Senin, 05 Maret 2012

Kepemimpinan

Kepemimpinan Pelayanan.
(The Servant Leadership.)

Fransiscus.
Renungan di awal Mart 2012.

Bila kita berbicara tentang pimpin - memimpin kita dapat megumpulkan banyak sekali referensi yang bisa kita pergunakan sebagai rujukan. Dalam tulisan kali ini saya tidak akan bicara tentang apa pemimpin, saya yakin Anda semua pasti sudah memahami. Saya akan lebih menekankan pada bagaimana seharusnya seorang memimpin orang lain agar sukses. Dari sinipun saya yakin banyak pendapat para ahli yang dapat kita acu. Salah satu yang menjadi fokus acuan tulisan ini adalah Injil Markus Bab 10 ayat 43 sampai dengan 44. yang berbunyi: “Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka diantara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semuanya.”
Sebelum membahas lebih jauh tentang memimpin mari kita satukan dahulu pemahan kita tentang memimpin. Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pendapat para ahli bahwa memimpin itu adalah upaya, kegiatan, proses mempengaruhi, mengajak, mendorong orang lain agar mau melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pengertian ini apa bila kita analisis, setidaknya mengandung empat unsur; (1) diperlukan kemampuan dari pemimpin, (2) ada aktivitas mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar atau sengaja, (3) ada orang lain yang menjadi obyek aktivitas, dan (4) ada tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin. Mari kita bahas satu – persatu unsur-unsur tersebut.
1. Kemampuan memimpin harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar ada ketaatan dari pengikut. Bila kita mengacu pada pendapat para ahli teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory of leadership) seorang pemimpin harus memiliki kelebihan kemampuan berupa sifat (character) yang diperlukan untuk mempengaruhi orang lain. Sifat ini bisa yang baik, bisa juga yang jelek menurut ukuran umum tergantung dari tujuan dan lingkungan dimana interaksi tersebut terjadi. Misalnya di lingkungan TNI memiliki sebelas azas kemepimpinan, di lingkungan pendidikan dikenal ing – ing – tut, dari Ki Hajar Dewantoro. Bila tujuan pemimpin itu jahat atau kepemimpinan dalam lingkungan kejahatan, pemimpin dituntut memiliki kelebihan sifat yang berbeda misalnya kekejaman, sadisme, narsisme.
2. Aktivitas mempengaruhi tersebut dilakukan dengan sadar, artinya direncanakan dengan baik. Aktivitas itu melibatkan kemampuan rasional dengan menganalisis siapa yang akan dipengaruhi, tujuan apa mempengaruhi, dan dalam seting apa aktivitas itu terjadi. Hasil analisis ini akan menentukan bagaimana pemimpin menggunakan kelebihan sifat yang dimilikinya untuk mempengaruhi orang lain. Kemampuan mempengaruhi ini diperoleh bukan semata-mata dari keturunan (born to be the leader) tetapi juga karena belajar.
3. Ada orang lain yang menjadi obyek aktivitas pemimpin. Aktivitas memimpin itu pada hakekatnya adalah membuat orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Bentuk konkritnya bisa berupa mempengaruhi, meminta, memerintah, mendorong dan semacamnya. Mana bentuk mempengaruhi yang akan dipergunakan tergantung pada siapa yang dipengeruhi, apa tujuan yang ingin diperoleh dan seting aktivitas mempengaruhi itu terjadi. Lalu mengapa orang lain itu mau dipengaruhi? Memang banyak sekali para ahli yang menulis tentang teori kepemimpinan, tetapi sedikit sekali para ahli menulis tentang teori kepengikutan. Maka tidak salahlah (kalau saya salah ya minta maaf) bila dikatakan pengikut atau bawahan itu dipandang sebagai obyek. Yaitu sasaran kegiatan pemimpin. Ketaatan pengikut atau bawahan kepada pimpinan didorong oleh adanya harapan terpenuhinya kebutuhan. Pengikut menggantungkan, menyandarkan, ini bila dianggap bawahan sebagai obyek, kebutuhannya pada pemimpin?
4. Ada tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin. Dalam buku-buku kepemimpinan, aktivitas mempengaruhi orang lain selalu dalam kontek organisasi. Kepemimpinan terjadi dalam kontek hubungan kerjasama, karena teori organisasi merumuskan organisasi adalah wadah, struktur, bentuk hubungan dua orang atau lebih untuk mewujudkan tujuan bersama. Jadi dua orang itu sudah merupakan organisasi karena sudah ada struktur, ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi. Yang menjadi bahan diskusi adalah adanya tujuan dua fihak atau tujuan bersama, itu belum tentu sama. Cobalah diingat interaksi antara Ortu dan anak. Waktu Ortu meminta sesuatu kepada anak belum tentu tujuan Ortu juga tujuan anak. John Kotter dalam bukunya Power influence, mengatakan dalam organisasi, apa lagi organisasi yang besar, selalu ada tiga tujuan, pertama tujuan organisasi, kedua tujuan kelompok, dan ketiga tujuan individu.

