Kamis, 07 Juli 2011

MENGEMBANGKAN DIRI

SEANDAINYA LAWAN BERIKUTNYA

Fransiscus
Renungan bulan Juni 2011.
Kita bayangkan diri kita sedang berdiri di jalan dan menghadap kearah satu jurusan, kata “seandainya” menggambarkan tempat yang berada di belakang kita, sedang kata “berikutnya” menggambarkan tempat yang berada di depan kita. Atau dengan kata lain seandainya menggambarkan peristiwa masa lalu yang sudah kita jalani, sudah terjadi dan merupakan catatan sejarah hidup. Sedang berikutnya adalah apa yang akan kita lakukan, perjalanan yang akan kita tempuh, peristiwa yang belum terjadi. Dari gambaran singkat ini kita menjadi tahu bahwa dua kata ini menggambarkan makna yang berbeda. Kata seandainya menggambarkan kodisi mental seseorang yang merasa menyesal atas apa yang telah terjadi karena tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Penyesalan merupakan hasil dari kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan. Sedang berikutnya adalah gambaran suasana hati yang penuh harapan terhadap sesuatu yang yang belum ada, belum terjadi. Berikutnya mununjuk pada apa yang akan dilakukan kemudian, setelah melihat hasil  saat ini yang kurang memuaskan serta didorng adanya sesuatu yang diharapkan akan diperoleh.   
 Apa yang menjadi latar belakang pemikiran saya menetapkan topik ini dalam  perjumpaan kita di bulan Juli ini,dengan mempertentangkan dua kata ini? Apa yang ingin saya peroleh dari hasil pertandingan dua kata tersebut? Hidup adalah sebuah proses yaitu proses untuk menjadi semakin baik, ini yang tiap orang inginkan. Tetapi apakah setiap orang akan mendapatkan hal seperti itu? Saya yakin tidak. Kenyataannya ada orang yang merasa menjadi semakin baik tapi lebih banyak lagi orang yang merasa sebaliknya. Mengapa terjadi seperti itu?
Hidup adalah proses, kemarin, hari ini dan besuk.
Dari literatur baik dibidang biologi, psikologi maupun sosial tertulis bahwa hidup manusia berkembang dari kecil menjadi besar, dari bayi, ke anak-anak, kemudian remaja, dewasa dan akhirnya manula. Masing-masing tahapan memiliki ciri tertentu sehingga dapat dikenali seseorang telah berada pada tingkatan yang mana. Ciri-ciri itu dapat dilihat dari berbagai aspek. Secara biologis berupa perbedaan tinggi badan, volume suara, kematangan organ sexual dan lain-lain. Dari aspek psikologi berupa perkembangan cara berpikir, keseimbangan antara rasio dan emosi. Dari aspek sosial berupa kualitas dan kuantitas interaksi dengan orang lain. Sejarah tidak perlah terulang, demikian juga pertumbuhan diri kita. Kita tidak akan pernah menjadi bayi lagi.
Dalam proses pertumbuhan ini, atau yang disebut dalam perjalanan hidup ini, manusia tumbuh, berkembang malalui berbagai peristiwa, pengalaman hidup. Manusia berinteraksi dengan lingkungan baik lingkungan manusia maupun lingkungan alam. Di sinilah manusia belajar untuk dapat mengetahui bagaimana lingkungan berpengaruh dalam hidupnya. Baik pengaruh itu positif yaitu yang bermanfaat dalam upaya menuhi kebutuhannya, maupun yang negatif yang menghalangi terpenuhinya kebutuhan. Proses belajar ini dimulai sejak masih dalam kandungan, meskipun manusia belum memahami apa yang tertangkap dengan inderanya sampai saat mati. Bila kita  mengikuti hasil penelitian para ahli, mereka menemukan bahwa janin dalam kandungan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya. Perasaan seorang ibu saat mengandung dapat mempengaruhi kondisi janin dan bahkan akibatnya akan tetap dapat dilihat pada saat menjadi manusia dewasa. Atas dasar pendapat inilah maka dalam pendidikan dikenal progran pendidikan seumur hidup (life long education), pendidikan manusia sepanjang hayat dimulai sejak dalam kandungan.
