Senin, 13 Februari 2012

RENUNGAN DIRI

YOK OPO ENAK-E, YOK OPO APIK-E DAN YOK OPO BENER-E?
Fransiscus.
Renungan di awal Februari 2011
Tiga ungkapan dalam bahasa Jawa Timuran yang pertama menggambarkan suatu proses atau cara sesuatu dikerjalakan, sedang kedua menggambarkan hasil. Bermakna proses bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ; bagaimana enaknya, bagaimana baiknya dan bagaimana benarnya? Sedang dalam pengertian hasil dapat dimaknai seperti apa yang enak, yang baik dan yang benar? Saya yakin kita semua faham maknanya. Tiga ungkapan tersebut sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Biasanya pertanyaan tersebut dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan persetujuan orang lain dalam  pemecahan masalah yang dihadapi. Tidak selalu harus masalah bersama tetapi juga masalah individu.
Ketiga pertanyaan tersebut menunjukkan arah, tujuan atau  nilai yang ingin dicapai atas masalah yang dihadapi. Yok opo enak-e menanyakan kondisi kepuasan, kenyamanan yang berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan perorangan yang bersifat subyektif. Kondisi enak itu abstrak, tidak terukur secara kuantitatif. Enak bagiku belum tentu enak bagimu. Dalam suatu kehidupan bersama, ukuran enak itu merupakan kecenderungan, prosentase. Yok opo apik-e, menunjuk pada ukuran moral baik dan buruk meskipun sifatnya masih abstrak tapi sudah ada standarnya yaitu norma-norma etika dalam masyarakat yang biasanya mengatur perilaku konkrit. Perilaku mana yang boleh dilakukan, berarti baik, sedang yang tidak boleh dilakukan berarti buruk. Yok opo bener-e, menunjuk pada suatu kondisi yang sesuai dengan peraturan. Karena standarnya peraturan maka sifatnya obyektif, benar dan salahnya sesuatu dibandingkan denga persesuaiannya dengan peraturan. Lalu bagaimana hubungan ketiganya?
Sesuatu yang enak, belum tentu baik dan benar. Contohnya perilaku korupsi yang sekarang ini menjadi hoby banyak orang. Korupsi cara yang enak untuk mendapatkan uang karena tidak perlu mengikuti persyaratan dan prosedur yang diatur oleh peraturan. Perbuatan korupsi dilihat dari aspek moralitas tidak baik karena tentu mengambil hak orang lain. Perbuatan korupsi menghasilkan kerugian pada orang lain. Dan tentunya perbuatan korupsi itu salah karena melanggar peraturan.
Lalu bagimana dengan sesuatu yang baik?  Sesuatu yang baik belum tentu enak dan belum tentu benar. Contohnya, orang yang murah hati, sabar dan pemaaf, secara moral universal sikap yang demikian itu baik, tetapi belum tentu enak karena harus rela berkorban. Seberapapun kecilnya yang namanya korban itu pasti ada sesuatu dari diri kita yang diberikan kepada orang lain. Dan juga belum tentu benar menurut norma masyarakat, karena di masyarakat berlaku hukum balas dendam.
Selanjutnya bagaimana dengan Yok opo bener-e?  Bila melihat contoh di atas, yang bener tidak selalu enak, karena mentaati peraturan itu membutuhkan ketaatan, kedisiplinan pribadi dalam praktek, ini satu hal yang sulit dilakukan. Dan apakah kalau benar itu pasti baik? Inipun belum tentu, bahkan sering orang yang taat, disiplin tidak disenangi orang lain. Dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita dipaksa oleh diri sendiri untuk memilih mana yang perlu kita lakukan. Yok opo enak-e, Yok opo apik-e atau Yok opo bener-e. Nah lalu bagaimana? Atau mana yang kita pilih? Untuk menentukan mana yang paling cocok untuk diri Anda sangat ditentukan oleh Citra Diri kita. Yaitu orang seperti apa diri kita menurut kita. Apabila Anda memiliki Citra Diri negatif, Anda akan melihat diri Anda tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Berikut ini karakteristik Citra Diri Negatif yang diidentifikasi oleh James K Van Fleet:
1.      Merasa rendah diri.
2.      Kurang memiliki dorongan dan semangat hidup.
3.      Lebih suka menunda-nunda sesuatu.
4.      Memiliki gagasan dan emosi negatif.
5.      Pemalu dan suka menyendiri.
6.      Hanya memikirkan kepuasan sendiri.
Bila kita mengacu pada karakteristik ini, sudah dapat dipastikan bahwa orang yang bercitra diri negatif akan cenderung memilih Yok opo enak-e. Karena orang citra diri negatif akan selalu berpikir untuk diri sendiri dan kita juga tahu bahwa 99,9% pikiran kita terarah pada memikirkan diri sendiri. Sementara itu pada umumnya kita tidak tahu bagaimana mencintai diri sendiri yang benar, sehingga kita salah memperlakukan diri sendiri. Yang sering kita lakukan adalah memanjakan diri, permisif, tidak berani menghukum diri sendiri bahkan tidak mau mengakui kesalahan sendiri sehingga tidak merasa perlu memperbaiki diri, sulit meminta maaf, kikir dalam mengucapkan terimasih atas bantuan orang lain.
Kita tahu masyarakat memiliki tata nilai, yaitu sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi atau ukuran kondisi ideal yang dicita-citakan masyarakat. Tata nilai ini menjadi ukuran atau standar baik dan buruk, patut dan tidak patut suatu tingkah laku dan hasil kerja anggotanya. Dari sinilah akhirnya norma-norma hubungan dalam masyarakat lahir dan berkembang. Suatu norma yang akan mengikat, mengatur dan memaksa setiap anggota.  Mengapa atau apa yang melatar belakangi seseorang mengucapkan pernyataan diatas?  Jawabannya adalah karena rasa takut. Ada dua macam rasa takut menurut Arielle Essex 2008 :
Pertama, takut gagal. Yaitu adanya kondisi mental negatif berupa ketidak percayaan diri atau karena adanya keraguan. Seseorang mengucapkan pertanyaan itu karena ia merasa tidak tahu atau tidak yakin tahu bagaimana dan seperti apa yang seharusnya. Ini tentunya dikaitkan dengan standar nilai masyarakat. Tidak yakin bahwa dirinya memiliki cukup kemampuan yang diperlukan untuk melalukan atau mewujudkan hasil yang baik. Sudah terbayangkan, berdasarkan pengalaman hidupnya, seseorang seringkali mendapat celaan, tegoran karena kesalahannya, kegagalannya. Ini semata-mata disebabkan karena hasil ketidak tahuan. Membayangkan hal yang demikian, timbulah rasa takut gagal.
Apa bila diperdalam analisis penyebab mengapa orang takut gagal, akan lebih mengerikan lagi bagi mereka yang beriman. Sebab bagi orang yang beriman, hanya Tuhan yang tidak pernah salah, tidak pernah gagal,  dus,  artinya semua orang pasti pernah salah. Jadi orang yang tidak berani gagal, mengidentikkan dirinya dengan Tuhan, ini sangat berbahaya dan pikiran sesat. Sebab bagi orang yang citra dirinya negatif, selalu mengidentikkan dirinya dengan apa yang dihasilkan. Harga dirinya diukur dengan hasil kerja yang dicapai, aku adalah hasil kerjaku. Untuk mengangkat harga dirinya, hasil kerjanya harus benar, harus berhasil dan dihargai orang lain.  Ego lebih penting dari pada Self, sehingga hidupny sangat tergantung pada orang lain.
Kedua, berkaitan dengan rasa takut tidak diterima oleh orang lain. Dari pengalaman yang dimiliki seseorang ternyata bahwa bila ada orang yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai atau menyimpang dari standar nilai masyarakat, orang tersebut akan dihukum. Hukuman pertama yang sering diterima langsung adalah celaan, tegoran, ejekan bahkan hanya sekedar senyuman sinis atau ditertawai. Lebih dari itu dijadikan pergonjingan atau obyek gosip masyarakat, sampai ke hukuman disisihkan dari pergaulan. Dan dari hasil pengalaman juga hukuman ini sangat menyakitkan, sangat memalukan.