Disamping analisis unsur, kita juga dapat melakukan analisis posisi atau struktur. Aktivitas mempengaruhi, mengajak, mendorong, bahkan memerintah, meminta orang lain untuk mencapai tujuan dirinya, bernuansa yang mempangaruhi lebih tinggi dari pada yang dipengaruhi. Yang mempengaruhi disebut pemimpin dan yang dipengaruhi disebut pengikut atau bawahan. Posisi yang lebih tinggi itu karena yang memimpin mempunyai kelebihan yang dibutuhkan oleh yang dipengaruhi. Kelebihan itu bisa dalam bentuk formal yaitu kewenangan mengambil keputusan, maupun non-formal berupa kekuatan moral, kekuatan pisik, kekuatan intelektual dan sebagainya. Dengan posisi seperti itu maka peran dan fungsi yang bersifat penetratif seperti itunaren maka secara substansial begitu terjadi interaksi antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan, baik tujuan bersama maupun tujuan individu, otomatis akan terbentuk struktur. Menurut konsep para ahli, pemimpin memiliki kelebihan kekuasaan dibandingkan dengan yang dipimpin. Atau bila kita berangkat dari fihak yang dipimpin, kepatuhan seorang pengikut kepada pemimpin karena pengikut mengakui adanya kelebihan kekuatan yang dimiliki pemimpin dibandingkan dirinya dan dengan mematuhi kehendak pemimpin ada harapan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang dia butuhkan.
Pemahaman yang demikian ini sangat umum dimiliki baik dilingkungan birokrasi, swasta maupun masyarakat. Indikatornya adalah adanya perbedaan yang sifatnya struktural antara pemimpin dan pengikut.Secara konkrit dapat dilihat pada kewenangan pengambilan keputusan, porsi tanggungjawab, pangkat bila di birokrasi, jabatan, dan ini berpengaruh pada pemberian fasilitas, penggajian dan penghormatan dan lain-lain. Pemahaman ini tentu berpengaruh pada pembentukan pola pikir yang menghasilkan sikap pemimpin kepada pengikutnya dan sebaliknya. Memahami bahwa pemimpin memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengikut, lahirlah sikap memandang rendah pengikut. Layaklah bila pemimpin memperlakukan pengikut sebagai bawahan, hal ini digambarkan dengan penggunaan istilah yang dilakukan pemimpin kepada bawahannya dengan istilat memberikan pembinaan, pengarahan, petunjuk dan bimbingan. Karena itulah kewajiban seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lian.
Sebaliknya bawahan memiliki kewajiban untuk selalu memperbaiki diri sesuai dengan pembinaan, pengarahan, petunjuk dan bimbingan pemimpin tadi. Selanjutnya agar kewajiban pemimpin dan bawahan tersebut dapat berjalan, maka seorang pimpinan layak menuntut loyalitas (kesetiaan) pada bawahan. Loyalitas bawahan bagi pemimpin sebagai hak sedang bagi bawahan adalah kewajiban. Lebih parah lagi, pandangan bawahan yang merasa mempunyai hak untuk mendapat arahan, pembinaan, dan bimbingan dari pemimpin. Dari sinilah yang pada akhirnya melahirkan budaya pemimpin minta dilayani bawahan serta bawahan yang “sendiko dawuh”.
Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan teori kepemimpinan mulai bergeser dari dominasi pada pemimpin kearah keseimbangan peran antara pemimpin dengan pengikut. Artinya semakin disadari bahwa tercapainya tujuan suatu kerja sama bukan semata-mata karena kehebatan pemimpinnya, seperti halnya teori kepemimpinan sifat. Tetapi lebih penting lagi adalah komitmen seluruh yang terlibat dalam organisasi itu terhadap tujuan organisasi. Rumusan yang bagus sekali dari Bill Chreech dalam bukunya Lima Pilar TQM yang menggambarkan pergeseran paradigma ini.
“Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah.”
Dalam TQM pemimpin ada pada setiap lini, tingkatan organisasi bahkan ada pada setiap anggota. Pemimpin diidentifikasi dengan kewenangan / kemampuan pengmbilan keputusan. Kewenangan pengambilan keputusan didesentralisasikan pada seluruh lini sesuai dengan fungsi mereka masing-masing. Jadi setiap anggota berhak dan berkewajiban memiliki kemampun mengambil keputusan yang berkaitan dengan tupoksinya masing-masing tanpa harus minta atau mendapat persetujuan atasannya. Jadi ada kedaulatan (authority) pada setiap angota dalam menentukan cara yang paling baik dalam mewujudkan sasaran tupoksinya. Yang membatasi kebebasan dalam pengambilan keputusan adalah standar mutu produk yang harus dicapai. Standar ini telah ditetapkan di awal saat merencanakan kinerja. Standar inilah yang menjadi indikator kinerja setiap individu. Dengan standar capaian indikator ini, setiap orang terutama dirinya sendiri dapat melakukan evaluasi. Dengan demikian mulai dikembangkan sistem kerja yang memanusiakan manusia, ada pemberdayaan artinya memberikan kesempatan pada setiap anggota untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Tujuan organisasi menjadi dasar komitmen setiap anggota, dan komitmen inilah yang mewarnai dan menjiwai seluruh interaksi antar individu dan interaksi terhadap pekerjaanya masing-masing. Hasilnya, setiap orang berhak mengatakan “Aku, juga punya andil” atau “Itulah hasil kerja kami” atas kinerja organisasi, bukan hanya pemimpin.
Lalu bagaimana dengan kepemimpinan pelayanan (the servant leadership) ? Pendekatan pelayanan dalam kepemimpinan ini sebenarnya sudah dikenal dunia sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, tetapi dalam praktenya masih merupakan hal yang asing bahkan sesuatu yang nyleneh, mustahil, tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pemimpin yang lahir atau dilahirkan dengan berbagai keunggulan, kemudian memiliki tanggungjawab terhadap tercapanya tujuan harus melayani pengikutnya. Apakah ini bukan cara berpikir yang terbalik? Ya, memang ini cara melihat fungsi dan peran pemimpin yang terbalik, artinya dalam melaksanakan kepemimpinannya tempat seorang pemimpin ada dibawah. Seorang pemimpin berfungsi sebagai pelayan bagi yang dipimpin. Ini tentu bertentangan dengan hukum dunia,bahwa pemimpin itu musti di atas, atau di depan yang dipimpin. Dalam pendekata pelayanan dalam kepemimpinan memang fungsi pemimpin berbeda dibandingkan dengan fungsi pemimpin konvensional, sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Menurut Robert Greenleaf, ada dua macam pemimpin:
1. Pemimpin Alami yang kuat, ia memegang kendali, mengambil keputusan, memerintah dalam situasi apapun. Ini model yang kita kenal dan berlaku saat ini (conventional leadership).
2. Hamba Alami yang kuat, sebaliknya hanya akan memegang kepemimpinan jika mereka memandang sebagai cara di mana mereka dapat memberikan pelayanan. (servant leadership)

Lahirnya seorang pemimpin menurut pendekatan ini Hamba Alami yang kuat, adalah karena adanya dorongan dalam diri seseorang pada saat melihat kebutuhan, keprihatinan dari seseorang atau sekelompok orang lain. Melihat hal seperti ini menimbulkan rasa belaskasih kepada orang lain sehingga tergeraklah hatinya untuk memberikan bantuan. Kondisi yang kurang menguntungkan dari orang lainlah yang menjadi faktor motivasi. Jadi tujuan pemimpin bukan sesuatu yang didasarkan atas kebutuhannya sendiri atau kebutuhan bersama, tetapi adalah membebaskan orang lain dari kesulitan atau membantu orang lain mencapai tujuan. Ken Blanchard menyebutkan ada tiga aspek kepemimpinan pelayanan yaitu HATI yang melayani (servant HEART), KEPALA atau pikiran yang melayani (servant HEAD), dan TANGAN yang melayani (servant HANDS). Hati, kepala dan tangan seorang pemimpin adalah hati, kepala dan tangan pelayan.
Ken Blanchard mengidentifikasi ciri-ciri pemimpin yang melayani sebagai berikut:
1. Melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya.
2. Memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya
3. Memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya.
4. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Saya yakin banyak diantara kita yang memiliki pelayan atau yang sering kita sebut PRT bila di dalam rumah tangga atau pelayan misalnya di toko atau di rumah makan, tetapi saya yakin tidak banyak di antara kita yang pernah berprofesi atau berperan sebagai pelayan. Nah marilah sejenak kita merenungkan seperti apa sih rasanya menjadi pelayan.