Apa jadinya diri kita setelah dewasa? Diri kita diwarnai oleh apa yang kita peroleh dari masa lalu. Hasil belajar masa lalu menjadi suatu kebenaran (belief). Karena apa yang telah kita alami adalah fakta, kenyataan, atau bukti yang tidak terbantahkan. Sehingga tidak salah bila kita selalu melihat sesuatu dengan kaca mata hasil masa lalu itu (the human memory system). Saya punya saudara sepupu yang umurnya lima tahun dibawah saya, sampai sekarang dia tidak mau makan daging sapi. Ketika saya tanya mengapa tidak mau daging sapi? Ia selalu menjawab gak tahu. Sebenarnya saya sudah tahu bahwa dia tidak suka dan sebenarnya saya tahu juga apa sebab dia tidak suka daging sapi. Ceriteranya begini.  Dia punya kakak lain ayah yang usianya dua tahun diatas saya. Pada saat kakaknya disunat (kitan) kira-kira tahun 1955, sepupu saya ini, Henry namanya, kira-kira berusia tiga tahun. Pada saat itu bagi orang kaya di desa, peristiwa sunatan, apa lagi anak pertama merupakan peristiwa besar, yang ditandai dengan pesta besar-besaran. Untuk menjamu para tamu dalam pesta tersebut,  orang tuanya menyembelih sapi jantan tambun.
Peristiwa penyembelihan sapi inilah yang menyebabkan Henry sampai tua tidak mau makan daging sapi. Saat itu penyembelihan sapi dilakukan sendiri oleh orang desa dibawah pimpinan Modin (pemuka agama ). Penyembelihan dilakukan di halaman belakang  rumah. Saya dan teman-teman, termasuk Henry melihat proses penyembelihan itu. Pertama dibuatkan lubang dan di dalamnya diletakkan tempayan. Di bibir lubang diletakkan batang pisang. Kemudian sapi diikat pada dua kaki di sisi kanan sedang kaki kiri dibiarkan bebas. Masing-masing tali pengikat kaki tersebut dipegangi dua orang, sementara kepalanya dipegangi satu orang. Pak  Modin membawa sebilah pisau besar yang mengkilap sedang tangan kiri memegang sepotong daun pisang. Setelah semua petugas siap, Pak Modin memberi aba-aba, satu, dua, tiga, haaap. Masing-masing orang pemegang tali dengan serempak menarik tali, bluug sapi jatuh, Pak Modin langsung menggorok leher sapi dengan pisau besarnya, menyemburlah darah dari leher sapi dan  ternyata daun pisang yang dibawa Pak Modin tadi dipergunakan untuk menutupi semburan darah dari leher. Saya tidak tahu apa yang menjadi sebabnya, tahu-tahu sapi terlepas dari penguasaan orang-orang tadi dan berdiri, lalu berlari-lari. Semua orang yang melihat termasuk anak-anak menjerit sambil lari ketakutan. Ini berjalan beberapa waktu sampai akhirnya sapi terjatuh karena kehabisan darah. Sejak saat itu Henry tidak mau makan daging sapi.
Hasil belajar menjadi kebenaran (belief) dan inilah yang kemudian menjadi pedoman, menjadi alat evaluasi, menjadi pisau analisis, menurut istilah Bung Karno, terhadap stimulus yang tertangkap oleh indera. Dan hasilnya setuju atau tidak setuju. Proses ini terjadi secara otomatis karena telah tertanam dalam pikiran bawah sadar kita (unconcious mind). Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa 88% - 90% hidup kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar kita, sedang pikiran sadar kita hanya berpengaruh sebesar sisanya. Pikiran sadar berfungsi hanya saat  proses pengambilan keputusan dalam menghadapi kenyataan yang tidak sesuai (masalah), realitas yang terjadi saat ini, sekarang. Jadi pikiran sadar berfungsi untuk menghadapi kenyataan, kekinian. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa apa yang ada sekarang adalah hasil kemarin, maka pikiran sadar dalam menentukan keputusan selalu mendasarkan pada hasil pengalaman kemarin.
