Kamis, 07 Juli 2011

MENGEMBANGKAN DIRI

SEANDAINYA LAWAN BERIKUTNYA

Fransiscus
Renungan bulan Juni 2011.
Kita bayangkan diri kita sedang berdiri di jalan dan menghadap kearah satu jurusan, kata “seandainya” menggambarkan tempat yang berada di belakang kita, sedang kata “berikutnya” menggambarkan tempat yang berada di depan kita. Atau dengan kata lain seandainya menggambarkan peristiwa masa lalu yang sudah kita jalani, sudah terjadi dan merupakan catatan sejarah hidup. Sedang berikutnya adalah apa yang akan kita lakukan, perjalanan yang akan kita tempuh, peristiwa yang belum terjadi. Dari gambaran singkat ini kita menjadi tahu bahwa dua kata ini menggambarkan makna yang berbeda. Kata seandainya menggambarkan kodisi mental seseorang yang merasa menyesal atas apa yang telah terjadi karena tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Penyesalan merupakan hasil dari kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan. Sedang berikutnya adalah gambaran suasana hati yang penuh harapan terhadap sesuatu yang yang belum ada, belum terjadi. Berikutnya mununjuk pada apa yang akan dilakukan kemudian, setelah melihat hasil  saat ini yang kurang memuaskan serta didorng adanya sesuatu yang diharapkan akan diperoleh.   
 Apa yang menjadi latar belakang pemikiran saya menetapkan topik ini dalam  perjumpaan kita di bulan Juli ini,dengan mempertentangkan dua kata ini? Apa yang ingin saya peroleh dari hasil pertandingan dua kata tersebut? Hidup adalah sebuah proses yaitu proses untuk menjadi semakin baik, ini yang tiap orang inginkan. Tetapi apakah setiap orang akan mendapatkan hal seperti itu? Saya yakin tidak. Kenyataannya ada orang yang merasa menjadi semakin baik tapi lebih banyak lagi orang yang merasa sebaliknya. Mengapa terjadi seperti itu?
Hidup adalah proses, kemarin, hari ini dan besuk.
Dari literatur baik dibidang biologi, psikologi maupun sosial tertulis bahwa hidup manusia berkembang dari kecil menjadi besar, dari bayi, ke anak-anak, kemudian remaja, dewasa dan akhirnya manula. Masing-masing tahapan memiliki ciri tertentu sehingga dapat dikenali seseorang telah berada pada tingkatan yang mana. Ciri-ciri itu dapat dilihat dari berbagai aspek. Secara biologis berupa perbedaan tinggi badan, volume suara, kematangan organ sexual dan lain-lain. Dari aspek psikologi berupa perkembangan cara berpikir, keseimbangan antara rasio dan emosi. Dari aspek sosial berupa kualitas dan kuantitas interaksi dengan orang lain. Sejarah tidak perlah terulang, demikian juga pertumbuhan diri kita. Kita tidak akan pernah menjadi bayi lagi.
Dalam proses pertumbuhan ini, atau yang disebut dalam perjalanan hidup ini, manusia tumbuh, berkembang malalui berbagai peristiwa, pengalaman hidup. Manusia berinteraksi dengan lingkungan baik lingkungan manusia maupun lingkungan alam. Di sinilah manusia belajar untuk dapat mengetahui bagaimana lingkungan berpengaruh dalam hidupnya. Baik pengaruh itu positif yaitu yang bermanfaat dalam upaya menuhi kebutuhannya, maupun yang negatif yang menghalangi terpenuhinya kebutuhan. Proses belajar ini dimulai sejak masih dalam kandungan, meskipun manusia belum memahami apa yang tertangkap dengan inderanya sampai saat mati. Bila kita  mengikuti hasil penelitian para ahli, mereka menemukan bahwa janin dalam kandungan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya. Perasaan seorang ibu saat mengandung dapat mempengaruhi kondisi janin dan bahkan akibatnya akan tetap dapat dilihat pada saat menjadi manusia dewasa. Atas dasar pendapat inilah maka dalam pendidikan dikenal progran pendidikan seumur hidup (life long education), pendidikan manusia sepanjang hayat dimulai sejak dalam kandungan.
Apa jadinya diri kita setelah dewasa? Diri kita diwarnai oleh apa yang kita peroleh dari masa lalu. Hasil belajar masa lalu menjadi suatu kebenaran (belief). Karena apa yang telah kita alami adalah fakta, kenyataan, atau bukti yang tidak terbantahkan. Sehingga tidak salah bila kita selalu melihat sesuatu dengan kaca mata hasil masa lalu itu (the human memory system). Saya punya saudara sepupu yang umurnya lima tahun dibawah saya, sampai sekarang dia tidak mau makan daging sapi. Ketika saya tanya mengapa tidak mau daging sapi? Ia selalu menjawab gak tahu. Sebenarnya saya sudah tahu bahwa dia tidak suka dan sebenarnya saya tahu juga apa sebab dia tidak suka daging sapi. Ceriteranya begini.  Dia punya kakak lain ayah yang usianya dua tahun diatas saya. Pada saat kakaknya disunat (kitan) kira-kira tahun 1955, sepupu saya ini, Henry namanya, kira-kira berusia tiga tahun. Pada saat itu bagi orang kaya di desa, peristiwa sunatan, apa lagi anak pertama merupakan peristiwa besar, yang ditandai dengan pesta besar-besaran. Untuk menjamu para tamu dalam pesta tersebut,  orang tuanya menyembelih sapi jantan tambun.
Peristiwa penyembelihan sapi inilah yang menyebabkan Henry sampai tua tidak mau makan daging sapi. Saat itu penyembelihan sapi dilakukan sendiri oleh orang desa dibawah pimpinan Modin (pemuka agama ). Penyembelihan dilakukan di halaman belakang  rumah. Saya dan teman-teman, termasuk Henry melihat proses penyembelihan itu. Pertama dibuatkan lubang dan di dalamnya diletakkan tempayan. Di bibir lubang diletakkan batang pisang. Kemudian sapi diikat pada dua kaki di sisi kanan sedang kaki kiri dibiarkan bebas. Masing-masing tali pengikat kaki tersebut dipegangi dua orang, sementara kepalanya dipegangi satu orang. Pak  Modin membawa sebilah pisau besar yang mengkilap sedang tangan kiri memegang sepotong daun pisang. Setelah semua petugas siap, Pak Modin memberi aba-aba, satu, dua, tiga, haaap. Masing-masing orang pemegang tali dengan serempak menarik tali, bluug sapi jatuh, Pak Modin langsung menggorok leher sapi dengan pisau besarnya, menyemburlah darah dari leher sapi dan  ternyata daun pisang yang dibawa Pak Modin tadi dipergunakan untuk menutupi semburan darah dari leher. Saya tidak tahu apa yang menjadi sebabnya, tahu-tahu sapi terlepas dari penguasaan orang-orang tadi dan berdiri, lalu berlari-lari. Semua orang yang melihat termasuk anak-anak menjerit sambil lari ketakutan. Ini berjalan beberapa waktu sampai akhirnya sapi terjatuh karena kehabisan darah. Sejak saat itu Henry tidak mau makan daging sapi.
Hasil belajar menjadi kebenaran (belief) dan inilah yang kemudian menjadi pedoman, menjadi alat evaluasi, menjadi pisau analisis, menurut istilah Bung Karno, terhadap stimulus yang tertangkap oleh indera. Dan hasilnya setuju atau tidak setuju. Proses ini terjadi secara otomatis karena telah tertanam dalam pikiran bawah sadar kita (unconcious mind). Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa 88% - 90% hidup kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar kita, sedang pikiran sadar kita hanya berpengaruh sebesar sisanya. Pikiran sadar berfungsi hanya saat  proses pengambilan keputusan dalam menghadapi kenyataan yang tidak sesuai (masalah), realitas yang terjadi saat ini, sekarang. Jadi pikiran sadar berfungsi untuk menghadapi kenyataan, kekinian. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa apa yang ada sekarang adalah hasil kemarin, maka pikiran sadar dalam menentukan keputusan selalu mendasarkan pada hasil pengalaman kemarin.
Pengambilan keputusan dalam pikiran kita selalu berjalan dalam  tahap- tahap. Tahap pertama adalah identifikasi, yaitu proses mengenali ciri-ciri suatu fenomena yang tertangkap oleh indera. Dari tahap ini kita mendapatkan ciri-ciri suatu benda atau peristiwa. Pada tahap inipun kita tetap berpegang pada hasil belajar. Contoh waktu kita melihat satu benda. Bentuknya bulat, lebih besar dari genggaman, ada bulunya, warnanya kuning kehijauan, ada garis lengkung yang membelah permukaanya, tidak keras tapi lentur, dan bila dijatuhkan melanting. Kita dapat melihat dan merasakan benda tersebut dan mengenali ciri-cirinya berdasarkan hasil belajar kita. Kita tidak dapat mengatakan bentuknya bulat, bila kita belum punya memori tentang bentuk bulat ini. Setelah kita mengenali ciri-cirinya baru kita ke tahap kedua yaitu membandingkan. Tahap ini membandingkan hasil identifikasi tadi dengan benda lain yang sudah pernah kita ketahui, kemudian kita masuk tahap ketiga, melakukan evaluasi sehingga akhirnya  kita dapat mengatakan benda itu bola tenis sebagai tahap keputusan aku suka apa tidak.