Hati yang melayani
Sudah tentu hati (rasa) sebagai pelayan akan sangat beda dengan hati (rasa) seorang “juragan”. Seorang pelayan akan menempatkan dirinya dibawa atau lebih rendah dari juragan yang dilayani. Kinerja seorang pelayan diukur dengan tingkat kepuasan yang dilayani. Ingat beberapa perusahaan menetapkan motto dengan dalil ini. Misalnya; “Kepuasan Anda adalah kepedulian kami.” atau “Kami melayani sepenuh hati.” Atau “Kami ada karena Anda membutuhkan.” Semboyan-semboyan ini menandakan bahwa pelanggan (yang dilayani) menjadi tujuan yang utama. Oleh sebab itu kepuasan yang dilayani menjadi tugas pokok dan fungsi perusahaan. Pelayan ada karena adanya kebutuhan orang lain untuk mendapatkan pelayanan. Agar tugas ini efektif syarat utama seorang pelayan adalah penyangkalan diri dan kasih. Penyangkalan diri yaitu mengesampingkan egonya, menempatkan diri sebagai obyek kepentingan orang lain, menjadikan dirinya seperti yang orang lain inginkan, tidak mementingkan diri sendiri (rendah hati). “Orang yang rendah hati bukanlah merasa dirinya rendah, melainkan tidak terlalu memikirkan dirinya saja.” (Ken Blanchard). Tokoh lain mengatakan: “Sungguh luar biasa yang dapat Anda capai, kalau saja Anda tidak peduli siapa yang dapat nama.” (Abraham Lincoln). Penyangkalan diri ini dapat dilakukan bila didasarkan atas rasa mencintai / mengasihi. Mengasihi berarti memberi, tidak menuntut, memahami, rela berkorban untuk yang dikasihi.
Oleh sebab itu tugas pelayan adalah pengorbanan, bukan hanya tenaga, pikiran maupun harta tetapi bahkan mengorbankan diri demi kepuasan yang dilayani. Syarat yang sangat-sangat tidak gampang, lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Kita bayangkan dalam kehidupan kita sehari-hari, saya yakin kita memiliki orang-orang yang kita kasihi. Tapi coba kita lihat apakah kita sudah dapat menyangkal diri, berkorban demi mereka? Kalu toh sudah coba berikan skor yang jujur berapa % yang kita capai. Ingat dalam tulisan saya yang lain, Tuhan menciptakan diri kita sebagai individu, makanya kita saling berbeda satu dengan yang lain. Kodrad penciptaan kita inilah yang menyebabkan 99,9% perhatian kita tertuju pada diri sendiri. Sebagai seorang pelayan prosentase itu harus dibalik, 99,9% untuk yang kita layani. Saya yakin Anda setuju dengan saya bahwa mencintai orang lain itu sulit, tetapi apakah mencintai orang lain itu sesuatu yang mustahil bagi kita? Terserang kita masing-masing.
Sebenarnya secara budaya, hasil dari penjajahan, hati seorang pelayan bukan hal yang asing bagi bangsa kita, karena kita pernah hidup sebagai bangsa terjajah. Ingat sejarah mengatakan tiga setengah abad lamanya kita hidup sebagai bangsa terjajah. Tiga setengah abad bukan waktu yang singkat untuk menanamkan budaya penjajahan yaitu membentuk mental bangsa terjajah, yaitu mental hamba. Dalam interaksi sosial kita mengenal hubungan Tuan dan Hamba, Juragan dan babu (Jongos, Kacung) dan istilah-istilah yang lain. Dari proses inilah terbentuk mental bangsa terjajah, mental babu, mental jongos, rasa tidak percaya diri (inferioritas) dan sampai sekarangpun bagi kita sebagai bangsa, perasaan ini masih ada. Indikatornya masih dapat kita lihat berupa, kebiasaan “sendiko dawuh” (menuruti apa kata yang di atas), upeti, ewuh pakewuh (sikap berbohong untuk menjaga perasaan orang lain).
Tetapi tentu berbeda makna antara pelayan dalam kontek kepemimpinan dengan pelayan dalam kontek babu. Kepemimpinan pelayanan tidak dibentuk dari dasar inferioritas (rendah diri), tapi dibentuk atas dasar kasih dan rendah hati. Pelayanan yang diberikan oleh pemimpin karena merasa terpanggil oleh keprihatinan orang lain yang dipimpin, sehingga melayani merupakan kebutuhan bukan kewajiban. Beda dengan pelayan dalam pengertian Babu. Dalam posisi sebagai babu, secara struktural berada di bawah, keberadaannya dibutuhkan oleh orang lain sehingga pelayanannya bukan sebagai kebutuhan bagi dia tetapi sebagai kewajiban. Dia didorong untuk memberikan pelayanan yang baik.