Pengambilan keputusan dalam pikiran kita selalu berjalan dalam  tahap- tahap. Tahap pertama adalah identifikasi, yaitu proses mengenali ciri-ciri suatu fenomena yang tertangkap oleh indera. Dari tahap ini kita mendapatkan ciri-ciri suatu benda atau peristiwa. Pada tahap inipun kita tetap berpegang pada hasil belajar. Contoh waktu kita melihat satu benda. Bentuknya bulat, lebih besar dari genggaman, ada bulunya, warnanya kuning kehijauan, ada garis lengkung yang membelah permukaanya, tidak keras tapi lentur, dan bila dijatuhkan melanting. Kita dapat melihat dan merasakan benda tersebut dan mengenali ciri-cirinya berdasarkan hasil belajar kita. Kita tidak dapat mengatakan bentuknya bulat, bila kita belum punya memori tentang bentuk bulat ini. Setelah kita mengenali ciri-cirinya baru kita ke tahap kedua yaitu membandingkan. Tahap ini membandingkan hasil identifikasi tadi dengan benda lain yang sudah pernah kita ketahui, kemudian kita masuk tahap ketiga, melakukan evaluasi sehingga akhirnya  kita dapat mengatakan benda itu bola tenis sebagai tahap keputusan aku suka apa tidak.
Hidup kita terdiri dari serangkaian keputusan ke keputusan. Setiap detik kita harus mengambil keputusan. Hidup kita merupakan hasil keputusan yang kita ambil setiap saat. Bahkan dampak keputusan yang kita ambil saat ini tetap kita rasakan akibatnya seumur hidup. Saya sering mendengarkan acara wejangan Bhiksu yang disiarkan oleh salah satu TV swasta di Malang, saya menangkap dari persepsi saya lo, bahwa dalam ajaran Buda, yang penting adalah hidup saat ini, bukan kemarin atau besuk setelah mati. Berusahalah hidup yang baik saat ini. Saya dapat memahami pandangan itu karena memang sekarang inilah realitas, konkrit yang bisa kita rasakan. Sedang besuk kita belum tahu tetapi dapat diyakini bahwa hasil  saat ini berdampak pada kehidupan besuk. Dan apa yang ada saat ini merupakan hasil kemarin. Apabila ingin menikmati hidup yang baik, maknailah hidup saat ini. Setiap detik, setiap keputusan yang kita ambil haruslah yang baik.
Lalu bagaimana dengan masa lalu, dengan keputusanku kemarin atau yang baru saja kita lakukan? Ada salah satu sisi negatif dalam diri kita dimana kita tidak dapat membedakan antara realitas dan impian. Ini terjadi pada saat kita melamun, bermimpi, kita tidak lagi menyadari keberadaan kita saat ini. Pikiran kita hanya terfokus pada impian, khayalan, angan-angan, ilusi. Sering pada saat seperti ini membuat kita tidak mendengar suara, tidak melihat atau merasakan keadaan sekitar. Mata kita terbuka tetapi tidak melihat, telinga tidak mendengar karena pikiran asyik menggambarkan sesuatu yang berada di luar kenyataan. Bila kondisi seperti ini terjadi setiap saat kita menghadapi kenyataan, tentu keputusan yang kita ambil akan salah.