Hidup kita terdiri dari serangkaian keputusan ke keputusan. Setiap detik kita harus mengambil keputusan. Hidup kita merupakan hasil keputusan yang kita ambil setiap saat. Bahkan dampak keputusan yang kita ambil saat ini tetap kita rasakan akibatnya seumur hidup. Saya sering mendengarkan acara wejangan Bhiksu yang disiarkan oleh salah satu TV swasta di Malang, saya menangkap dari persepsi saya lo, bahwa dalam ajaran Buda, yang penting adalah hidup saat ini, bukan kemarin atau besuk setelah mati. Berusahalah hidup yang baik saat ini. Saya dapat memahami pandangan itu karena memang sekarang inilah realitas, konkrit yang bisa kita rasakan. Sedang besuk kita belum tahu tetapi dapat diyakini bahwa hasil  saat ini berdampak pada kehidupan besuk. Dan apa yang ada saat ini merupakan hasil kemarin. Apabila ingin menikmati hidup yang baik, maknailah hidup saat ini. Setiap detik, setiap keputusan yang kita ambil haruslah yang baik.
Lalu bagaimana dengan masa lalu, dengan keputusanku kemarin atau yang baru saja kita lakukan? Ada salah satu sisi negatif dalam diri kita dimana kita tidak dapat membedakan antara realitas dan impian. Ini terjadi pada saat kita melamun, bermimpi, kita tidak lagi menyadari keberadaan kita saat ini. Pikiran kita hanya terfokus pada impian, khayalan, angan-angan, ilusi. Sering pada saat seperti ini membuat kita tidak mendengar suara, tidak melihat atau merasakan keadaan sekitar. Mata kita terbuka tetapi tidak melihat, telinga tidak mendengar karena pikiran asyik menggambarkan sesuatu yang berada di luar kenyataan. Bila kondisi seperti ini terjadi setiap saat kita menghadapi kenyataan, tentu keputusan yang kita ambil akan salah.
Memang masa lalu memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap hidup kita saat ini dan besuk, tetapi kita perlu ingat bahwa kita tidak dapat merubah masa lalu. Kita tidak dapat hidup kembali pada masa lalu. Masa lalu adalah fakta, sejarah yang sudah pasti, permanen. Kita bisa menghilangkan catatan peristiwa masa lalu, tetapi kita tidak dapat merubah sejarah. Seperti contoh hilangnya SUPERSEMAR yang keramat itu, atau yang dikeramatkan oleh Pak Harto, tetapi sejarah telah mencatat terjadinya peralihan kepemimpin negara yang tidak dilakukan melalui proses Undang Undang Dasar, sehingga sampai sekarang tetap menjadi misteri. Selain itu masih banyak sekali peristiwa masa lalu bangsa kita yang telah dilupakan karena tidak tercatat atau catatan telah hilang. Perlu kita akui bahwa sebagai bangsa kita belum atau tidak memiliki budaya mencatat. Masih banyak pemikiran atau peristiwa besar yang berkaitan dengan orang-orang besar yang tidak tercatat. Dan kondisi ini tentu ada hubungannya dengan budaya membaca dan budaya belajar. Pada dua budaya terakhir inipun kita masih lemah. Demikian juga halnya hidup kita secara pribadi tidak banyak yang memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Secara sederhana dapat dilihat dari prilaku para peserta diklat aparatur yang saya hadapi setiap hari. Meskipun buku bahan ajar sudah dibagikan saat mereka cek-in tetapi belum juga dibaca sampai jadual pembelajaran dimulai, dan apabila saat pembelajaran di kelas mereka diberi waktu untuk membaca, sebagian besar tidak melakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu tidak salah bila ada orang yang berkata bahwa dengan kematian seseorang sama dengan terbakarnya sebuah perpustakaan.
Lalu apa yang perlu kita lakukan terhadap masa lalu? Banyak orang mengatakan masa lalu cukup kita pergunakan sebagai kenangan. Ada juga yang berpendapat masa lalu kita pergunakan sebagi pelajaran. Bung Karno mengingatkan bangsanya untuk tidak meninggalkan sejarah (JASMERAH). Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, tapi saya juga tidak menganggap sepenuhnya benar. Semuanya perlu dilihat dari konteknya serta manfaatnya terhadap tujuan yang diinginkan. Mengapa demikian, karena dunia ini berputar, semua berubah, tidak ada yang permanen, kecuali perubahan itu sendiri. Suatu masalah selalu timbul dari setting (latar) suasana tertentu. Latar suatu masalah terdiri dari berbagai aspek baik itu alam yang terdiri dari berbagai unsur, aspek masyarakat yang terdiri dari banyak unsur, juga aspek pribadi yang terdiri dari banyak unsur juga. Aspek-aspek ini semua berpengaruh terhadap masalah yang terjadi dan yang penting difahami aspek –aspek itu berubah dalam perjalanan waktu. Jadi seandanya toh di kemudian hari terjadi masalah yang sama, tetapi yakinlah bahwa kondisi aspek yang berpengaruh sudah berubah, tidak sama persis dengan kondisi aspek yang berpengaruh terhadap masalah yang lalu.  Dengan demikian kita  akan salah bila menggunakan pendekatan penyelesaian yang sama dengan penyelesaian masalah yang lalu. Bila demikian yang terjadi bukan meyelesaikan masalah tanpa masalah, seperti semboyannya PN Pegadaian, tetapi menyelesaian masalah yang menimbulkan masalah baru. Inilah yang banyak terjadi di negara kita.
Ungkapan seandainya, konotasinya negatif karena berkaitan dengan penyesalan, kekecewaan karena hasil yang diperoleh tidak sebagaimana yang diharapkan. Penyesalan karena menyadari telah terjadi kesalahan pengambilan keputusan, atau kerena sesuatu yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan. Ungkapan seandainya lahir karena kekurang sempurnaan.Seandainya mengharapkan adanya pengulangan agar tidak salah. Tentu saja ini harapan yang mustahil, sejarah tidak pernah terulang.
Untuk menghindari kekecewaan terhadap apa yang telah terjadi, saran saya adalah pandanglah masalah sekarang dengan cara pandang sekarang, ini cara yang ampuh untuk menghapuskan penyesalan, menghilangkan penggunaan kata seandainya dari khasanah pikiran kita. Gunakanlah perspektif kekinian untuk melihat hari ini. Fakta apa yang saya tangkap dengan indera? Artinya lakukan modifikasi terhadap informasi hasil belajar yang telah tersimpan dalam memori dengan cara berpikir lateral, berpikir kritis. Selalu bertanya apakah pengetahuanku masih sesuai dengan fakta, apakah masih bermanfaat? Bila tidak, apakah perlu dirubah, atau diganti? Bila jawabannya ya bagaimana merubahnya atau apa penggantinya? Dengan berpikir demikian maka apa yang aku lakukan saat ini selalu up to date.
Kesulitan dalam berpikir kekinian adalah arsip masa lalu yang disebut belief. Kita cenderung menggunakan hasil belajar masa lalu sebagai acuan untuk bertindak masa kini. Pengetahuan pada dasarnya adalah apa yang sudah kita ketahui. Apa yang sudah terjadi itulah fakta, yang benar. Apa yang benar akan menjadi pedoman dalam bertindak,  yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi nilai, apa yang berharga. Dalam kehidupan kita nilai ini berfungsi sebagai batu penjuru yang menjadi pedoman arah perjalanan hidup kita. Apa yang akan kita wujudkan dalam hidup ini, karena nilai menggambarkan sesuatu yang berharga bagi kita. Disamping sebagi batu penjuru, nilai juga berfungsi sebagai alat evaluasi yang menentukan sesuatu itu baik atau buruk, sehingga kita dapat memutuskan respon kita, setuju atau tidak setuju. Kita selalu mengambil keputusan berdasarkan kecocokan dengan nilai ini. Hasil (nasib) yang kita peroleh merupakan akibat dari keputusan ini.
Lalu bagaimana dengan berpikir berikutnya? Berikutnya terjadi setelah tahab sekarang. Berikutnya merupakan langkah yang akan dilakukan berdasarkan apa yang telah dilakukan.  Jadi berikutnya merupakan langkah untuk mewujudkan impian, harapan yang belum nyata. Karenanya maka kata berikutnya membutuhkan karakteristik yang berbeda dengan seandainya. Agar kita tidak lagi terjebag pada penyesalan, kekecewaan yang terulang, maka berikutnya harus kita maknai secara rasional. Artinya berangkat dari realitas, kekinian. Yang pertama adalah apa kebutuhan utama yang harus aku penuhi. Dalam hal ini kita perlu dapat mengklarifikasi secara jelas supaya tidak rancu dengan keinginan. Kebutuhan mengacu pada sesuatu yang harus terpenuhi karena keberadaanya diperlukan dalam kehidupan. Definisi dari Stephen P Robbins dalam Perilaku Organisasi, kebutuhan berarti suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil-hasil tertentu tampak menarik. Kebutuhan berfungsi mendorong individu berupaya untuk memenuhi. Tinggi rendahnya semangat suatu upaya tergantung dari tinggi rendahnya tingkat menarik tidaknya sesuatu itu bagi individu.  Sedang keinginan tidak selalu mendorong individu untuk mewujudkan.  Kedua sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sumberdaya disini khususnya adalah sumberdaya mental yang berupa kemampuan pendaya gunaan pikiran. Karena dilihat dari potensi (daya pikir) semua orang relatif sama, yang berbeda adalah pendaya gunaan potensi tersebut.  Tentang apa dan bagaimana daya pikir dan pendaya gunaan pikiran akan dibahas dalam perjumpaan yang lain.
Dua hal inilah yang kita perlukan untuk melakukan berikutnya yaitu tujuan yang jelas serta kemampuan yang nyata-nyata diperlukan untuk mewujudkannya.
Semoga bermanfaat.