Pikiran seorang pelayan (the servant head)
Pikiran pemimpin yang melayani ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Teori psikologi yang membahas tentang pikiran sadar dan bawah sadar menjelaskan bahwa pikiran sadar hanya berperan antara 10 – 12% dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran sadar menurut Brian Tracy hanya berfungsi dalam identifikasi atau memaknai informasi baru berdasarkan hasil belajar yang tersimpan, analisis, evaluasi dan pengambilan keputusan. Kehidupan kita lebih banyak dikendalikan oleh Pikiran Bawah Sadar (PBS) kita, yaitu antara 88 – 90%. PBS kita menyimpan semua pengalaman atau hasil belajar yang kita peroleh selama hidup kita. Hasil belajar menjadi satu keyakinan (belief) yaitu sesuatu yang kita anggap benar. Karena kita menganggap benar maka menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku.
Ada tiga fase dalam proses kehidupan yaitu masa lalu, masa kini dan masa datang. Adalah perbuatan yang baik, belajar dari masa lalu, tetapi jangan hidup di masa lalu. Adalah perbuatan yang baik memiliki harapan di masa depan, tetapi jangan hidup di masa depan. Fokuslah pada masa kini, maka Anda sedang mengukir sejarah. Saya sadur dari pendapat James K. van Fleet. Belajar dari masa lalu agar kita tidak menjadi lebih bodoh dari keledai yang paling bodoh. Seperti bunyi pribahasa: “Keledai yang paling bodoh, tidak pernah terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya.” Hanya orang-orang yang bodoh yang selalu mengulang kesalahan yang sama. Tetapi kita jangan menggunakan pelajaran masa lalu untuk menterjemahkan masa kini. Ingat di dunia ini hanya ada tiga hal yang tetap (tidak berubah) kata Ken Blanchard, yaitu kematian, pajak dan perubahan. Jadi orang yang hidup di masa lalu akan segera menysul Denosaurus. Jangan hidup di masa depan, karena Anda hanya akan melamun, hanya bermimpi, tidak realistis dan hasilnya frustrasi. Meskipun kita tahu hanya orang yang hidup yang punya harapan tetapi jangan hanya berharap sesuatu terjadi tanpa upaya. Agar hidup kita bermakna pada masa kini isilah pikiran kita dengan apa yang ada saat ini, lakukan apa yang perlu Anda lakukan. Bagaimana memadukan masa lalu, masa kini dan masa depa? Belajar dari masa lalu, baik yang benar maupun yang salah, berpikir realistis, dan pandanglah masa depan dengan dasar iman, harapan dan kasih. Iman akan memantapkan langkah-langkah kecil kita dimasa kini karena dibimbing oleh iman kepada Roh Allah, harapan akan memandu langkah kita agar tidak menyimpang (mendapat ridho) dan kasih yang akan memungkinkan kita meberdayakan sumber daya secara optimal .
Inilah pikiran seorang pemimpin yang melayani. Selalu fokus pada apa yang sedang terjadi, apa yang sedang dihadapi orang yang dipimpinnya. Dari sini dia akan tahu apa yang diharapkan oleh mereka dari dirinya sebagai pemimpin, atau apa yang seharusnya dilakukan dia lakukan untuk membuat yang dipimpin dapat mengaktualisasikan dirinya. Setiap orang punya kebutuhan untuk menjadi dirinya sendiri, artinya dapat menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Dan peran (role) pemimpin adalah memfasilitasi orang yang dipimpin untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Tangan seorang pelayan.
Tangan adalah gambaran tentang tindakan nyata dalam melaksanakan peran tersebut. Bagaimana penerapan peran dalam pelayanan? Dalam kepemimpinan kita mengenal istilah yang populer saat ini adalah pemberdayaan (empowering ). Saya memaknai kata pemberdayaan ini dengan upaya yang membuat orang lain dapat menunjukkan atau menggunakan daya yang dimiliki secara optimal. Upaya ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki sumberdaya yang cukup, semua orang memiliki potensi. Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan sempurna berupa modal pisik dan non-pisik (akal). Modal ini cukup untuk mengatasi segala masalah hidup di dunia. Kunci mengembangkan orang munurut Ken Blanchard adalah mendapati mereka ketika mereka melakukan sesuatu dengan benar dan mengucapkan; “Trima kasih atas segalanya.” Intinya memanusiakan manusia. Saya yakin setiap orang pasti senang bila prestasinya dihargai. Penghargaan ini akan membuat seseorang bangga akan dirinya sendiri yang selanjutnya akan menciptakan citra diri yang positif.
Seorang pemimpin yang melayani memiliki visi yang jelas kemana arah yang dituju. Dia akan berusaha agar orang lain dapat memahami dirinya sehingga orang tidak harus selalu bertanya dan mohon petunjuk setiap akan melakukan sesuatu. Dia akan menterjemahkan visinya menjadi sasaran-sasaran yang SMART sehingga setiap orang tahu persis apa yang harus dicapai, sekaligus dapat mengukur kinerja dirinya secara obyektif. Sasaran yang SMART, disamping berfungsi sebagai arah yang akan dicapai, juga dipergunakan sebagai petunjuk dalam menentukan sarana yang diperlukan dalam mewujudkan sasaran, metode atau cara yang tepat untuk mencapainya, terakhir dapat berfungsi sebagai alat untuk mengukur tingkat keberhasilan secara obyektif.
Seorang pemimpin yang melayani tidak mencari-cari kesalahan tetapi selalu berada ditempat ketika orang mengharapkan bantuan. Dia tidak mengukur kinerja orang lain dengan ukurannya sendiri, tetapi selalu menggunakan ukuran yang telah disepakati bersama. Karena dia memahami bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki tanggungjawab, minimal tanggungjawab untuk menyelamatkan diri sendiri. Artinya setiap individu pasti berharap terpenuhi kebutuhan dan saya yakin setiap orang tahu juga keterbatasan dirinya yang membuatnya tidak dapat memenuhi kebutuhannya seorang diri. Kesadaran akan tanggungjawab kepada diri sendiri inilah yang membuat setiap individu memiliki keinginan berkembang, meskipun tidak setiap orang menyadarinya. Keinginan berkembang akan menjadi potensi yang sangat hebat yang mendorong individu menghasilkan kinerja yang spektakuler, yang diatas rata-rata . Faktor inilah yang dipergunakan oleh pemimpin yang melayani dalam menerapkan peran pelayanannya.



Semoga bermanfaat.

