Senin, 05 Maret 2012

Kepemimpinan

Kepemimpinan Pelayanan.
(The Servant Leadership.)

Fransiscus.
Renungan di awal Mart 2012.

Bila kita berbicara tentang pimpin - memimpin kita dapat megumpulkan banyak sekali referensi yang bisa kita pergunakan sebagai rujukan. Dalam tulisan kali ini saya tidak akan bicara tentang apa pemimpin, saya yakin Anda semua pasti sudah memahami. Saya akan lebih menekankan pada bagaimana seharusnya seorang memimpin orang lain agar sukses. Dari sinipun saya yakin banyak pendapat para ahli yang dapat kita acu. Salah satu yang menjadi fokus acuan tulisan ini adalah Injil Markus Bab 10 ayat 43 sampai dengan 44. yang berbunyi: “Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka diantara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semuanya.”
Sebelum membahas lebih jauh tentang memimpin mari kita satukan dahulu pemahan kita tentang memimpin. Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pendapat para ahli bahwa memimpin itu adalah upaya, kegiatan, proses mempengaruhi, mengajak, mendorong orang lain agar mau melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pengertian ini apa bila kita analisis, setidaknya mengandung empat unsur; (1) diperlukan kemampuan dari pemimpin, (2) ada aktivitas mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar atau sengaja, (3) ada orang lain yang menjadi obyek aktivitas, dan (4) ada tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin. Mari kita bahas satu – persatu unsur-unsur tersebut.
1. Kemampuan memimpin harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar ada ketaatan dari pengikut. Bila kita mengacu pada pendapat para ahli teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory of leadership) seorang pemimpin harus memiliki kelebihan kemampuan berupa sifat (character) yang diperlukan untuk mempengaruhi orang lain. Sifat ini bisa yang baik, bisa juga yang jelek menurut ukuran umum tergantung dari tujuan dan lingkungan dimana interaksi tersebut terjadi. Misalnya di lingkungan TNI memiliki sebelas azas kemepimpinan, di lingkungan pendidikan dikenal ing – ing – tut, dari Ki Hajar Dewantoro. Bila tujuan pemimpin itu jahat atau kepemimpinan dalam lingkungan kejahatan, pemimpin dituntut memiliki kelebihan sifat yang berbeda misalnya kekejaman, sadisme, narsisme.
2. Aktivitas mempengaruhi tersebut dilakukan dengan sadar, artinya direncanakan dengan baik. Aktivitas itu melibatkan kemampuan rasional dengan menganalisis siapa yang akan dipengaruhi, tujuan apa mempengaruhi, dan dalam seting apa aktivitas itu terjadi. Hasil analisis ini akan menentukan bagaimana pemimpin menggunakan kelebihan sifat yang dimilikinya untuk mempengaruhi orang lain. Kemampuan mempengaruhi ini diperoleh bukan semata-mata dari keturunan (born to be the leader) tetapi juga karena belajar.
3. Ada orang lain yang menjadi obyek aktivitas pemimpin. Aktivitas memimpin itu pada hakekatnya adalah membuat orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Bentuk konkritnya bisa berupa mempengaruhi, meminta, memerintah, mendorong dan semacamnya. Mana bentuk mempengaruhi yang akan dipergunakan tergantung pada siapa yang dipengeruhi, apa tujuan yang ingin diperoleh dan seting aktivitas mempengaruhi itu terjadi. Lalu mengapa orang lain itu mau dipengaruhi? Memang banyak sekali para ahli yang menulis tentang teori kepemimpinan, tetapi sedikit sekali para ahli menulis tentang teori kepengikutan. Maka tidak salahlah (kalau saya salah ya minta maaf) bila dikatakan pengikut atau bawahan itu dipandang sebagai obyek. Yaitu sasaran kegiatan pemimpin. Ketaatan pengikut atau bawahan kepada pimpinan didorong oleh adanya harapan terpenuhinya kebutuhan. Pengikut menggantungkan, menyandarkan, ini bila dianggap bawahan sebagai obyek, kebutuhannya pada pemimpin?
