uang, dimana ada cinta disitu ada benci. Batas antara cinta dan benci tipis sekali sehingga orang sering kali tidak dapat memisahkannya. Tetapi juga dapat dikatakan batas antara cinta dan benci sangat jauh sehingga tidak mungkin dipertemukan. Batas antara cinta dan benci sejauh antara Timur dan Barat, artinya batas itu adalah diri kita sendiri yaitu persepsi kita atau cara pandang kita.
Di lingkungan birokrasi cinta ini diwujudkan dalam bentuk kesetiaan (loyalty). Diawali sejak masa Orde Baru kesetiaan (Loyalitas) ini merupakan kata-kata yang sangat sakral. Dan bila diumpamakan sebgai sebuah senjata, kata loyalitas ini merupakan senjata yang sangat ampuh, sangat dahsyat yang mampu membunuh bukan saja karir dan karakter manusia, bahkan dapat membunuh manusia itu sendiri. Disamping sebagai senjata,loyalitas juga berfungsi sebagai alat pembeda antara teman dan lawan (politik). Nah parahnya lagi, loyalitas ini yang awalnya diarahkan pada ideologi negara Pancasila dan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia, dibelokkan kearah loyalitas pada Golongan Karya yang dianggap sebagai satu-satunya partai yang konsisten berdasarkan Pancasila. Sedang partai lain dianggap tidak konsisten alias meragukan kepancasilaannya. Pandangan yang demikian mewarnai dan mendasari seluruh segi kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya birokrasi. Sapta Praaerya Korp Pegawai Republik Indonesia diangkat menjadi Kode Etik Pegawai negari, mengalahkan pamor Undang undang kepegawaian.
 Satu peristiwa yang pernah saya alami diharapkan mampu memberikan pengertian yang jelas untuk membedakan antara cinta dan benci. Pada saat saya menjadi Kepala Bagian Pemerintahan di awal tahun 80an, Pemerintah Daerah memiliki program penyediaan perumahan bagi rakyat, sebagai bentuk pelaksanaan program Pemerintah Pusat. Pada suatu hari saya dipanggil Bupati untuk menghadap bersama Kepala Kantor Agraria saat itu (sekarang BPN). Beliau memberitahu kami tentang kebijakan Beliau untuk membangun perumahan yang mengambil lokasi di Kelurahan Beru, Kecamatan Wlingi sekaligus sebagai pendukung rencana tata kota Wlingi sebagai calon Ibukota Kabupaten. Beliau jelaskan bahwa rencana tanah telah ada seluas  25 Ha. Cukup sesuai dengan persyaratan Menteri Muda Perumahan Rakyat. Beliau menugaskan kami berdua untuk menyelasaikan pembebasannya. Ini memang tugas kami berdua sebagai Sekretaris dan anggota Panitia Pembebasan Tanah. Yang menjadi ganjalan kami berdua sebagai staf adalah arahan beliau tentang proses pembebasanya. Tanah yang direncanakan tersebut milik penduduk sekian puluh orang, saya sudah lupa jumlah persisnya. Untuk memudahkan proses pembebasannya,  kami diperintah untuk membantu proses pembelian 25 Ha tanah tersebut dari banyak orang oleh satu orang, kemudian dari satu orang tersebut baru Pemerintah membebaskan. Sudah ada kesepakatan harga dari pemilik kepada satu orang ini, meskipun secara informal yaitu dengan harga Rp 1000, per M2, dan nanti Pemerintah memberikan uang ganti rugi kepada pembeli  sebesar Rp.6.500 per M2 (yang menurut istilah sekarang dikenal dengan mark up) . Jadi ada selisih Rp. 4.500 yang akan dibagi-bagi antara lain untuk kami berdua masing-masing Rp. 1000. Per M2. Kalkulator di kepala saya langsung menghitung Rp. 1000 kali 2.500.000 = Rp. 2.500.000.000. Saat itu saya tidak dapat membayangkan seberapa tinggi tumpkan uang sebanyak itu sementara saya sebagai PNS dengan pangkat Pengatur III/b gaji pokok  saya Rp. 50.300. Sejenak kami berdua saling berpandangan. Saya tidak tahu bagaimana perasaan  Kepala  Agraria. Saya betul-betul terkejut dengan penjelasan itu, “setan” dari mana yang telah memberikan saran tersebut kepada Bupati. Saya sangat yakin Bupati saya tidak mungkin punya ide seperti itu, karena saya mengenal betul beliau setelah saya membantu beliau selama 3 tahun lebih. Beliau adalah orang yang tertip, rapi, teliti dan relatif jujur.