Senin, 13 Februari 2012

RENUNGAN DIRI

YOK OPO ENAK-E, YOK OPO APIK-E DAN YOK OPO BENER-E?
Fransiscus.
Renungan di awal Februari 2011
Tiga ungkapan dalam bahasa Jawa Timuran yang pertama menggambarkan suatu proses atau cara sesuatu dikerjalakan, sedang kedua menggambarkan hasil. Bermakna proses bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ; bagaimana enaknya, bagaimana baiknya dan bagaimana benarnya? Sedang dalam pengertian hasil dapat dimaknai seperti apa yang enak, yang baik dan yang benar? Saya yakin kita semua faham maknanya. Tiga ungkapan tersebut sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Biasanya pertanyaan tersebut dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan persetujuan orang lain dalam  pemecahan masalah yang dihadapi. Tidak selalu harus masalah bersama tetapi juga masalah individu.
Ketiga pertanyaan tersebut menunjukkan arah, tujuan atau  nilai yang ingin dicapai atas masalah yang dihadapi. Yok opo enak-e menanyakan kondisi kepuasan, kenyamanan yang berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan perorangan yang bersifat subyektif. Kondisi enak itu abstrak, tidak terukur secara kuantitatif. Enak bagiku belum tentu enak bagimu. Dalam suatu kehidupan bersama, ukuran enak itu merupakan kecenderungan, prosentase. Yok opo apik-e, menunjuk pada ukuran moral baik dan buruk meskipun sifatnya masih abstrak tapi sudah ada standarnya yaitu norma-norma etika dalam masyarakat yang biasanya mengatur perilaku konkrit. Perilaku mana yang boleh dilakukan, berarti baik, sedang yang tidak boleh dilakukan berarti buruk. Yok opo bener-e, menunjuk pada suatu kondisi yang sesuai dengan peraturan. Karena standarnya peraturan maka sifatnya obyektif, benar dan salahnya sesuatu dibandingkan denga persesuaiannya dengan peraturan. Lalu bagaimana hubungan ketiganya?
Sesuatu yang enak, belum tentu baik dan benar. Contohnya perilaku korupsi yang sekarang ini menjadi hoby banyak orang. Korupsi cara yang enak untuk mendapatkan uang karena tidak perlu mengikuti persyaratan dan prosedur yang diatur oleh peraturan. Perbuatan korupsi dilihat dari aspek moralitas tidak baik karena tentu mengambil hak orang lain. Perbuatan korupsi menghasilkan kerugian pada orang lain. Dan tentunya perbuatan korupsi itu salah karena melanggar peraturan.
Lalu bagimana dengan sesuatu yang baik?  Sesuatu yang baik belum tentu enak dan belum tentu benar. Contohnya, orang yang murah hati, sabar dan pemaaf, secara moral universal sikap yang demikian itu baik, tetapi belum tentu enak karena harus rela berkorban. Seberapapun kecilnya yang namanya korban itu pasti ada sesuatu dari diri kita yang diberikan kepada orang lain. Dan juga belum tentu benar menurut norma masyarakat, karena di masyarakat berlaku hukum balas dendam.
Selanjutnya bagaimana dengan Yok opo bener-e?  Bila melihat contoh di atas, yang bener tidak selalu enak, karena mentaati peraturan itu membutuhkan ketaatan, kedisiplinan pribadi dalam praktek, ini satu hal yang sulit dilakukan. Dan apakah kalau benar itu pasti baik? Inipun belum tentu, bahkan sering orang yang taat, disiplin tidak disenangi orang lain. Dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita dipaksa oleh diri sendiri untuk memilih mana yang perlu kita lakukan. Yok opo enak-e, Yok opo apik-e atau Yok opo bener-e. Nah lalu bagaimana? Atau mana yang kita pilih? Untuk menentukan mana yang paling cocok untuk diri Anda sangat ditentukan oleh Citra Diri kita. Yaitu orang seperti apa diri kita menurut kita. Apabila Anda memiliki Citra Diri negatif, Anda akan melihat diri Anda tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Berikut ini karakteristik Citra Diri Negatif yang diidentifikasi oleh James K Van Fleet:
1.      Merasa rendah diri.
2.      Kurang memiliki dorongan dan semangat hidup.
3.      Lebih suka menunda-nunda sesuatu.
4.      Memiliki gagasan dan emosi negatif.
5.      Pemalu dan suka menyendiri.
6.      Hanya memikirkan kepuasan sendiri.
Bila kita mengacu pada karakteristik ini, sudah dapat dipastikan bahwa orang yang bercitra diri negatif akan cenderung memilih Yok opo enak-e. Karena orang citra diri negatif akan selalu berpikir untuk diri sendiri dan kita juga tahu bahwa 99,9% pikiran kita terarah pada memikirkan diri sendiri. Sementara itu pada umumnya kita tidak tahu bagaimana mencintai diri sendiri yang benar, sehingga kita salah memperlakukan diri sendiri. Yang sering kita lakukan adalah memanjakan diri, permisif, tidak berani menghukum diri sendiri bahkan tidak mau mengakui kesalahan sendiri sehingga tidak merasa perlu memperbaiki diri, sulit meminta maaf, kikir dalam mengucapkan terimasih atas bantuan orang lain.
Kita tahu masyarakat memiliki tata nilai, yaitu sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi atau ukuran kondisi ideal yang dicita-citakan masyarakat. Tata nilai ini menjadi ukuran atau standar baik dan buruk, patut dan tidak patut suatu tingkah laku dan hasil kerja anggotanya. Dari sinilah akhirnya norma-norma hubungan dalam masyarakat lahir dan berkembang. Suatu norma yang akan mengikat, mengatur dan memaksa setiap anggota.  Mengapa atau apa yang melatar belakangi seseorang mengucapkan pernyataan diatas?  Jawabannya adalah karena rasa takut. Ada dua macam rasa takut menurut Arielle Essex 2008 :