4. Ada tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin. Dalam buku-buku kepemimpinan, aktivitas mempengaruhi orang lain selalu dalam kontek organisasi. Kepemimpinan terjadi dalam kontek hubungan kerjasama, karena teori organisasi merumuskan organisasi adalah wadah, struktur, bentuk hubungan dua orang atau lebih untuk mewujudkan tujuan bersama. Jadi dua orang itu sudah merupakan organisasi karena sudah ada struktur, ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi. Yang menjadi bahan diskusi adalah adanya tujuan dua fihak atau tujuan bersama, itu belum tentu sama. Cobalah diingat interaksi antara Ortu dan anak. Waktu Ortu meminta sesuatu kepada anak belum tentu tujuan Ortu juga tujuan anak. John Kotter dalam bukunya Power influence, mengatakan dalam organisasi, apa lagi organisasi yang besar, selalu ada tiga tujuan, pertama tujuan organisasi, kedua tujuan kelompok, dan ketiga tujuan individu.

Disamping analisis unsur, kita juga dapat melakukan analisis posisi atau struktur. Aktivitas mempengaruhi, mengajak, mendorong, bahkan memerintah, meminta orang lain untuk mencapai tujuan dirinya, bernuansa yang mempangaruhi lebih tinggi dari pada yang dipengaruhi. Yang mempengaruhi disebut pemimpin dan yang dipengaruhi disebut pengikut atau bawahan. Posisi yang lebih tinggi itu karena yang memimpin mempunyai kelebihan yang dibutuhkan oleh yang dipengaruhi. Kelebihan itu bisa dalam bentuk formal yaitu kewenangan mengambil keputusan, maupun non-formal berupa kekuatan moral, kekuatan pisik, kekuatan intelektual dan sebagainya. Dengan posisi seperti itu maka peran dan fungsi yang bersifat penetratif seperti itunaren maka secara substansial begitu terjadi interaksi antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan, baik tujuan bersama maupun tujuan individu, otomatis akan terbentuk struktur. Menurut konsep para ahli, pemimpin memiliki kelebihan kekuasaan dibandingkan dengan yang dipimpin. Atau bila kita berangkat dari fihak yang dipimpin, kepatuhan seorang pengikut kepada pemimpin karena pengikut mengakui adanya kelebihan kekuatan yang dimiliki pemimpin dibandingkan dirinya dan dengan mematuhi kehendak pemimpin ada harapan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang dia butuhkan.
Pemahaman yang demikian ini sangat umum dimiliki baik dilingkungan birokrasi, swasta maupun masyarakat. Indikatornya adalah adanya perbedaan yang sifatnya struktural antara pemimpin dan pengikut.Secara konkrit dapat dilihat pada kewenangan pengambilan keputusan, porsi tanggungjawab, pangkat bila di birokrasi, jabatan, dan ini berpengaruh pada pemberian fasilitas, penggajian dan penghormatan dan lain-lain. Pemahaman ini tentu berpengaruh pada pembentukan pola pikir yang menghasilkan sikap pemimpin kepada pengikutnya dan sebaliknya. Memahami bahwa pemimpin memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengikut, lahirlah sikap memandang rendah pengikut. Layaklah bila pemimpin memperlakukan pengikut sebagai bawahan, hal ini digambarkan dengan penggunaan istilah yang dilakukan pemimpin kepada bawahannya dengan istilat memberikan pembinaan, pengarahan, petunjuk dan bimbingan. Karena itulah kewajiban seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lian.
Sebaliknya bawahan memiliki kewajiban untuk selalu memperbaiki diri sesuai dengan pembinaan, pengarahan, petunjuk dan bimbingan pemimpin tadi. Selanjutnya agar kewajiban pemimpin dan bawahan tersebut dapat berjalan, maka seorang pimpinan layak menuntut loyalitas (kesetiaan) pada bawahan. Loyalitas bawahan bagi pemimpin sebagai hak sedang bagi bawahan adalah kewajiban. Lebih parah lagi, pandangan bawahan yang merasa mempunyai hak untuk mendapat arahan, pembinaan, dan bimbingan dari pemimpin. Dari sinilah yang pada akhirnya melahirkan budaya pemimpin minta dilayani bawahan serta bawahan yang “sendiko dawuh”.
Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan teori kepemimpinan mulai bergeser dari dominasi pada pemimpin kearah keseimbangan peran antara pemimpin dengan pengikut. Artinya semakin disadari bahwa tercapainya tujuan suatu kerja sama bukan semata-mata karena kehebatan pemimpinnya, seperti halnya teori kepemimpinan sifat. Tetapi lebih penting lagi adalah komitmen seluruh yang terlibat dalam organisasi itu terhadap tujuan organisasi. Rumusan yang bagus sekali dari Bill Chreech dalam bukunya Lima Pilar TQM yang menggambarkan pergeseran paradigma ini.
“Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah.”
Dalam TQM pemimpin ada pada setiap lini, tingkatan organisasi bahkan ada pada setiap anggota. Pemimpin diidentifikasi dengan kewenangan / kemampuan pengmbilan keputusan. Kewenangan pengambilan keputusan didesentralisasikan pada seluruh lini sesuai dengan fungsi mereka masing-masing. Jadi setiap anggota berhak dan berkewajiban memiliki kemampun mengambil keputusan yang berkaitan dengan tupoksinya masing-masing tanpa harus minta atau mendapat persetujuan atasannya. Jadi ada kedaulatan (authority) pada setiap angota dalam menentukan cara yang paling baik dalam mewujudkan sasaran tupoksinya. Yang membatasi kebebasan dalam pengambilan keputusan adalah standar mutu produk yang harus dicapai. Standar ini telah ditetapkan di awal saat merencanakan kinerja. Standar inilah yang menjadi indikator kinerja setiap individu. Dengan standar capaian indikator ini, setiap orang terutama dirinya sendiri dapat melakukan evaluasi. Dengan demikian mulai dikembangkan sistem kerja yang memanusiakan manusia, ada pemberdayaan artinya memberikan kesempatan pada setiap anggota untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Tujuan organisasi menjadi dasar komitmen setiap anggota, dan komitmen inilah yang mewarnai dan menjiwai seluruh interaksi antar individu dan interaksi terhadap pekerjaanya masing-masing. Hasilnya, setiap orang berhak mengatakan “Aku, juga punya andil” atau “Itulah hasil kerja kami” atas kinerja organisasi, bukan hanya pemimpin.
Lalu bagaimana dengan kepemimpinan pelayanan (the servant leadership) ? Pendekatan pelayanan dalam kepemimpinan ini sebenarnya sudah dikenal dunia sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, tetapi dalam praktenya masih merupakan hal yang asing bahkan sesuatu yang nyleneh, mustahil, tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pemimpin yang lahir atau dilahirkan dengan berbagai keunggulan, kemudian memiliki tanggungjawab terhadap tercapanya tujuan harus melayani pengikutnya. Apakah ini bukan cara berpikir yang terbalik? Ya, memang ini cara melihat fungsi dan peran pemimpin yang terbalik, artinya dalam melaksanakan kepemimpinannya tempat seorang pemimpin ada dibawah. Seorang pemimpin berfungsi sebagai pelayan bagi yang dipimpin. Ini tentu bertentangan dengan hukum dunia,bahwa pemimpin itu musti di atas, atau di depan yang dipimpin. Dalam pendekata pelayanan dalam kepemimpinan memang fungsi pemimpin berbeda dibandingkan dengan fungsi pemimpin konvensional, sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Menurut Robert Greenleaf, ada dua macam pemimpin:
1. Pemimpin Alami yang kuat, ia memegang kendali, mengambil keputusan, memerintah dalam situasi apapun. Ini model yang kita kenal dan berlaku saat ini (conventional leadership).