Saat kuliah saya memang pernah mendapatkan pelajaran Hukum Agraria yang salah satu sub pokok bahasannya adalah Landreform. Yang saya ingat dalam Undang-undang Landreform tersebut diatur batas maksimal luas pemilikan tanah oleh perorangan, tapi sudah tak ingat persisnya bagaimana. Untuk mencairkan kebekuan suasana akibat berita yang mengejutkan ini dan terutama kebekuan pikiran saya, maka saya tanya kepada Kepala Agraria; “Pak Ratno, namanya Suratno, apakah itu tidak melanggar batas maksimum pemilikan tanah?” Maksud saya supaya dia mau menjelaskan kepada Bupati. Belum lagi Pak Ratno membuka mulutnya, Bupati langsung menyela, dengan suara yang keras dan mimik yang mengesankan marah; “Ini perintah, laksanakan!” Mendengar perintah itu saya tidak kaget, karena saya tahu bahwa beliau cenderung impulsive dan reactive, dan saya tahu bagaimana meredamnya. “Siap pak, laksanakan. Mohon pamit.” Kami berdua meninggalkan ruangan. Diluar ruangan saya lihat teman saya wajahnya tegang tapi matanya meredup menunjukkan kegundahan, tangannya saya pegang dengan suara mantap “Ayo ke ruangan saya.”  Tanpa menjawab dia ikuti saya.
“Gimana, Pak Dirman ini ? Itu jelas salah.” Dia buka pembicaraan setelah minum teh yang dibuatkan staf saya. “Sudah begina saja, kita buatkan telaahan sataf, berikan saya landasan hukumnya nanti analisisnya saya buatkan. Intinya kita ingin menyelamatkan Bupati to?” Saya memberikan pemecahan untuk menenangkan pikirannya. Seminggu kemudian telaahan staf telah meluncur ke meja Bupati yang isinya dua alternatif, pertama melanjutkan program dengan proses sesuai peraturan, dan kedua menunda program.
Kedua-duanya dengan keuntungan dan kerugiannya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Bupati saat membaca telaahan saya karena beliau tidak pernah lagi membicarakan hal itu dengan kami. Saya hanya baca disposisinya yang berbunyi “Simpan.” Ini yang saya namai setiya (loyal) pada pimpinan.
Loyal atau setya tidak berarti harus mengiyakan, mendukung secara membabi buta  seperti yang dilakukan oleh para pendukung Bung Karno pada awal masa Orde Baru dulu dengan semboyan “Pejah gesang nderek Bung Karno”  (Hidup mati ikut Bung Karno). Setya juga bukan berarti membuat diri menjadi korban (martir).  Loyalitas atau kesetiaan juga tidak dapat diukur dengan  takut atau berani menentang. Sebab bila kita takut kepada otoritas atasan, kita akan cenderung mengiyakan perintah meskipun tahu bahwa itu salah. Dan sebaliknya bila kita takut ikut berbuat salah, kita akan cenderung menolak perintah. Pendekatan ini tidak menggambarkan loyalitas yang dilandasi oleh rasa cinta tetapi justru sebaliknya. Cinta kasih mengandung konsekuensi berupa rasa tanggungjawab. Cinta tidak akan merelakan yang dicintai menjadi celaka atau menderita. Bahkan kita rela menderita demi yang kita cintai. Jadi cinta mengandung tanggungjawab menyelamatkan, membuat orang yang dicintai menjadi bahagia. Saya ingat kata teman saya Handoyo dalam budaya Cina, sebagai ungkapan cinta anak kepada orang tuanya, dia rela mengorbankan dirinya untuk santapan nyamuk dengan tidur telanjang di kamar orang tuanya sebelum orang tuanya berangkat tidur (maklum saat itu belum ada obat nyamuk).
Lalu bagaimana dengan benci? Saya yakin bukan hal yang sulit untuk memahami kata benci, bahkan saya yakin kita semua tahu bagai mana rasanya benci. Dalam kehidupan kita tentu ada sesuatu yang kita benci. Sesuatu itu bisa berupa benda, manusia atau situasi. Coba kita bayangkan bila kita mempunyai seseorang yang kita benci. Coba hadirkan orang tersebut secara imajinatif dihadapan anda. Bayangkan anda sedang memandang dia, anda akan merasakan aliran darah naik ke kepala, bola mata yang terasa membesar sehingga mendesak kelopak mata untuk terbuka lebih lebar. Akibatnya banyak udara yang masuk sehingga mata  terasa pedas, diikuti oleh rahang yang terasa kaku, gigi beradu dan bibir terkatup rapat.  Leher dan bahu menjadi tegang dan kaku, tangan mengepal,lurus dan sedikit merenggang dari tubuh. Dan dalam pikiran kita hanya ada dua pilihan pukul atau lari. Artinya kita buat dia menyingkir dari hadapan kita atau kita yang menyingkir. Dalam benci tidak ada kasih, tidak ada kerelaan untuk berkorban yan ada kerelaan untuk kehilangan, bukan menyelamatkan tapi mencelakakan.