Pertama, takut gagal. Yaitu adanya kondisi mental negatif berupa ketidak percayaan diri atau karena adanya keraguan. Seseorang mengucapkan pertanyaan itu karena ia merasa tidak tahu atau tidak yakin tahu bagaimana dan seperti apa yang seharusnya. Ini tentunya dikaitkan dengan standar nilai masyarakat. Tidak yakin bahwa dirinya memiliki cukup kemampuan yang diperlukan untuk melalukan atau mewujudkan hasil yang baik. Sudah terbayangkan, berdasarkan pengalaman hidupnya, seseorang seringkali mendapat celaan, tegoran karena kesalahannya, kegagalannya. Ini semata-mata disebabkan karena hasil ketidak tahuan. Membayangkan hal yang demikian, timbulah rasa takut gagal.
Apa bila diperdalam analisis penyebab mengapa orang takut gagal, akan lebih mengerikan lagi bagi mereka yang beriman. Sebab bagi orang yang beriman, hanya Tuhan yang tidak pernah salah, tidak pernah gagal,  dus,  artinya semua orang pasti pernah salah. Jadi orang yang tidak berani gagal, mengidentikkan dirinya dengan Tuhan, ini sangat berbahaya dan pikiran sesat. Sebab bagi orang yang citra dirinya negatif, selalu mengidentikkan dirinya dengan apa yang dihasilkan. Harga dirinya diukur dengan hasil kerja yang dicapai, aku adalah hasil kerjaku. Untuk mengangkat harga dirinya, hasil kerjanya harus benar, harus berhasil dan dihargai orang lain.  Ego lebih penting dari pada Self, sehingga hidupny sangat tergantung pada orang lain.
Kedua, berkaitan dengan rasa takut tidak diterima oleh orang lain. Dari pengalaman yang dimiliki seseorang ternyata bahwa bila ada orang yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai atau menyimpang dari standar nilai masyarakat, orang tersebut akan dihukum. Hukuman pertama yang sering diterima langsung adalah celaan, tegoran, ejekan bahkan hanya sekedar senyuman sinis atau ditertawai. Lebih dari itu dijadikan pergonjingan atau obyek gosip masyarakat, sampai ke hukuman disisihkan dari pergaulan. Dan dari hasil pengalaman juga hukuman ini sangat menyakitkan, sangat memalukan.
Pertanyaan yang kemudian timbul dalam pikiran kita adalah; Dari mana, kapan awalnya dan bagaimana prosesnya sampai-sampai kita memiliki rasa takut tersebut? Menemukan jawaban atas pertanyaan ini akan memberi jalan bagi mereka yang memiliki rasa takut dan ingin menghilangkannya? Saya yakin pembaca sama dengan saya memiliki keyakinan bahwa Tuhan Maha Baik. Mari kita analisis secara logika kita yang terbatas ini, karena tidak cukup untuk memahami Tuhan dengan seutuhnya. Maha Baik berarti tidak memiliki kejelekan, atau tidak ada yang jelek dalam Tuhan. Nah mari kita lihat diri kita. apa bila kita misalnya tidak memiliki baju yang jelak, artinya baju kita semuanya “baik” menurut kita. Lalu pada saat itu kita memiliki rasa iba kepada seseorang yang tidak berbaju karena tidak punya, lalu baju mana yang akan kita berikan pada orang tersebut? Saya yakin kita akan memberikan salah satu baju baik yang kita miliki. Pertanyaan saya yang kedua. Menurut keyakinan Anda dari mana diri kita berasal, atau siapa yang menjadikan diri kita? Saya yakin Anda akan menjawab Tuhan. Kesimpulan yang dapat saya ambil dari  jawaban Anda atas dua pertanyaan saya diatas adalah bahwa diri kita baik, sempurna, karena kita diciptakan oleh Yang Maha Sempurna. Inilah kodrad kita.
Dengan logika sederhana tadi, masihkah kita akan takut gagal, takut salah? Ataukah masih percayakah Anda bahwa rasa takut yang anda miliki itu anugrah Tuhan?  Lalu dari mana atau dari siapa rasa takut yang kita miliki? Kesempurnaan diri kita rusak pada enam bulan pertama kehidupan kita di dunia kata Tracy Hogg dalam bukunya Mendidik dan mengasuh anak Balita. Kita bisa menebaknya siapa itu? Saya tidak mau menuduh orang tua kita atau lebih-lebih ibu kita. Saya lebih senang meletakkan penyebabnya pada Pola Asuh yang kita terima saat kita balita. Pola asuh yang negatif, yang penuh tekanan, ancaman, kekawatiran, pembatasan,  akan menghasilkan rasa ketidak percayaan pada kemampuan diri, kemanjaan, rasa takut, rasa malu, keraguan dan inilah cikal bakal tidak percaya diri.
Nah setelah kita tahu penyebabnya lalu bagaimana bila kita punya keinginan untuk  menghilangkannya? Caranya gampang sekali. Anda pernah mendengar kata mitos? Mythos dari bahasa Latin Kuno,(Grolier Inglish International Dictionary), menjadi myth dongeng, isapan jempol, ceritera yang dibuat-buat (Kamus Ingris – Indonesia). Jadi tidak layak dipercaya. Salah satu mitos tentang diri kita adalah kita memang punya keterbatasan karena kita memang bukan Yang Maha Sempurna. Saya tidak membantah bila Anda punya pendapat seperti itu. Tapi percayalah bahwa kita dianugerahi kemampuan yang tak terbatas untuk menjadi seperti yang kita inginkan di dunia ini. James K Van Fleet 2001 menulis “Anda akan menjadi seperti yang Anda pikirkan, oleh sebab itu hati-hatilah dengan pikiran Anda.”  Saya yakin Anda banyak tahu tentang prestasi luarbiasa di banyak bidang kehidupan, yang dapat ditunjukkan oleh manusia sepanjang sejarah, seperti yang tercatat di Guinness book of records, Muri atau Nobel. Kalau mereka bisa mengapa kita tidak? Apa yang salah? Apakah Tuhan tidak adil dalam memberikan kemampuan pada umatnya? Mana dari tiga pernyataan dan pertanyaan diatas yang akan kita pilih sebagai nilai dasar dan tujuan dalam hidup kita? Tergantung pada Pola Pikir Kita. (Agar lebih jelas baca juga tulisan saya yang lain di Blog ini)
Semoga bermanfaat.