2. Hamba Alami yang kuat, sebaliknya hanya akan memegang kepemimpinan jika mereka memandang sebagai cara di mana mereka dapat memberikan pelayanan. (servant leadership)

Lahirnya seorang pemimpin menurut pendekatan ini Hamba Alami yang kuat, adalah karena adanya dorongan dalam diri seseorang pada saat melihat kebutuhan, keprihatinan dari seseorang atau sekelompok orang lain. Melihat hal seperti ini menimbulkan rasa belaskasih kepada orang lain sehingga tergeraklah hatinya untuk memberikan bantuan. Kondisi yang kurang menguntungkan dari orang lainlah yang menjadi faktor motivasi. Jadi tujuan pemimpin bukan sesuatu yang didasarkan atas kebutuhannya sendiri atau kebutuhan bersama, tetapi adalah membebaskan orang lain dari kesulitan atau membantu orang lain mencapai tujuan. Ken Blanchard menyebutkan ada tiga aspek kepemimpinan pelayanan yaitu HATI yang melayani (servant HEART), KEPALA atau pikiran yang melayani (servant HEAD), dan TANGAN yang melayani (servant HANDS). Hati, kepala dan tangan seorang pemimpin adalah hati, kepala dan tangan pelayan.
Ken Blanchard mengidentifikasi ciri-ciri pemimpin yang melayani sebagai berikut:
1. Melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya.
2. Memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya
3. Memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya.
4. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Saya yakin banyak diantara kita yang memiliki pelayan atau yang sering kita sebut PRT bila di dalam rumah tangga atau pelayan misalnya di toko atau di rumah makan, tetapi saya yakin tidak banyak di antara kita yang pernah berprofesi atau berperan sebagai pelayan. Nah marilah sejenak kita merenungkan seperti apa sih rasanya menjadi pelayan.

Hati yang melayani
Sudah tentu hati (rasa) sebagai pelayan akan sangat beda dengan hati (rasa) seorang “juragan”. Seorang pelayan akan menempatkan dirinya dibawa atau lebih rendah dari juragan yang dilayani. Kinerja seorang pelayan diukur dengan tingkat kepuasan yang dilayani. Ingat beberapa perusahaan menetapkan motto dengan dalil ini. Misalnya; “Kepuasan Anda adalah kepedulian kami.” atau “Kami melayani sepenuh hati.” Atau “Kami ada karena Anda membutuhkan.” Semboyan-semboyan ini menandakan bahwa pelanggan (yang dilayani) menjadi tujuan yang utama. Oleh sebab itu kepuasan yang dilayani menjadi tugas pokok dan fungsi perusahaan. Pelayan ada karena adanya kebutuhan orang lain untuk mendapatkan pelayanan. Agar tugas ini efektif syarat utama seorang pelayan adalah penyangkalan diri dan kasih. Penyangkalan diri yaitu mengesampingkan egonya, menempatkan diri sebagai obyek kepentingan orang lain, menjadikan dirinya seperti yang orang lain inginkan, tidak mementingkan diri sendiri (rendah hati). “Orang yang rendah hati bukanlah merasa dirinya rendah, melainkan tidak terlalu memikirkan dirinya saja.” (Ken Blanchard). Tokoh lain mengatakan: “Sungguh luar biasa yang dapat Anda capai, kalau saja Anda tidak peduli siapa yang dapat nama.” (Abraham Lincoln). Penyangkalan diri ini dapat dilakukan bila didasarkan atas rasa mencintai / mengasihi. Mengasihi berarti memberi, tidak menuntut, memahami, rela berkorban untuk yang dikasihi.
Oleh sebab itu tugas pelayan adalah pengorbanan, bukan hanya tenaga, pikiran maupun harta tetapi bahkan mengorbankan diri demi kepuasan yang dilayani. Syarat yang sangat-sangat tidak gampang, lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Kita bayangkan dalam kehidupan kita sehari-hari, saya yakin kita memiliki orang-orang yang kita kasihi. Tapi coba kita lihat apakah kita sudah dapat menyangkal diri, berkorban demi mereka? Kalu toh sudah coba berikan skor yang jujur berapa % yang kita capai. Ingat dalam tulisan saya yang lain, Tuhan menciptakan diri kita sebagai individu, makanya kita saling berbeda satu dengan yang lain. Kodrad penciptaan kita inilah yang menyebabkan 99,9% perhatian kita tertuju pada diri sendiri. Sebagai seorang pelayan prosentase itu harus dibalik, 99,9% untuk yang kita layani. Saya yakin Anda setuju dengan saya bahwa mencintai orang lain itu sulit, tetapi apakah mencintai orang lain itu sesuatu yang mustahil bagi kita? Terserang kita masing-masing.