Senin, 02 Mei 2011

Pengembanagan Diri

TAKUT
Siapa takut?
“... Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau munum, dan jangan kuatir pula pada tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Lukas 12: 25)
Tidak ada satu orangpun yang tidak pernah merasa takut, perasaan yang akrab sekali dengan diri kita, sampai-sampai ada orang yang mengatakan, karena rasa takut itulah makanya engkau hidup. Saya rasa benar juga pendapat ini, karena orang mati tidak punya rasa takut. Namun demikian pada umumnya kita memiliki persepsi yang negatif terhadap rasa takut ini. Takut menggambarkan kondisi mental yang lemah, yang tidak macho, tidak gagah, tidak percaya diri dan akibatnya merugikan. Jarang sekali orang memaknai rasa takut dengan makna positif, padahal tidak selamanya takut itu negatif. Misalnya takut berbuat dosa, bukankah itu takut yang baik?
 Ingat rumus matematika (-  x -  = +) negatif X negatif = positif,( - x + = - ) negatif . X positif = negatif. Berdasarkan rumus ini maka benarlah kata filsuf China, Tao yang mengatakan; “Putih tidak selamanya baik, dan hitam tidak selamanya jelek.”  Yang menjadi masalah adalah  ketika orang tidak dapat membedakan mana hal yang positif yang harus aku respon secara positif, dan mana hal yang negatif yang harus direspon secara negatif, agar hasilnya tetap positif.
Saya sangat terkesan dengan tulisan DR. Norman Vincent Pearle lewat bukunya yang berjudul  Anda pasti bisa bila Anda berpikir bisa, yang ditulis tahun 1974, yang di Indonesia diterbitkan oleh Binarupa Aksara, tahun 1993. Saya membeli buku itu bulan September tahun 1994 tetapi saya baru membaca sampai bab 1 dan setelah itu melupakannya, entah mengapa. Saya menemukan kembali buku itu diantara deretan buku saya pada tahun 2010. Lama saya renungkan judulnya, apa kira-kira isinya, apa ada hubungannya dengan topik yang sekarang lagi saya tekuni, saya belum membuka apa lagi membacanya. Saya buka daftar isi, ada sedikit gambaran isi buku ini relevan dengan apa yang saya perlukan. Dari situ mulailah saya baca  Pengantar sampai bab terakhir.  Saya sedikit menyesal mengapa tidak saya baca mulai dulu? Untung tulisannya masih terbaca karena halamannya saling lengket akibat  terkena air hujan saat rumah saya bocor.  Judul diatas terinspirasi oleh judul buku tersebut.
DR. Pearle, menyebutkan tiga jenis ketakutan yaitu agorafobia, takut kepada tempat terbuka, klaustrofobia, takut kepada tempat tertutup, dan akrofobia, takut kepada tempat tinggi. Disamping itu menurutnya masih ada sembilan puluh delapan ketakutan lagi.  Saya tidak tahu jenis ketakutan seperti apa yang dia maksud. Saya akan melihat rasa takut ini dari sudut pandang yang berbeda, tapi sama-sama dapat menyebabkan orang terhambat atau terhalang bahkan mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu. Sebelum lebih jauh berbicara tentang rasa takut ini, saya ajak dulu anda menelusuri mengapa orang merasa takut? Kapan orang mulai merasa takut?
Mengapa takut?
1.      Salah memandang diri sendiri.