Kamis, 12 Januari 2012

Pengembangan Diri

Renungan diawal 20012
ANTARA CINTA DAN BENCI
“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ..tidak mencari keuntungan diri sendiri... Kasih tidak berkesudahan..”
(1 Kor 13)
Kata-kata yang sangat akrap dengan kehidupan kita sehari-hari yang menunjukan suasana hati kita. Cinta menggambarkan suasana hati yang positif dan benci yang negatif. Cinta dan benci laksana dua sisi dari sekeping mata uang, dimana ada cinta disitu ada benci. Batas antara cinta dan benci tipis sekali sehingga orang sering kali tidak dapat memisahkannya. Tetapi juga dapat dikatakan batas antara cinta dan benci sangat jauh sehingga tidak mungkin dipertemukan. Batas antara cinta dan benci sejauh antara Timur dan Barat, artinya batas itu adalah diri kita sendiri yaitu persepsi kita atau cara pandang kita.
Di lingkungan birokrasi cinta ini diwujudkan dalam bentuk kesetiaan (loyalty). Diawali sejak masa Orde Baru kesetiaan (Loyalitas) ini merupakan kata-kata yang sangat sakral. Dan bila diumpamakan sebgai sebuah senjata, kata loyalitas ini merupakan senjata yang sangat ampuh, sangat dahsyat yang mampu membunuh bukan saja karir dan karakter manusia, bahkan dapat membunuh manusia itu sendiri. Disamping sebagai senjata,loyalitas juga berfungsi sebagai alat pembeda antara teman dan lawan (politik). Nah parahnya lagi, loyalitas ini yang awalnya diarahkan pada ideologi negara Pancasila dan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia, dibelokkan kearah loyalitas pada Golongan Karya yang dianggap sebagai satu-satunya partai yang konsisten berdasarkan Pancasila. Sedang partai lain dianggap tidak konsisten alias meragukan kepancasilaannya. Pandangan yang demikian mewarnai dan mendasari seluruh segi kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya birokrasi. Sapta Praaerya Korp Pegawai Republik Indonesia diangkat menjadi Kode Etik Pegawai negari, mengalahkan pamor Undang undang kepegawaian.
 Satu peristiwa yang pernah saya alami diharapkan mampu memberikan pengertian yang jelas untuk membedakan antara cinta dan benci. Pada saat saya menjadi Kepala Bagian Pemerintahan di awal tahun 80an, Pemerintah Daerah memiliki program penyediaan perumahan bagi rakyat, sebagai bentuk pelaksanaan program Pemerintah Pusat. Pada suatu hari saya dipanggil Bupati untuk menghadap bersama Kepala Kantor Agraria saat itu (sekarang BPN). Beliau memberitahu kami tentang kebijakan Beliau untuk membangun perumahan yang mengambil lokasi di Kelurahan Beru, Kecamatan Wlingi sekaligus sebagai pendukung rencana tata kota Wlingi sebagai calon Ibukota Kabupaten. Beliau jelaskan bahwa rencana tanah telah ada seluas  25 Ha. Cukup sesuai dengan persyaratan Menteri Muda Perumahan Rakyat. Beliau menugaskan kami berdua untuk menyelasaikan pembebasannya. Ini memang tugas kami berdua sebagai Sekretaris dan anggota Panitia Pembebasan Tanah. Yang menjadi ganjalan kami berdua sebagai staf adalah arahan beliau tentang proses pembebasanya. Tanah yang direncanakan tersebut milik penduduk sekian puluh orang, saya sudah lupa jumlah persisnya. Untuk memudahkan proses pembebasannya,  kami diperintah untuk membantu proses pembelian 25 Ha tanah tersebut dari banyak orang oleh satu orang, kemudian dari satu orang tersebut baru Pemerintah membebaskan. Sudah ada kesepakatan harga dari pemilik kepada satu orang ini, meskipun secara informal yaitu dengan harga Rp 1000, per M2, dan nanti Pemerintah memberikan uang ganti rugi kepada pembeli  sebesar Rp.6.500 per M2 (yang menurut istilah sekarang dikenal dengan mark up) . Jadi ada selisih Rp. 4.500 yang akan dibagi-bagi antara lain untuk kami berdua masing-masing Rp. 1000. Per M2. Kalkulator di kepala saya langsung menghitung Rp. 1000 kali 2.500.000 = Rp. 2.500.000.000. Saat itu saya tidak dapat membayangkan seberapa tinggi tumpkan uang sebanyak itu sementara saya sebagai PNS dengan pangkat Pengatur III/b gaji pokok  saya Rp. 50.300. Sejenak kami berdua saling berpandangan. Saya tidak tahu bagaimana perasaan  Kepala  Agraria. Saya betul-betul terkejut dengan penjelasan itu, “setan” dari mana yang telah memberikan saran tersebut kepada Bupati. Saya sangat yakin Bupati saya tidak mungkin punya ide seperti itu, karena saya mengenal betul beliau setelah saya membantu beliau selama 3 tahun lebih. Beliau adalah orang yang tertip, rapi, teliti dan relatif jujur.
Saat kuliah saya memang pernah mendapatkan pelajaran Hukum Agraria yang salah satu sub pokok bahasannya adalah Landreform. Yang saya ingat dalam Undang-undang Landreform tersebut diatur batas maksimal luas pemilikan tanah oleh perorangan, tapi sudah tak ingat persisnya bagaimana. Untuk mencairkan kebekuan suasana akibat berita yang mengejutkan ini dan terutama kebekuan pikiran saya, maka saya tanya kepada Kepala Agraria; “Pak Ratno, namanya Suratno, apakah itu tidak melanggar batas maksimum pemilikan tanah?” Maksud saya supaya dia mau menjelaskan kepada Bupati. Belum lagi Pak Ratno membuka mulutnya, Bupati langsung menyela, dengan suara yang keras dan mimik yang mengesankan marah; “Ini perintah, laksanakan!” Mendengar perintah itu saya tidak kaget, karena saya tahu bahwa beliau cenderung impulsive dan reactive, dan saya tahu bagaimana meredamnya. “Siap pak, laksanakan. Mohon pamit.” Kami berdua meninggalkan ruangan. Diluar ruangan saya lihat teman saya wajahnya tegang tapi matanya meredup menunjukkan kegundahan, tangannya saya pegang dengan suara mantap “Ayo ke ruangan saya.”  Tanpa menjawab dia ikuti saya.
“Gimana, Pak Dirman ini ? Itu jelas salah.” Dia buka pembicaraan setelah minum teh yang dibuatkan staf saya. “Sudah begina saja, kita buatkan telaahan sataf, berikan saya landasan hukumnya nanti analisisnya saya buatkan. Intinya kita ingin menyelamatkan Bupati to?” Saya memberikan pemecahan untuk menenangkan pikirannya. Seminggu kemudian telaahan staf telah meluncur ke meja Bupati yang isinya dua alternatif, pertama melanjutkan program dengan proses sesuai peraturan, dan kedua menunda program.
Kedua-duanya dengan keuntungan dan kerugiannya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Bupati saat membaca telaahan saya karena beliau tidak pernah lagi membicarakan hal itu dengan kami. Saya hanya baca disposisinya yang berbunyi “Simpan.” Ini yang saya namai setiya (loyal) pada pimpinan.