Sebenarnya secara budaya, hasil dari penjajahan, hati seorang pelayan bukan hal yang asing bagi bangsa kita, karena kita pernah hidup sebagai bangsa terjajah. Ingat sejarah mengatakan tiga setengah abad lamanya kita hidup sebagai bangsa terjajah. Tiga setengah abad bukan waktu yang singkat untuk menanamkan budaya penjajahan yaitu membentuk mental bangsa terjajah, yaitu mental hamba. Dalam interaksi sosial kita mengenal hubungan Tuan dan Hamba, Juragan dan babu (Jongos, Kacung) dan istilah-istilah yang lain. Dari proses inilah terbentuk mental bangsa terjajah, mental babu, mental jongos, rasa tidak percaya diri (inferioritas) dan sampai sekarangpun bagi kita sebagai bangsa, perasaan ini masih ada. Indikatornya masih dapat kita lihat berupa, kebiasaan “sendiko dawuh” (menuruti apa kata yang di atas), upeti, ewuh pakewuh (sikap berbohong untuk menjaga perasaan orang lain).
Tetapi tentu berbeda makna antara pelayan dalam kontek kepemimpinan dengan pelayan dalam kontek babu. Kepemimpinan pelayanan tidak dibentuk dari dasar inferioritas (rendah diri), tapi dibentuk atas dasar kasih dan rendah hati. Pelayanan yang diberikan oleh pemimpin karena merasa terpanggil oleh keprihatinan orang lain yang dipimpin, sehingga melayani merupakan kebutuhan bukan kewajiban. Beda dengan pelayan dalam pengertian Babu. Dalam posisi sebagai babu, secara struktural berada di bawah, keberadaannya dibutuhkan oleh orang lain sehingga pelayanannya bukan sebagai kebutuhan bagi dia tetapi sebagai kewajiban. Dia didorong untuk memberikan pelayanan yang baik.

Pikiran seorang pelayan (the servant head)
Pikiran pemimpin yang melayani ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Teori psikologi yang membahas tentang pikiran sadar dan bawah sadar menjelaskan bahwa pikiran sadar hanya berperan antara 10 – 12% dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran sadar menurut Brian Tracy hanya berfungsi dalam identifikasi atau memaknai informasi baru berdasarkan hasil belajar yang tersimpan, analisis, evaluasi dan pengambilan keputusan. Kehidupan kita lebih banyak dikendalikan oleh Pikiran Bawah Sadar (PBS) kita, yaitu antara 88 – 90%. PBS kita menyimpan semua pengalaman atau hasil belajar yang kita peroleh selama hidup kita. Hasil belajar menjadi satu keyakinan (belief) yaitu sesuatu yang kita anggap benar. Karena kita menganggap benar maka menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku.
Ada tiga fase dalam proses kehidupan yaitu masa lalu, masa kini dan masa datang. Adalah perbuatan yang baik, belajar dari masa lalu, tetapi jangan hidup di masa lalu. Adalah perbuatan yang baik memiliki harapan di masa depan, tetapi jangan hidup di masa depan. Fokuslah pada masa kini, maka Anda sedang mengukir sejarah. Saya sadur dari pendapat James K. van Fleet. Belajar dari masa lalu agar kita tidak menjadi lebih bodoh dari keledai yang paling bodoh. Seperti bunyi pribahasa: “Keledai yang paling bodoh, tidak pernah terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya.” Hanya orang-orang yang bodoh yang selalu mengulang kesalahan yang sama. Tetapi kita jangan menggunakan pelajaran masa lalu untuk menterjemahkan masa kini. Ingat di dunia ini hanya ada tiga hal yang tetap (tidak berubah) kata Ken Blanchard, yaitu kematian, pajak dan perubahan. Jadi orang yang hidup di masa lalu akan segera menysul Denosaurus. Jangan hidup di masa depan, karena Anda hanya akan melamun, hanya bermimpi, tidak realistis dan hasilnya frustrasi. Meskipun kita tahu hanya orang yang hidup yang punya harapan tetapi jangan hanya berharap sesuatu terjadi tanpa upaya. Agar hidup kita bermakna pada masa kini isilah pikiran kita dengan apa yang ada saat ini, lakukan apa yang perlu Anda lakukan. Bagaimana memadukan masa lalu, masa kini dan masa depa? Belajar dari masa lalu, baik yang benar maupun yang salah, berpikir realistis, dan pandanglah masa depan dengan dasar iman, harapan dan kasih. Iman akan memantapkan langkah-langkah kecil kita dimasa kini karena dibimbing oleh iman kepada Roh Allah, harapan akan memandu langkah kita agar tidak menyimpang (mendapat ridho) dan kasih yang akan memungkinkan kita meberdayakan sumber daya secara optimal .