Takut, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap diri sendiri. Takut seringkali bukan disebabkan oleh musuh atau yang kita hadapi terlalu besar atau terlalu kuat, tetapi karena kita merasa terlalu kecil atau terlalu lemah. Kita merasa tidak ada potensi apapun yang dapat dipergunakan untuk menghadapi. Kalaupun kita dipaksa untuk menghadapi musuh itu kita pasti akan kalah dan kekalahan itu menyakitkan, memalukan. Saya tertarik dengan Hukum Korespondensinya DR Ibrahim Elfiky, dalam bukunya, Terapi Berpikir Positif, yang intinya adalah bahwa pikiran adalah persepsi. Yaitu bagaimana kita memaknai atau cara pandang kita terhadap alam (sesuatu yang tertangkap oleh indera). Yang disebut kenyataan (realitas), kebenaran (keyakinan), itu ada dalam pikiran (persepsi) kita. Dan jangan terkejut bahwa itu bukan kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya, tapi hanya kenyataan dan kebenaran relatif.  Yaitu kebenaran dan kenyataan menurutku, menurut persepsiku. Persepsilah yang mendifinisikan alam termasuk tentang siapa aku.   “Tidak seorangpun dapat membuat anda lebih kecil darinya tanpa izin dari anda sendiri.” Kata Ibrahim lfiky. Sementara persepsi sendiri terbentuk dari hasil belajar sejak kecil.
Saya ingat kejadian yang merugikan diri saya sendiri. Saya dilahirkan di dunia sebagai anak bungsu dan laki-laki satu-satunya. Saya yakin Anda dapat membayangkan bagaimana sikap ibu saya kepada saya.  Sudah lazim di masyarakat kita bahwa anak dengan posisi seperti saya ini pasti sebagai “Anak Mama” artinya anak kesayangan ibu. Bagaimana sikap dan perilaku ibu terhadap anak kesayangan? Saya yakin Anda pasti juga tahu. Pertama, hampir semua keinginannya dipenuhi sepanjang mampu memenuhi. Kedua, mendapat perlindungan yang istimewa, bahkan over protected. Ketiga selalu benar, tidak pernah salah dan selalu menang (dimenangkan). Sikap seperti ini berlanjut terus sampai beliau tidak mampu lagi melalukannya. Apa akibat dari perlakuan seperti ini, saya merasa tidak mampu, tidak PeDe (self underconfidence). Menjadi “Jago kandang” artinya hanya berani bila di rumah sendiri, di lingkungan sendiri, tidak berani keluar dari wilayah nyaman, tidak berani mencoba hal yang baru, tidak berani bersaing, berkompetisi secara terbuka.
Cara memandang diri sendiri yang salah seperti itu, akan menghasilkan cara memandang  orang lain yang salah juga (negatip ). Orang lain dipandang sebagai pesaing, sebagai musuh yang kehadirannya hanya akan mengurangi bagian yang seharusnya dia terima. Bila kita memiliki pandangan yang demikian terhadap orang lain, tentu kita beranggapan bahwa semua orang pasti memiliki perasaan yang sama dengan perasaan kita kepada mereka yaitu membenci, memusuhi dan tidak bersahabat. Orang lain hanya mau membantu bila mendapat imbalan, semua bentuk persahabatan hanyalah kepura-puraan. Dunia ini panggung sandiwara seperti lagunya  Achmad Albar. Tdak ada rasa kedamaian dan persahabatan sejati, yang ada kepentingan. Seperti pandangan orang politik, tidak ada kualisi permanen, yang ada kepentingan kekuasaan. Pandangan demikian tentu menghasilkan rasa takut, cemas, khawatir dan akan menghasilkan prilaku reaktif untuk mempertahankan diri.
2.      Mencintai apa membenci diri sendiri?
Setiap orang mencintai dirinya sendiri itu pasti, tentunya orang normal lo. Saya tidak tahu apakah orang sakit jiwa itu juga mencintai dirinya sendiri.  Pembaca yang mengerti tentang ini, saya sangat berterima kasih, bila berkenan memberi penjelasan.  Tetapi tidak setiap orang dapat mencintai dirinya sendiri dengan benar. Banyak orang tidak tepat memaknai rasa cinta dan inilah yang akan membedakan bentuk implementasinya. Kita sering sulit membedakan antara mencintai atau membenci. Karena kata orang  beda antara cinta dan benci itu sangat tipis.  Berikut beberapa ungkapan yang dapat membedakan antara cinta dan benci. Cinta itu memberi bukan meminta, rela berkorban bukan menuntut hak, melindungi bukan mengabaikan, menghukum bukan membiarkan .  Untuk memperjelas perbedaannya marilah kita lihat contoh implementasi pasangan konsep tersebut dalam perilaku.
Bila kita mencintai pasangan kita, maka kita akan berusaha dapat memberikan apa yang ia butuhkan, bukan sebaliknya kita minta agar ia memenuhi apa kebutuhan kita. Coba ingat-ingat suasana hati kita saat kita masih pacaran, atau  saat penganten baru, atau terhadap anak atau cucu pertama. Suasana hati itu mendorong kita untuk berusaha memberikan apapun yang dapat kita berikan dengan penuh kegembiraan, keiklasan. Untuk dapat memberikan apa yang ia butuhkan, kita rela mengorbankan diri kita, bukan hanya pisik dan mental tetapi bahkan nyawa, seperti pernah dikatakan oleh novelis  tahun lima puluhan Motinggo Busye. Bila kita mencintai sudah pasti kita akan selalu berusaha melindungi yang kita cintai agar terhindar dari bahanya, terhindar dari kerugian, terhindar dari rasa malu dan sebagainya. Bukan membiarkan, permissive, tidak berani menolak, mencegah, bahkan menghukum,  sehingga hal yang tidak  nyenangkan menimpa dirinya.
Demikian juga halnya bila kita mencintai diri sendiri sudah tentu kita tidak akan merelakan diri kita mendapat malu, dihina orang, mendapatkan penderitaan dan ketidaknyamanan yang lain. Lalu apa yang kita lakukan terhadap diri kita? Bila kita punya konsep diri positif yang kita lakukan tentunya membekali diri dengan kemampuan yang dibutuhkan, caranya berupaya dengan belajar atau berlatih, meskipun ini tentunya membuat kita menderita. Ingat pepatah, bila ingin pandai belajarlah, bila ingin kaya bekerjalah.
3.      Kebutuhan.
Ekspektasi, merupakan penyebab yang dominan timbulnya rasa takut. Dalam teori motivasi, kebutuhan merupakan faktor penggerak kehidupan. Kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu selalu diarahkan untuk terpenuhinya kebutuhan. Atau melindungi, menjaga, mempertahankan agar tidak ada kebutuhan yang hilang. Hidup manusia 100% berpikir untuk dirinya sendiri, untuk terpenuhinya kebutuhan sendiri. Saya tidak yakin bahwa ada orang yang berbuat untuk orang lain tanpa pamrih untuk diri sendiri. Apapun yang kita lakukan atau tidak kita lakukan ujug-ujungnya untuk terpenuhinya kebutuhan kita sendiri. Berdasarkan kenyataan ini maka rasa takut itu pada dasarnya adalah karena adanya kekawatiran tidak terpenuhinya kebutuhan.
Kita telah bicarakan didepan bahwa rasa takut lebih didominasi oleh penyebab dari  dalam diri kita yang berupa cara kita memandang diri sendiri.  Cara kita memandang diri sendiri akan menentukan persepsi kita tentang sesuatu di luar diri kita. Jadi untuk menghilangkan rasa takut harus dilakukan dengan cara merubah cara memandang diri sendiri.
1.      Yakin pada diri sendiri
Yakin pada diri sendiri, yang saya maksud disini adalah tingkat kepercayaan pada diri sendiri yang didasarkan atas kepercayaan terhadap kemampuan diri. Suatu keyakinan akan terbentuk bila kita merasa diri  mampu, merasa memiliki, merasa dapat, merasa punya hak. Ini akan memiliki efek yang sangat berbeda dengan apabila kita merasa tidak memiliki, tidak mampu, tidak dapat, tidak berhak dan rasa negatif yang lain. Rasa mampu akan mendorong kita untuk melalukan tindakan. Ada tiga kondisi yang biasa dimiliki oleh individu dalam menyikapi keberhasilan. Yang pertama adalah mereka yang tidak merasa memiliki sehingga tidak melakukan sesuatu. Yang kedua, mereka yang merasa memiliki tapi tidak melakukan sesuatu. Dan yang ketiga adalah mereka yang merasa memiliki dan segera melakukan.
Masalah yang menjadi ganjalan adalah tidak setiap orang dapat menemukan apa yang dimilikinya. Berdasarkan penjelasan diatas ketidakpercayaan pada diri sendiri menjadi penyebab utama individu sulit menemukan kemampuan apa yang dimilikinya. Ada tiga cara umum yang dapat kita pergunakan untuk melihat kemampuan apa yang kita miliki. Bukan cara apa yang penting tetapi sikap kita pada diri sendiri itu yang lebih penting, karena cara apapun yang kita pergunakan tidak akan dapat memberikan hasil yang optimal  apabila kita tidak jujur pada diri sendiri. Kita sering berbantah bahkan cenderung menolak hasil yang kita peroleh. Kejujuran pada diri sendiri menjadi kunci keefektifan cara yang kita pergunakan.
Cara-cara itu adalah:
a.       Introsprksi, yaitu melihat diri sediri dengan kaca mata pikiran. Dalam penggunaan cara ini kita akan secara otomatis melihat peristiwa masa lalu apa yang pernah kita lakukan, dan bagaimana kita melakukannya. Apa yang dulu pernah berhasil kita lakukan, atau selalu dapat kita lakukan dengan sangat mudah, serta kita merasa senang melakukannya bahkan selalu menghasilkan  yang paling baik menurut diri kita. Cara ini paling sulit kita lakukan, karena ditentukan oleh kualitas kepercayaan pada diri sendiri tetapi hasilnya paling akurat.
b.      Minta pendapat orang lain. Cara ini paling mudah kita lakukan yaitu dengan minta pendapat orang lain. Apa pendapat mereka tentang diri kita. Tetapi justru cara yang paling mudah inilah yang membuat hasilnya menjadi paling tidak obyektif. Karena pendapat orang adalah persepsi orang tersebut terhadap kita yang tentu menjadi sangat subyektif.
c.       Tes Psikologi, cara ini lebih obyektif, disamping kita dapat memilih apa yang ingin kita ketahui , kitapun dapat juga memperoleh hasilnya secara kuantitatif. Instrumen penilaian merupakan hasil penelitian para ahli yang lebih dapat dijamin validasi dan akurasinya. Hanya, kita perlu ingat dua hal bila kita akan menggunakan cara ini. Pertama budaya kita dan budaya pembuat maupun responden penelitian berbeda dengan budaya kita orang Indonesia. Ada hal-hal yang bagi mereka baik tapi bagi kita jelek. Misalnya pada saat kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang kita tuakan, dalam budaya kita yang baik, kita tidak harus bertemu pandang. Atau bagi budaya kita menyatakan kemampuan diri secara langsung dihadapan orang lain, apa lagi yang baru kita kenal, bukan hal yang baik. Kedua, ada instrumen yang sifatnya pilihan (multiple choise) dimana kita harus memilih jawaban yang talah tersedia, masalahnya seringkali kita tidak setuju dengan jawaban yang tersedia, tetapi kita harus memilih.