Loyal atau setya tidak berarti harus mengiyakan, mendukung secara membabi buta  seperti yang dilakukan oleh para pendukung Bung Karno pada awal masa Orde Baru dulu dengan semboyan “Pejah gesang nderek Bung Karno”  (Hidup mati ikut Bung Karno). Setya juga bukan berarti membuat diri menjadi korban (martir).  Loyalitas atau kesetiaan juga tidak dapat diukur dengan  takut atau berani menentang. Sebab bila kita takut kepada otoritas atasan, kita akan cenderung mengiyakan perintah meskipun tahu bahwa itu salah. Dan sebaliknya bila kita takut ikut berbuat salah, kita akan cenderung menolak perintah. Pendekatan ini tidak menggambarkan loyalitas yang dilandasi oleh rasa cinta tetapi justru sebaliknya. Cinta kasih mengandung konsekuensi berupa rasa tanggungjawab. Cinta tidak akan merelakan yang dicintai menjadi celaka atau menderita. Bahkan kita rela menderita demi yang kita cintai. Jadi cinta mengandung tanggungjawab menyelamatkan, membuat orang yang dicintai menjadi bahagia. Saya ingat kata teman saya Handoyo dalam budaya Cina, sebagai ungkapan cinta anak kepada orang tuanya, dia rela mengorbankan dirinya untuk santapan nyamuk dengan tidur telanjang di kamar orang tuanya sebelum orang tuanya berangkat tidur (maklum saat itu belum ada obat nyamuk).
Lalu bagaimana dengan benci? Saya yakin bukan hal yang sulit untuk memahami kata benci, bahkan saya yakin kita semua tahu bagai mana rasanya benci. Dalam kehidupan kita tentu ada sesuatu yang kita benci. Sesuatu itu bisa berupa benda, manusia atau situasi. Coba kita bayangkan bila kita mempunyai seseorang yang kita benci. Coba hadirkan orang tersebut secara imajinatif dihadapan anda. Bayangkan anda sedang memandang dia, anda akan merasakan aliran darah naik ke kepala, bola mata yang terasa membesar sehingga mendesak kelopak mata untuk terbuka lebih lebar. Akibatnya banyak udara yang masuk sehingga mata  terasa pedas, diikuti oleh rahang yang terasa kaku, gigi beradu dan bibir terkatup rapat.  Leher dan bahu menjadi tegang dan kaku, tangan mengepal,lurus dan sedikit merenggang dari tubuh. Dan dalam pikiran kita hanya ada dua pilihan pukul atau lari. Artinya kita buat dia menyingkir dari hadapan kita atau kita yang menyingkir. Dalam benci tidak ada kasih, tidak ada kerelaan untuk berkorban yan ada kerelaan untuk kehilangan, bukan menyelamatkan tapi mencelakakan.
Sebaliknya kitapun pernah merasakan mendapatkan perlakuan dari orang yang membenci kita? Dapatkah kita memastikan bahwa seseorang telah membenci kita? Apa yang menjadi indikatornya? Apakah orang tersebut memiliki sikap yang sama dengan sikap yang kita perlihatkan kepada orang yang kita benci? Apakah sikap yang sama itu berarti orang tersebut juga membenci kita? Coba anda bandingkan dengan ceritera saya diatas. Saya berani menolak perintah atasan bukan karena benci, tapi karena cinta, yang saya aktualisasikan dalam bentuk penolakan perintah yang salah. Tujuannya agar semua selamat. Orang benci tidak akan memiliki tujuan menyelamatkan, sikap dan perilakunya justru bermanis-manis kepada kita. Lalu apa indikator yang membedakan antara benci dan cinta tidak ada lain kecuali nilai atau tujuan.
Saya ingat ceritera Guru agama saya waktu di SMP tentang perbedaan antara Setan (Iblis?)  dan Malaikat, saya tidak tahu ceritera itu beneran atau fiktif . Pada saat itu tentu saya anggap beneran, ceritera itu sekarang tentunya sudah saya modifikasi, tetapi tema dan alurnya tetap asli, begini ceriteranya. Setan menggambarkan sosok umat Allah yang jelek, jahat, kejam, dan tidak memiliki cinta kasih, bahkan cinta kasih kepada Allah sekalipun. Yang menjadi tujuannya adalah agar manusia tidak menyembah Tuhan tetapi menyembah dirinya. Dan Setan itu bukan makluk yang bodoh, sebab Tuhan tidak pernah menciptakan makluk yang bodoh. Artinya bahwa Setan itu pandai dan cerdik. Untuk membuat manusia mau menyembah dia, Setan berangkat dari strategi mengenal kondisi pisik dan psikologi manusia. Bahkan Yesuspun dipengaruhinya. Ingat ceritera  Matius 5: 1-11. Waktu itu teori Abram Malow belum ada, tapi Setan tahu bahwa tindakan manusia didorong oleh tujuan terpenuhinya  kebutuhan. Jadi kebutuhanlah yang mendorong (memotivasi) manusia untuk mau melakukan atau tidak mau melakukan sesuatu. 
Nah disinilah kecerdikan Setan, karena dapat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan individu pada setiap waktu dan tempat. Nah, agar manusia mau mengikuti dirinya maka setan menawarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan individu saat itu. Dan tawaran Setan itu pasti sesuatu yang menarik, yang akan mengenyangkan, yang memberikan kenikmatan, kebahagiaan, penghormatan dari sesama, kekuasaan, sudahlah pokoknya semuanya itu dijamin puas. Dan lebih menarik lagi dia juga menawarkan cara yang paling mudah, cepat, singkat dan menyenangkan untuk mendapatkannya.
Oleh sebab itu ada dua pandangan manusia tentang Setan, satu fihak mengatakan bahwa Setan itu jahat ini bagi mereka yang menghargai proses untuk mencapai tujuan. Artinya bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik. Peran Setan di sini adalah selalu berupaya menghalangi manusia. Dalih yang dipergunakan adalah ingin melindungi manusia dari kesengsaraan, penderitaan, sebab upaya yang baik itu membutuhkan pengorbanan yang besar, baik berupa tenaga, waktu,pikiran, harta dan bahkan nyawa. Untuk menjadi kaya kita harus menabung, harus kerja keras, harus hidup hemat. Untuk pandai kita harus tekun belajar, banyak membaca, tidak malu bertanya. Untuk hidup sehat kita harus mengatur pola makan, olah raga dan intirahat mencintai semua orang, dan ini adalah penderitaan. Dari sini maka ada yang memandang Setan itu baik bagi mereka yang berpandangan; Tujuan menghalalkan cara. Kalau dapat dipermudah mengapa dipersulit, bukankah yang penting tujuan tercapai? Coba kita lihat kehidupan manusia disekeliling kita, termasuk diri kita sendiri, mana lebih banyak atau lebih sering kita lihat orang yang menganggap Setan itu jahat apa baik? Sangat berbeda dengan Malaikat, mereka ini adalah balatentara Allah yang ditugasi untuk menjaga manusia dari kesengsaraan, dari kesesatan dengan selalu berbuat baik. Itulah sebabnya maka di dunia ini Setan lebih banyak mendapat pengikut dari pada Tuhan, lebih-lebih di Indonesia saat ini.
Apa bila kita simpulkan kita tidak mudah menilai sikap orang lain terhadap kita. Kita tidak dapat menilai maksut orang lain hanya dari sikap dan perbuatan mereka terhadap diri kita. Cinta seringkali ditampilkan dengan sikap dan perilaku yang menyakitkan dan sebaliknya benci seringkali dibungkus dengan keindahan.
Semoga bermanfaat.