Memang masa lalu memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap hidup kita saat ini dan besuk, tetapi kita perlu ingat bahwa kita tidak dapat merubah masa lalu. Kita tidak dapat hidup kembali pada masa lalu. Masa lalu adalah fakta, sejarah yang sudah pasti, permanen. Kita bisa menghilangkan catatan peristiwa masa lalu, tetapi kita tidak dapat merubah sejarah. Seperti contoh hilangnya SUPERSEMAR yang keramat itu, atau yang dikeramatkan oleh Pak Harto, tetapi sejarah telah mencatat terjadinya peralihan kepemimpin negara yang tidak dilakukan melalui proses Undang Undang Dasar, sehingga sampai sekarang tetap menjadi misteri. Selain itu masih banyak sekali peristiwa masa lalu bangsa kita yang telah dilupakan karena tidak tercatat atau catatan telah hilang. Perlu kita akui bahwa sebagai bangsa kita belum atau tidak memiliki budaya mencatat. Masih banyak pemikiran atau peristiwa besar yang berkaitan dengan orang-orang besar yang tidak tercatat. Dan kondisi ini tentu ada hubungannya dengan budaya membaca dan budaya belajar. Pada dua budaya terakhir inipun kita masih lemah. Demikian juga halnya hidup kita secara pribadi tidak banyak yang memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Secara sederhana dapat dilihat dari prilaku para peserta diklat aparatur yang saya hadapi setiap hari. Meskipun buku bahan ajar sudah dibagikan saat mereka cek-in tetapi belum juga dibaca sampai jadual pembelajaran dimulai, dan apabila saat pembelajaran di kelas mereka diberi waktu untuk membaca, sebagian besar tidak melakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu tidak salah bila ada orang yang berkata bahwa dengan kematian seseorang sama dengan terbakarnya sebuah perpustakaan.
Lalu apa yang perlu kita lakukan terhadap masa lalu? Banyak orang mengatakan masa lalu cukup kita pergunakan sebagai kenangan. Ada juga yang berpendapat masa lalu kita pergunakan sebagi pelajaran. Bung Karno mengingatkan bangsanya untuk tidak meninggalkan sejarah (JASMERAH). Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, tapi saya juga tidak menganggap sepenuhnya benar. Semuanya perlu dilihat dari konteknya serta manfaatnya terhadap tujuan yang diinginkan. Mengapa demikian, karena dunia ini berputar, semua berubah, tidak ada yang permanen, kecuali perubahan itu sendiri. Suatu masalah selalu timbul dari setting (latar) suasana tertentu. Latar suatu masalah terdiri dari berbagai aspek baik itu alam yang terdiri dari berbagai unsur, aspek masyarakat yang terdiri dari banyak unsur, juga aspek pribadi yang terdiri dari banyak unsur juga. Aspek-aspek ini semua berpengaruh terhadap masalah yang terjadi dan yang penting difahami aspek –aspek itu berubah dalam perjalanan waktu. Jadi seandanya toh di kemudian hari terjadi masalah yang sama, tetapi yakinlah bahwa kondisi aspek yang berpengaruh sudah berubah, tidak sama persis dengan kondisi aspek yang berpengaruh terhadap masalah yang lalu.  Dengan demikian kita  akan salah bila menggunakan pendekatan penyelesaian yang sama dengan penyelesaian masalah yang lalu. Bila demikian yang terjadi bukan meyelesaikan masalah tanpa masalah, seperti semboyannya PN Pegadaian, tetapi menyelesaian masalah yang menimbulkan masalah baru. Inilah yang banyak terjadi di negara kita.
Ungkapan seandainya, konotasinya negatif karena berkaitan dengan penyesalan, kekecewaan karena hasil yang diperoleh tidak sebagaimana yang diharapkan. Penyesalan karena menyadari telah terjadi kesalahan pengambilan keputusan, atau kerena sesuatu yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan. Ungkapan seandainya lahir karena kekurang sempurnaan.Seandainya mengharapkan adanya pengulangan agar tidak salah. Tentu saja ini harapan yang mustahil, sejarah tidak pernah terulang.