Inilah pikiran seorang pemimpin yang melayani. Selalu fokus pada apa yang sedang terjadi, apa yang sedang dihadapi orang yang dipimpinnya. Dari sini dia akan tahu apa yang diharapkan oleh mereka dari dirinya sebagai pemimpin, atau apa yang seharusnya dilakukan dia lakukan untuk membuat yang dipimpin dapat mengaktualisasikan dirinya. Setiap orang punya kebutuhan untuk menjadi dirinya sendiri, artinya dapat menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Dan peran (role) pemimpin adalah memfasilitasi orang yang dipimpin untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Tangan seorang pelayan.
Tangan adalah gambaran tentang tindakan nyata dalam melaksanakan peran tersebut. Bagaimana penerapan peran dalam pelayanan? Dalam kepemimpinan kita mengenal istilah yang populer saat ini adalah pemberdayaan (empowering ). Saya memaknai kata pemberdayaan ini dengan upaya yang membuat orang lain dapat menunjukkan atau menggunakan daya yang dimiliki secara optimal. Upaya ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki sumberdaya yang cukup, semua orang memiliki potensi. Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan sempurna berupa modal pisik dan non-pisik (akal). Modal ini cukup untuk mengatasi segala masalah hidup di dunia. Kunci mengembangkan orang munurut Ken Blanchard adalah mendapati mereka ketika mereka melakukan sesuatu dengan benar dan mengucapkan; “Trima kasih atas segalanya.” Intinya memanusiakan manusia. Saya yakin setiap orang pasti senang bila prestasinya dihargai. Penghargaan ini akan membuat seseorang bangga akan dirinya sendiri yang selanjutnya akan menciptakan citra diri yang positif.
Seorang pemimpin yang melayani memiliki visi yang jelas kemana arah yang dituju. Dia akan berusaha agar orang lain dapat memahami dirinya sehingga orang tidak harus selalu bertanya dan mohon petunjuk setiap akan melakukan sesuatu. Dia akan menterjemahkan visinya menjadi sasaran-sasaran yang SMART sehingga setiap orang tahu persis apa yang harus dicapai, sekaligus dapat mengukur kinerja dirinya secara obyektif. Sasaran yang SMART, disamping berfungsi sebagai arah yang akan dicapai, juga dipergunakan sebagai petunjuk dalam menentukan sarana yang diperlukan dalam mewujudkan sasaran, metode atau cara yang tepat untuk mencapainya, terakhir dapat berfungsi sebagai alat untuk mengukur tingkat keberhasilan secara obyektif.
Seorang pemimpin yang melayani tidak mencari-cari kesalahan tetapi selalu berada ditempat ketika orang mengharapkan bantuan. Dia tidak mengukur kinerja orang lain dengan ukurannya sendiri, tetapi selalu menggunakan ukuran yang telah disepakati bersama. Karena dia memahami bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki tanggungjawab, minimal tanggungjawab untuk menyelamatkan diri sendiri. Artinya setiap individu pasti berharap terpenuhi kebutuhan dan saya yakin setiap orang tahu juga keterbatasan dirinya yang membuatnya tidak dapat memenuhi kebutuhannya seorang diri. Kesadaran akan tanggungjawab kepada diri sendiri inilah yang membuat setiap individu memiliki keinginan berkembang, meskipun tidak setiap orang menyadarinya. Keinginan berkembang akan menjadi potensi yang sangat hebat yang mendorong individu menghasilkan kinerja yang spektakuler, yang diatas rata-rata . Faktor inilah yang dipergunakan oleh pemimpin yang melayani dalam menerapkan peran pelayanannya.



Semoga bermanfaat.