2.      Yakin semua orang baik.
Sebenarnya Tuhan telah mengajarkan kepada kita, agar kita tidak  berprangsang buruk terhadap orang lain, tetapi justru harus menganggap semua orang saudara, karena kita semua berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan. Tetapi kebutuhan hidup sesaat atau jangka pendek yang sering kali membuat kita merasa tidak bersaudara dengan orang lain. Orang lain kita pandang sebagai pesaing, sebagai musuh yang akan mengambil hak kita, rejeki yang diperuntukkan bagi kita. Kehadiran orang lain menimbulkan rasa takut, was-was, khawatir karena orang lain  bermaksud jahat pada kita. Cara kita memandang orang lain seperti inilah yang membuat kita takut.
Yang perlu kita lakukan adalah merubah cara pandang kita pada orang lain dari memandang orang lain sebagai pesaing menjadi memandang orang lain sebagai mitra. Memandang semua orang itu baik terhadap diri kita, mencintai kita, bersedia membantu kita.  Dengan cara pandang ini kita merasa hidup kita tidak sendirian. Ingat dalam kehidupan yang semakin canggih ini, menghasilkan jenis dan jumlah kebutuhan hidup yang semakin meningkat, dan ini menuntut semakin tingginya spesialisasi kemampuan untuk mewujudkannya, hasilnya semakin banyak keahlian yang tidak kita miliki, dan akhirnya semakin tinggi ketergantungan kita pada orang lain. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya seorang diri. Senjata yang paling ampuh yang dapat kita pergunakan untuk memanfaatkan kebaikan orang kepada kita adalah komunikasi. Pandangan yang positif kepada diri sendiri dan orang lain adalah kunci sukses dalam berkomunikasi.    
3.      Yakin Tuhan tidak pernah bohong.
Saya yakin  semua agama mengajarkan bahwa Tuhan menjanjikan penyertaan, perlindungan dan bantuan kepada manusia dan Tuhan tidak pernah ingkar janji. Sebagai umat yang mengimani tentu punya keyakinan bahwa itu benar. Tetapi apakah dalam kehidupan sehari-hari keyakinan ini tercermin dalam sikap dan perilaku? Keyakinan ini akan membuat kita tidak pernah sendirian meskipun dalam kesendirian, kita tidak pernah khawatir meskipun tidak tahu pasti apa yang ada didepan kita, kita tidak akan cemas meskipun kita merasa tidak cukup memiliki bekal, karena itu semua akan dinyatakan kepada kita bila kita tetap melangkah. Seorang pemberani adalah mereka yang tetap melangkah meskipun takut.
Semoga bermanfaat.