Pertanyaan yang kemudian timbul dalam pikiran kita adalah; Dari mana, kapan awalnya dan bagaimana prosesnya sampai-sampai kita memiliki rasa takut tersebut? Menemukan jawaban atas pertanyaan ini akan memberi jalan bagi mereka yang memiliki rasa takut dan ingin menghilangkannya? Saya yakin pembaca sama dengan saya memiliki keyakinan bahwa Tuhan Maha Baik. Mari kita analisis secara logika kita yang terbatas ini, karena tidak cukup untuk memahami Tuhan dengan seutuhnya. Maha Baik berarti tidak memiliki kejelekan, atau tidak ada yang jelek dalam Tuhan. Nah mari kita lihat diri kita. apa bila kita misalnya tidak memiliki baju yang jelak, artinya baju kita semuanya “baik” menurut kita. Lalu pada saat itu kita memiliki rasa iba kepada seseorang yang tidak berbaju karena tidak punya, lalu baju mana yang akan kita berikan pada orang tersebut? Saya yakin kita akan memberikan salah satu baju baik yang kita miliki. Pertanyaan saya yang kedua. Menurut keyakinan Anda dari mana diri kita berasal, atau siapa yang menjadikan diri kita? Saya yakin Anda akan menjawab Tuhan. Kesimpulan yang dapat saya ambil dari  jawaban Anda atas dua pertanyaan saya diatas adalah bahwa diri kita baik, sempurna, karena kita diciptakan oleh Yang Maha Sempurna. Inilah kodrad kita.
Dengan logika sederhana tadi, masihkah kita akan takut gagal, takut salah? Ataukah masih percayakah Anda bahwa rasa takut yang anda miliki itu anugrah Tuhan?  Lalu dari mana atau dari siapa rasa takut yang kita miliki? Kesempurnaan diri kita rusak pada enam bulan pertama kehidupan kita di dunia kata Tracy Hogg dalam bukunya Mendidik dan mengasuh anak Balita. Kita bisa menebaknya siapa itu? Saya tidak mau menuduh orang tua kita atau lebih-lebih ibu kita. Saya lebih senang meletakkan penyebabnya pada Pola Asuh yang kita terima saat kita balita. Pola asuh yang negatif, yang penuh tekanan, ancaman, kekawatiran, pembatasan,  akan menghasilkan rasa ketidak percayaan pada kemampuan diri, kemanjaan, rasa takut, rasa malu, keraguan dan inilah cikal bakal tidak percaya diri.
Nah setelah kita tahu penyebabnya lalu bagaimana bila kita punya keinginan untuk  menghilangkannya? Caranya gampang sekali. Anda pernah mendengar kata mitos? Mythos dari bahasa Latin Kuno,(Grolier Inglish International Dictionary), menjadi myth dongeng, isapan jempol, ceritera yang dibuat-buat (Kamus Ingris – Indonesia). Jadi tidak layak dipercaya. Salah satu mitos tentang diri kita adalah kita memang punya keterbatasan karena kita memang bukan Yang Maha Sempurna. Saya tidak membantah bila Anda punya pendapat seperti itu. Tapi percayalah bahwa kita dianugerahi kemampuan yang tak terbatas untuk menjadi seperti yang kita inginkan di dunia ini. James K Van Fleet 2001 menulis “Anda akan menjadi seperti yang Anda pikirkan, oleh sebab itu hati-hatilah dengan pikiran Anda.”  Saya yakin Anda banyak tahu tentang prestasi luarbiasa di banyak bidang kehidupan, yang dapat ditunjukkan oleh manusia sepanjang sejarah, seperti yang tercatat di Guinness book of records, Muri atau Nobel. Kalau mereka bisa mengapa kita tidak? Apa yang salah? Apakah Tuhan tidak adil dalam memberikan kemampuan pada umatnya? Mana dari tiga pernyataan dan pertanyaan diatas yang akan kita pilih sebagai nilai dasar dan tujuan dalam hidup kita? Tergantung pada Pola Pikir Kita. (Agar lebih jelas baca juga tulisan saya yang lain di Blog ini)
Semoga bermanfaat.