Untuk menghindari kekecewaan terhadap apa yang telah terjadi, saran saya adalah pandanglah masalah sekarang dengan cara pandang sekarang, ini cara yang ampuh untuk menghapuskan penyesalan, menghilangkan penggunaan kata seandainya dari khasanah pikiran kita. Gunakanlah perspektif kekinian untuk melihat hari ini. Fakta apa yang saya tangkap dengan indera? Artinya lakukan modifikasi terhadap informasi hasil belajar yang telah tersimpan dalam memori dengan cara berpikir lateral, berpikir kritis. Selalu bertanya apakah pengetahuanku masih sesuai dengan fakta, apakah masih bermanfaat? Bila tidak, apakah perlu dirubah, atau diganti? Bila jawabannya ya bagaimana merubahnya atau apa penggantinya? Dengan berpikir demikian maka apa yang aku lakukan saat ini selalu up to date.
Kesulitan dalam berpikir kekinian adalah arsip masa lalu yang disebut belief. Kita cenderung menggunakan hasil belajar masa lalu sebagai acuan untuk bertindak masa kini. Pengetahuan pada dasarnya adalah apa yang sudah kita ketahui. Apa yang sudah terjadi itulah fakta, yang benar. Apa yang benar akan menjadi pedoman dalam bertindak,  yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi nilai, apa yang berharga. Dalam kehidupan kita nilai ini berfungsi sebagai batu penjuru yang menjadi pedoman arah perjalanan hidup kita. Apa yang akan kita wujudkan dalam hidup ini, karena nilai menggambarkan sesuatu yang berharga bagi kita. Disamping sebagi batu penjuru, nilai juga berfungsi sebagai alat evaluasi yang menentukan sesuatu itu baik atau buruk, sehingga kita dapat memutuskan respon kita, setuju atau tidak setuju. Kita selalu mengambil keputusan berdasarkan kecocokan dengan nilai ini. Hasil (nasib) yang kita peroleh merupakan akibat dari keputusan ini.
Lalu bagaimana dengan berpikir berikutnya? Berikutnya terjadi setelah tahab sekarang. Berikutnya merupakan langkah yang akan dilakukan berdasarkan apa yang telah dilakukan.  Jadi berikutnya merupakan langkah untuk mewujudkan impian, harapan yang belum nyata. Karenanya maka kata berikutnya membutuhkan karakteristik yang berbeda dengan seandainya. Agar kita tidak lagi terjebag pada penyesalan, kekecewaan yang terulang, maka berikutnya harus kita maknai secara rasional. Artinya berangkat dari realitas, kekinian. Yang pertama adalah apa kebutuhan utama yang harus aku penuhi. Dalam hal ini kita perlu dapat mengklarifikasi secara jelas supaya tidak rancu dengan keinginan. Kebutuhan mengacu pada sesuatu yang harus terpenuhi karena keberadaanya diperlukan dalam kehidupan. Definisi dari Stephen P Robbins dalam Perilaku Organisasi, kebutuhan berarti suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil-hasil tertentu tampak menarik. Kebutuhan berfungsi mendorong individu berupaya untuk memenuhi. Tinggi rendahnya semangat suatu upaya tergantung dari tinggi rendahnya tingkat menarik tidaknya sesuatu itu bagi individu.  Sedang keinginan tidak selalu mendorong individu untuk mewujudkan.  Kedua sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sumberdaya disini khususnya adalah sumberdaya mental yang berupa kemampuan pendaya gunaan pikiran. Karena dilihat dari potensi (daya pikir) semua orang relatif sama, yang berbeda adalah pendaya gunaan potensi tersebut.  Tentang apa dan bagaimana daya pikir dan pendaya gunaan pikiran akan dibahas dalam perjumpaan yang lain.
Dua hal inilah yang kita perlukan untuk melakukan berikutnya yaitu tujuan yang jelas serta kemampuan yang nyata-nyata diperlukan untuk mewujudkannya.
Semoga bermanfaat.