Minggu, 03 April 2011

Mengembangkan Diri

AKU PASTI BISA BILA AKU PIKIR BISA

Pernyataan ini banyak digunakan orang sebagai judul tulisan. Saya memasukkan diri ke dalam jajaran mereka. Tentu saja bukan karena mengikuti arus atau ikut-ikutan orang lain tapi lebih karena saya ingin semua orang sukses. Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki keinginan untuk sukses dalam hidupnya. Meskipun setiap orang berbeda memaknai kata sukses. Ada orang yang mengartikan sukses dengan indikator telah diparolehnya sesuatu yang diinginkan, orang lain lagi mengartikan sukses dengan indikator dapat menikmati apa yang telah diperoleh, ada lagi yang mengartikan sukses dengan apa yang dicapai dapat melebihi orang lain. Itu semua tentunya dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang, berdasarkan pengalamannya.  Apapun pengertian orang, yang pasti adalah bahwa tidak ada orang yang tidak menginginkan tujuannya tercapai. Di sisi lain ternyata tidak setiap orang dapat mencapainya. Mengapa demikian? Dan bagaimana agar dapat mencapainya? Saya bermaksud memberikan alternatif untuk menjawab pertanyaan tersebut, minimal dapat memberikan inspirasi.
Bukannya  tanpa makna mengapa Tuhan menempatkan kepala kita paling atas dalam struktur tubuh kita. Kepala adalah tempat tersimpan otak, organ yang sangat penting, karena otak adalah mesin berpikir kita, disini pusat kehidupan kita diatur dan dikendalikan . Seluruh bagian tubuh kita digerakkan oleh otak. Oleh sebab itu tidak salah bila orang mengatakan, bahwa orang yang menggerakkan orang lain (pemimpin) disebut dengan jabatan kepala . Dan bila orang menilai orang lain yang memiliki pendapat yang dianggap keliru, dikatakan otaknya di dengkul (di tempurung kaki). Seorang Kepala harus dapat memimpin orang lain, seorang Kepala harus dapat menjadi panutan orang lain. Demikian juga halnya dengan otak kita, harus dapat memimpin diri kita, menggerakkan diri kita, mewujudkan tujuan yang kita inginkan.
Otak kita yang beratnya tidak sampai dua kilo terbentuk dari cell syaraf (neoron) yang jumlahnya mencapai sejuta-juta. Setiap cell memiliki kemampuan menyimpan dan memproses informasi setara komputer personal standard menurut Tony Buzan dalam Mind mapping.  Apa yang pernah tertangkap oleh indera kita sejak balita, bahkan sejak dalam kandungan? tersimpan rapi dalam otak kita. Di dalam otak terjadi suatu proses yang sangat rumit dan komplek, yang berupa hubungan (interaksi) antara satu cell denga cell yang lain. Setiap cell mampu berhubungan dengan jutaan cell yang lain.  Hubungan antar cell ini menghasilkan pola pikiran. Otak kita mampu membentuk milyard-an pola pikiran. Semakin banyak pola pikiran yang mampu terbentuk semakin “pandai” lah orang, sebab semakin banyak memiliki pemahaman konsep, atau semakin banyak tau. Jadi berpikir pada dasarnya adalah proses hubungan antar pola pikiran – pola pikiran ini. Bahkan Tony Buzan mengatakan otak kita mampu membentuk pola pikiran lebih banyak dari Galaksi dengan 200 milyard bintangnya.
Dari gambaran sederhana tentang otak kita tersebut, sebenarnya tidak ada orang yang “bodoh”, atau semua orang “pandai”. Tetapi kenyataan tidak demikian, kita sering mendengar orang berkata, dalam pergaulan sehari-hari, si Anu itu pandai sekali sejak SD atau sementara si Polan itu bodoh sejak kecil. Kehidupan manusia tidak sama, ada yang pandai dan ada yang bodoh. Orang pandai diwakili oleh mereka yang memimpin, mereka yang kaya, mereka yang kuat dan sebaliknya orang yang bodoh diwakili oleh mereka yang dipimpin atau pengikut, yang melarat,  yang lemah.  Bahkan dalam budaya Jawa ada peribahasa “Orang bodoh makanan orang pandai.” Mengapa demikian, tentu sudah kuno (ndesit) bila kita mengatakan karena kehendak Tuhan. Tuhan tidak pernah punya keinginan menciptakan manusia yang bodoh,kita semua diciptakan untuk menjadi orang sukses. Buktinya, kita semua dibekali akal, yang ada di otak, yang dapat dipergunakan untuk meraih sukses. Dan bekal itu relatif sama bagi semua orang, tanpa dibedakan ras, suku atau pembedaan yang lain.
 Lalu mengapa  ada orang “sukses” dan ada orang “gagal”? Otak adalah salah satu organ atau alat dalam tubuh kita. Dimanapun alat itu netral, tanpa nilai, seberapa tinggi nilai suatu alat ditentukan oleh siapa yang menggunakan dan untuk apa. Seperti pribahasa “Man behind the gun” oleh siapa dan untuk apa senjata itu dipergunakan, itulah nilai alat. Saya ingat satu ceritera entah siapa pengarangnya, ceritera itu sudah saya kenal sejak masih remaja, yaitu saat diadakan lelang otak manusia di Bremen (tempat lelang tembakau dunia), yang paling mahal adalah otak orang Indonesia, sedang otak orang Jepang dan Jerman paling murah karena sering dipakai berpikir sehingga aus. Sedang otak orang Indonesia masih orisinil. Ini ceritera sinis, yang benar adalah semakin sering otak dipergunakan untuk berpikir, belajar,  semakin kaya pola pikiran, semakin pandai.
Saya ingat ceritera dari guru saya waktu SMA Rm Van Sten CM, ada seorang yang kaya raya akan pergi keluar negeri dalam waktu yang lama. Dia memiliki tiga pembantu, kepada mereka dipercayakan untuk menjaga hartanya. Kepada pembantu yang pertama dipercayakannya harta 10 dinar, kepada yang kedua dipercayakan 5 dinar, dan kepada pembantu ketiga 1 dinar. Setelah tuannya pergi, pembantu pertama menggunakan harta itu untuk berdagang, demikian juga pembantu yang ke dua, sedang pembantu yang ke tiga menanamkanya di dalam tanah, karena ia takut harta itu dicuri orang. Setelah berapa lama, tuannya kembali dan dipanggilnya pembantu-pembantunya untuk memberikan laporan tentang tugasnya masing-masing. Pembantu yang pertama melaporkan bahwa harta yang dipercayakan kepadanya sekarang telah menjadi 20 dinar. Mendapat laporan tersebut tuannya sangat senang, dipujinya pembantu yang rajin tersebut, dan diberikan hadiah. Pembantu yang ke duapun melaporkan bahwa hartanya sudah bertambah menjadi 10 dinar. Mendengar laporan ini, tuannya senang sekali maka disanjungnya pembantunya yang rajin ini dan kepadanya diberi hadiah. Pembantu yang ke tiga, melaporkan bahwa uangnya masih utuh 1 dinar dan dikembalikan kepada tuannya. Mendengar laporan ini tuannya sangat marah. Dimaki-makinya pembantu itu sebagai orang yang malas, yang jahat, dan tidak berterima kasih. Maka pembantu ke tiga ini diusirnya dan hartanya diberikan kepada pembantu yang petama. Dari dua ceritera diatas, jelas bahwa sukses seseorang ditentukan oleh upayanya dalam mendayagunakan otaknya untuk berpikir.