Sebaliknya kitapun pernah merasakan mendapatkan perlakuan dari orang yang membenci kita? Dapatkah kita memastikan bahwa seseorang telah membenci kita? Apa yang menjadi indikatornya? Apakah orang tersebut memiliki sikap yang sama dengan sikap yang kita perlihatkan kepada orang yang kita benci? Apakah sikap yang sama itu berarti orang tersebut juga membenci kita? Coba anda bandingkan dengan ceritera saya diatas. Saya berani menolak perintah atasan bukan karena benci, tapi karena cinta, yang saya aktualisasikan dalam bentuk penolakan perintah yang salah. Tujuannya agar semua selamat. Orang benci tidak akan memiliki tujuan menyelamatkan, sikap dan perilakunya justru bermanis-manis kepada kita. Lalu apa indikator yang membedakan antara benci dan cinta tidak ada lain kecuali nilai atau tujuan.
Saya ingat ceritera Guru agama saya waktu di SMP tentang perbedaan antara Setan (Iblis?)  dan Malaikat, saya tidak tahu ceritera itu beneran atau fiktif . Pada saat itu tentu saya anggap beneran, ceritera itu sekarang tentunya sudah saya modifikasi, tetapi tema dan alurnya tetap asli, begini ceriteranya. Setan menggambarkan sosok umat Allah yang jelek, jahat, kejam, dan tidak memiliki cinta kasih, bahkan cinta kasih kepada Allah sekalipun. Yang menjadi tujuannya adalah agar manusia tidak menyembah Tuhan tetapi menyembah dirinya. Dan Setan itu bukan makluk yang bodoh, sebab Tuhan tidak pernah menciptakan makluk yang bodoh. Artinya bahwa Setan itu pandai dan cerdik. Untuk membuat manusia mau menyembah dia, Setan berangkat dari strategi mengenal kondisi pisik dan psikologi manusia. Bahkan Yesuspun dipengaruhinya. Ingat ceritera  Matius 5: 1-11. Waktu itu teori Abram Malow belum ada, tapi Setan tahu bahwa tindakan manusia didorong oleh tujuan terpenuhinya  kebutuhan. Jadi kebutuhanlah yang mendorong (memotivasi) manusia untuk mau melakukan atau tidak mau melakukan sesuatu. 
Nah disinilah kecerdikan Setan, karena dapat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan individu pada setiap waktu dan tempat. Nah, agar manusia mau mengikuti dirinya maka setan menawarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan individu saat itu. Dan tawaran Setan itu pasti sesuatu yang menarik, yang akan mengenyangkan, yang memberikan kenikmatan, kebahagiaan, penghormatan dari sesama, kekuasaan, sudahlah pokoknya semuanya itu dijamin puas. Dan lebih menarik lagi dia juga menawarkan cara yang paling mudah, cepat, singkat dan menyenangkan untuk mendapatkannya.
Oleh sebab itu ada dua pandangan manusia tentang Setan, satu fihak mengatakan bahwa Setan itu jahat ini bagi mereka yang menghargai proses untuk mencapai tujuan. Artinya bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik. Peran Setan di sini adalah selalu berupaya menghalangi manusia. Dalih yang dipergunakan adalah ingin melindungi manusia dari kesengsaraan, penderitaan, sebab upaya yang baik itu membutuhkan pengorbanan yang besar, baik berupa tenaga, waktu,pikiran, harta dan bahkan nyawa. Untuk menjadi kaya kita harus menabung, harus kerja keras, harus hidup hemat. Untuk pandai kita harus tekun belajar, banyak membaca, tidak malu bertanya. Untuk hidup sehat kita harus mengatur pola makan, olah raga dan intirahat mencintai semua orang, dan ini adalah penderitaan. Dari sini maka ada yang memandang Setan itu baik bagi mereka yang berpandangan; Tujuan menghalalkan cara. Kalau dapat dipermudah mengapa dipersulit, bukankah yang penting tujuan tercapai? Coba kita lihat kehidupan manusia disekeliling kita, termasuk diri kita sendiri, mana lebih banyak atau lebih sering kita lihat orang yang menganggap Setan itu jahat apa baik? Sangat berbeda dengan Malaikat, mereka ini adalah balatentara Allah yang ditugasi untuk menjaga manusia dari kesengsaraan, dari kesesatan dengan selalu berbuat baik. Itulah sebabnya maka di dunia ini Setan lebih banyak mendapat pengikut dari pada Tuhan, lebih-lebih di Indonesia saat ini.
Apa bila kita simpulkan kita tidak mudah menilai sikap orang lain terhadap kita. Kita tidak dapat menilai maksut orang lain hanya dari sikap dan perbuatan mereka terhadap diri kita. Cinta seringkali ditampilkan dengan sikap dan perilaku yang menyakitkan dan sebaliknya benci seringkali dibungkus dengan keindahan.
Semoga bermanfaat.