Penghambat sukses.
Apa yang dapat kita pelajari dari alam ciptaan Tuhan, adalah semuanya selalu dua (berpasangan). Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada terang , ada gelap, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa itu semua? Seperti kata filsuf Cina, Tao ada Yin dan Yang. Dunia yang sekarang kita tempati bersama ini masih belum selesai, masih dalam proses. Alam ini dinamis selalu bergerak menuju keseimbangan yang lebih baik. Seperti bencana yang sering terjadi saat ini, apakah itu hujan, badai, banjir, gempa, gunung meletus, tsunami yang beru saja melanda Jepang,  semuanya adalah proses menuju keseimbangan. Apa kaitanya dengan hidup kita? Hidup kita merupakan proses dari satu keputusan ke keputusan yang lain atau hidup kita adalah rangkaian keputusan- keputusan. Setiap detik, setiap saat kita dituntut untuk mengambil keputusan dan kemudian menjalani keputusan itu dengan segala risikonya. Dari sisi lain kita juga dapat mengartikan bahwa hidup kita merupakan rangkaian sukses dan gagal, karena setiap detik, setiap saat kita mengalami sukses atau gagal. Jadi sukses atau gagal  adalah proses bukan hasil.
Masih berdasarkan pendapat Tao,” putih tidak selalu baik dan hitam tidak selalu jelek,” makna sukses dan gagal ditentukan dari cara kita memandang. Bila kita memiliki cara pandang yang negatip, suksespun belum tentu positip. Saya pernah memiliki staf lulusan SMP yang tugas sehari-harinya sebagai photografer. Orangnya tekun, disiplin, tidak banyak omong tapi pekerja keras, tidak pernah mengeluh. Karena prestasi dan karakternya yang baik ini saya terdorong untuk pengin mengusulkan  promosi baginya. Sebelum usulan ini saya lakukan, saya pingin mendengar dulu apa pendapatnya. Hingga pada suatu hari dimana kantor lagi sepi karena staf yang lain tugas luar, saya penggil dia ke ruangan saya. Ketika dia sudah masuk, saya dapat melihat ada perasaan heran bercampur keraguan diwajahnya, dan saya dapat memaklumi perasaannya, karena tidak biasanya saya memanggil staf ke ruangan. Bila ada sesuatu keperluan dinas, saya lebih senang mendatangi mereka di tempat mereka bekerja sambil melihat pekerjaan mereka.  “Ri (namanya Mahruri), ada sesuatu yang ingin saya bicarakan denganmu”, saya berhenti sejenak sambil melihat reaksinya. Wajahnya terlihat semakin tegang, lama-lama kasihan juga, oleh sebab itu segera saya sambung kalimat saya: “Saya senang sekali bekerja sama dengan kamu karena kerjamu baik sekali dan saya merasa terbantu sekali.” Wajahnya masih belum berubah, bahkan bibirnya mulai nampak bergetar dan kering. “Ri, ini keinginan saya lo, keputusannya terserah kamu, saya tidak memaksa. “Gini, karena kerjamu baik, aku ingin mengusulkan kamu untuk promosi, tetapi tentunya tidak di unit kita ini, gimana pendapatmu?” Serta-merta wajahnya berubah menjadi merah, otot lehernya menegang, pundaknya kaku menandakan dia marah. Lama dia tidak menjawab, baru setelah menelan ludah berkali-kali dengan susah payah dia menjawab. Mendengar jawabannya, ganti saya yang terheran-heran, saya berpikir apa yang salah saya katakan? Dia menjawab dengan suara berat dan bergetar; “ Maaf Pak, ternyata selama ini saya salah menilai Bapak. Meskipun Pak Dirman masih muda, selama ini saya rasakan bapak sangat baik kepada kami, bapak dapat momong kami semua, belum pernah kami dapat pimpinan seperti bapak.” Dia berhenti sejenak, kesempatan ini saya manfaatkan untuk bertanya; “Ri, mana yang salah yang aku katakan?” “Saya merasa bapak tidak senang dengan saya dan sekarang mengusir saya.” “Lo,lo,lo..., kamu salah Ri. Justru karena aku senang, maka aku akan mengusulkan kau dapat jabatan, bukan mengusir, dan inipun bila kau mau.” Jawabnya singkat; “nggak pak saya sudah senang di sini, meskipun tetap staf.” “Mengapa” saya tanya. “Staf tanggungjawabnya ringan.” Ini keputusan yang dia ambil, hasilnya sampai pensiun dia tetap staf di unit kerja itu.
Untuk menjadi sukses, tidak cukup bila hanya mempertimbangkan tujuan apa yang ingin dicapai, potensi apa yang dimiliki, tetapi juga perlu dikenali dengan seksama hambatan apa yang memiliki potensi menghalangi upaya pencapaian tujuan. Secara umum hambatan berasal dari dalam dan dari luar diri. Hambatan dari luar berupa manusia, dan  alam. Yang dari manusia berupa hasil budi manusia yang berupa rasa, karsa dan karya. Hasil budi manusia ini yang terkenal pada masa Orde Baru dengan Panca Gatra disingkat menjadi Ipoleksosbud, yang terdiri dari idiologi, politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Sedang hambatan alam berupa demografi, geografi dan kekayaan alam, disebut dengan Tri Gatra. Jadi hambatan dari luar ini disebut Asta Gatra, yang sekarang cukup disebut hambatan lingkungan. Hambatan ini memang banyak dan seringkali pengaruhnya sangat  kuat terhadap diri kita. Tetapi sebarat apapun sebenarnya sangat mudah mengatasinya. Sebagai contoh, dalam kehidupan dimasyarakat orang akan meninggalkan kebiasaan di masyarakat tidak berani karena akibatnya akan mendapatkan penilaian negatif, dianggap tidak umum, menyimpang, aneh dan akhirnya akan tersisih dari pergaulan. Cara mengatasinya cukup dengan dialoog atau bila siap menghadapi konsekuensi dengan mengabaikan.
Sangat berbeda dengan hambatan yang berasal dari dalam diri sendiri yang saya sebut sebagai “Setan”. Seperti yang sering kita dengar sejak kecil, dalam pembicaraan di masyarakat, bahwa setan itu makluk yang kerjanya menggoda manusia, khususnya manusia yang akan berbuat baik. Tetapi sebaliknya setan juga sahabat manusia. Yaitu manusia yang ingin berbuat jahat. Hambatan dari dalam diri ini lebih efektif mempengaruhi diri kita dan lebih sulit untuk diatasi. Karena Setan ini beroperasi dipusat pengendalian diri manusia yaitu otak yang berupa pikiran negatif. Cara kerja otak kita ditiru manusia dalam wujud komputer. Komputer bekerja sesuai program yang dimasukkan, sehingga ada sebutan “Garbage in garbage out” Apabila kita masukkan data yang salah, maka komputer bekerja sesuai program akan memproses data tersebut dan hasilnya berupa informasi yang salah juga. Inilah prinsip kerja yang berlaku dalam pikiran kita. Hambatan dari dalam ini lebih efektif mempengaruhi diri kita bahkan boleh dikatakan tingkat keberhasilannya 100%. Hambatan ini sudah mulai bekerja pada tingkat penggalian ide, pembentukan niat,  kemauan untuk melaksanakan dan pembangunan semangat melaksanakan.
Pada saat penggalian ide, hambatan ini sudah mulai mengganggu kita dengan cara mengatakan” jangan bermimpi yang bukan-bukan, ingat kamu ini siapa, jangan seperti pungguk merindukan bulan” Ia hanya akan  merekomendasi ide yang biasa-biasa saja, yang umumnya dilakukan oleh orang lain dengan janji pasti berhasil. Tapi kalau terlalu tinggi akan gagal dan hasilnya akan ditertawain orang, malu deh. Dan pikiran kita sangat faham betapa rasa  malu itu, muka kita semutan, rasanya darah membanjiri muka kita sehingga nampak menjadi merah, telinga panas, badan gemetar, kaki ini rasanya tidak mampu menopang berat badan. Kita akan menjadi orang yang rendah diri, yang tertutup, tidak berani ketemu dengan orang lain.Saya yakin orang  normal akan selalu menghindari pertemuan dengan makluk yang namanya malu ini. Hasil yang kita peroleh adalah kita taati nesehatnya,sehingga kita akan menghilangkan atau melupakan ide tersebut.
Apabila kita sudah berhasil mengatasi godaan Setan pada tingkat penggalian ide ini, dia tidak akan menyerah begitu saja. Ia akan berusaha menghadang kita lagi pada tahap  berikutnya yaitu pembentukan niat, kemauan untuk menindaklanjuti ide. Ia akan mengatakan kepada kita: “Sudahlah, jangan siksa dirimu dengan hal-hal yang belum  jelas, yang belum tentu berhasil, lebih baik nikmatilah hidup ini dengan bersenag-senang semasa masih bisa menikmati, supaya tidak menyesal dikemudian hari. Ingat sejarah tidak pernah berulang.” Kita sangat faham bahwa tidak setiap niat yang baik itu akan menghasilkan kebaikan. Sering kita mengalami niat yang baik direspon tidak baik, atau dicurigai berniat baik karena ada udang dibalik batu, yang tentunya hasilnya merugikan diri kita. Adakah orang normal yang mau merugi? Lalu bagaimana sikap kita terhadap hambatan ini? Kita setuju karena kita pernah merasakan betapa sakitnya dicurigai orang.
Kalu toh seandanya kita berhasil mengatasi hambatan ini, yang namanya Setan tidak akan pernah menyerah menggoda kita. Dia akan menghadang kita pada tahap berikutnya yaitu pembangunan semangat, ketekunan, keuletan dalam melaksanakan ide dan niat. Setan akan berkata pada kita: “ Jangan terlalu bersemangat, kan masih ada hari esuk, tidak akan lari gunung dikejar, mengapa kita harus memperpendek umur kita dengan cara terburu-buru sepertinya besuk pagi akan kiamat. Kasihanilah jantung Anda.” Bagaimana tanggapan kita, tentu setuju sebab berdasarkan pengalaman kita memang demikianlah, mengapa kita tidak belajar dari pangalaman? Apa hasinya, kita kerja kurang all out, ogah-ogahan, setengah hati, tidak maksimal sehingga hasil kerjanya hanya sekedar cukup. Itulah beberapa bentuk hambatan yang ada dalam pikiran kita. Dalam bahasa kalangan cendikiawan dikenal dengan mental blog. Hambatan yang ada dalam mental kita berupa pikiran negatif.Ada empat jenis hambatan mental (mental blog) ini.
Pertama hambatan ego (ego blog). Yaitu rasa bangga pada diri sendiri yang belebihan. Mengapa saya katakan yang berlebihan? Karena bangga pada diri sendiri itu baik, bahkan harus terutama bagi mereka yang merasa miskin dihadapan Tuhan. Artinya orang yang merasa dirinya bukan apa-apa dihadapan Tuhan. Tidak ada yang dimilikinya kecuali atas anugerah Tuhan. Yang saya katakan bangga pada diri sendiri yang berlebihan bila orang merasa, apa yang kita lakukan, apa yang kita hasilkan semata-mata karena AKU, kalau bukan AKU, untung ada AKU, hanya AKU lah dan sebagainya.
Orang yang bangga pada diri sendiri yang berlebihan merasa dirinya selalu benar, bahkan paling benar, yang salah engkau oleh sebab itu aku tidak perlu memperbaiki diri, engkaulah yang perlu belajar. Kesalahan selalu berada pada orang lain, karena dia mengukur orang lain dengan ukurannya sendiri, sehingga selalu tidak pas, dia memandang sesuatu menurut persepsinya. Yang lebih parah lagi orang yang bangga pada diri sendiri yang berlebihan selalu memaksakan kehendaknya agar orang lain menerima dan mengikuti keinginannya.
Kedua, hambatan emosi (emotion blog), yaitu rasa rendah diri, menganggap dirinya selalu kalah, lebih jelek, lebih bodoh, dan sebagainya  dibandingkan orang lain. Untuk meyakinkan kebenaran pendapat ini. Saya kutipkan pendapat DR Ibrahim Elfiky dalam bukunya Terapi Berpikir Positif, 2009. “Tidak seorangpun dapat membuat Anda lebih kecil darinya tanpa izin dari  diri Anda  sendiri.” Jadi yang memandang kita selalu kalah dari orang lain sebenarnya adalah diri kita sendiri.
Akibat pandangan yang demikian adalah sikap permissive atas kekurangan diri sendiri. Kekurangan yang ada pada dirinya disikapi sebagai suatu kewajaran. Memang itulah adanya aku, kemudian pasrah, apa yang terjadi padaku terjadilah. Orang seperti ini tidak cukup memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan melebihi kebiasaan. Seperti misalnya mencoba hal-hal baru, atau menetapkan standar hasil yang lebih tinggi. Mendapatkan malu karena kegagalan merupakan momok yang paling menakutkan bagi orang yang dikuasai oleh hambatan emosi ini.
Ketiga,hambatan persepsi (perception blog), hambatan ini berupa pamaknaan kita terhadap sesuatu yang tertangkap oleh indera kita. Persepsi atau permaknaan ini merupakan aktualisasi dari hasil belajar. Apa makna sesuatu fenomena bagiku, akan berbeda dengan orang lain karena persepsi itu hasil pengalaman atau hasil belajar. Hasil pengalaman itu akan menjadi satu keyakinan (belief) sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran. Persepsi sebagai panghambat (blog) bila kita beranggapan bahwa hanya ada satu kebenaran sebagaimana hasil penglaman.Blog persepsi akan menghalangi kita memiliki perspektif yang berbeda. Kita memandang sesuatu dari satu sudut pandang sehingga hanya mendapatkan satu perspektif. Bila kita dikuasai hambatan persepsi ini kita selalu berpikir linier, berpikir pokoke, sikapnya kaku dan mudah tersinggung, sakit hati mendengar pendapat yang berbeda dari orang lain. Orang seperti ini tidak bisa diajak tukar pendapat.
Keempat hambatan  intelektuaal (intellectual blog) hambatan ini berupa kemalasan berpikir, kelumpuhan intelektual, berpikir rutinitas, biasanya. Hambatan ini membuat orang mudah puas dengan hasil yang telah dicapai. Menetapkan standar hasil berdasarkan apa yang telah dicapai. Tidak pernah berpikir dengan pertanyaan apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, lebih mudah, lebih murah, lebih cepat, artinya lebih efisien dan efektif dari pada yang telah biasa?
Apa hasil yang kita peroleh bila kita dikuasai oleh hambatan intelektial ini? Seperti kata Brian Tracy, “Bila kita selalu melakukan apa yang selalu kita lakukan, kita akan selalu memperoleh hasil seperti apa yang selalu kita peroleh. Artinya kita akan mandeg padahal dunia ini selalu berputar, kehidupan manusia selalu berubah, masalah yang timbul selalu berbeda. Ini semua tentu menuntut cara berpikir, sikap dan perilaku yang berbeda juga.”

Sumber hambatan mental (mental blog).
     Dari mana sebenarnya hambatan mental (mental blog) ini berasal, sehingga dapat bertengger di pikiran kita? Dan kapan ia mulai berada di sana dan dengan cara seperti apa? Ini pertanyaan yang wajar dan logis sebab apabila kita dapat memperoleh jawaban yang benar atas pertanyaan ini, kita akan dapat menemukan cara menanggulanginya. Seperti kata David Osborn, menggunakan cara pemecahan masalah yang salah terhadap rumusan masalah yang benar, masih lebih baik, dari pada menggunakan cara pemecahan masalah yang benar, terhadap rumusan masalah yang salah.
Berangkat dari latar belakang pemikiran tentang diri kita di awal tulisan ini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada niat Tuhan menciptakan penghalang kesuksesan diri kita. Justru sebaliknya Tuhan menghendaki kita menjadi orang sukses di dunia ini. Sebagai bukti adalah penganugerahan otak kita yang berfungsi sebagai alat berpikir yang mempunyai kemampuan yang luarbiasa. Kemampuan otak kita cukup untuk dipergunakan sebagai alat mengelola dunia ini. Tidak ada rahasia dunia yang disembunyikan Tuhan kepada manusia, sepanjang manusia itu rendah hatinya. Buktinya telah banyak diketemukan teknologi yang luar biasa, cepat dan canggih sebagai hasil pendayagunaan kemampuan pikir manusia sehingga kehidupan manusia semakin dipermudah.
     Dari pemikiran ini jelas bahwa hambatan mental itu bukan ciptaan Tuhan, tetapi buatan manusia sendiri. Cara pandang manusia terhadap dirinya sendirilah yang menjadi sumber penghambat. Bila kita berpikir negatif maka sikap dan perilaku negatiflah hasilnya. Demikian pula halnya bila kita berpikir negatif tentang diri kita maka kita akan bersikap negatif terhadap diri sendiri, dan hasilnya adalah perilaku negatif pada diri sendiri. Sebagai contoh, apabila kita memandang diri kita bodoh, pada saat kita menghadapi masalah, kita akan memandang masalah tersebut sulit untuk dipecahkan, maka kita akan cenderung meninggalkan masalah tersebut tidak terselesaikan, atau meminta bantuan orang lain. 
Cara pandang yang demikian ini terbentuk dari pengaruh lingkungan atau dari hasil belajar selama hidup kita terutama sekali saat kita masih balita yang disebut imprint. Yaitu pola asuh yang kita terima dari orang dewasa yang ada di sekeliling kita. John Lock berpendapat, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas kosong, lingkunganlah yang memberi isinya. Apa bila kita hidup di dalam lingkungan yang negatif maka kita akan memiliki cara pandang yang negatif pula. Untuk memahami pendapat ini marilah kita tengok pola asuh saat kita masih kecil, bila kita mampu mengingatnya, atau melihat  sekeliling pada keluarga- keluarga yang memiliki anak balita, kondisi kita dulu lebih kurang seperti itu. Apa yang dikatakan atau dilakukan seorang ibu atau pengsuh kepada anak-anak?
     Pada pagi hari sekitar jam 8 sampai jam 10 dipastikan kegiatan anak dibawah usia 1 tahun adalah tidur, sementara ibu atau pengasuhnya sibuk bekarja. Sekitar dua jam anak akan terbangun karena sesuatu, kencing, BB, haus atau sebab yang lain. Mendengar suara tangisan bayi otomatis ibu atau pembantu akan tergopoh gopoh mendatangi dengan kata-kata menghibur. Bila ini yang selalu dilakukan maka dalam pikiran anak akan tercetak untuk membuat ibu atau pembantu datang adalah menangis. Sekarang setelah anak bertambah besar 1 – 3 tahun, tentu kita akan sering sekali mendengar kata-kata ancaman, menakut-nakuti, larangan atau ungkapan-ungkapan negatip yang lain, ini akan menjadi imprint rasa takut, tidak percaya diri. Ibu atau Pengasuh pasti mempunyai rasa bangga pada anaknya, ini yang normal lo. Rasa bangga ini diungkapkan dengan cara menjadikan anak sebagai pemain circus, yaitu memamerkan kepada siapapun apa yang telah dicapai anak, hasilnya anak tidak dapat melihat kegagalan.  Inilah awal mula penanaman imprint negatip.

Lalu apa yang harus kita lakukan?
Setelah kita mengetahui seperti apa sebenarnya diri kita dan dari mana hambatan-hambatan itu berawal maka yang perlu kita lakukan adalah bagaimana memerangi, melawan dan mengubah hambatan itu menjadi kekuatan, mengubah “setan” menjadi “malaikat” yang mendampingi kita.
  1. Tetapkan tujuan yang smart.
Tujuan yang cerdas adalah tujuan yang difahami oleh pikiran bawah sadar (un-conscious mind) kita. Pikiran bawah sadar adalah penyimpan informasi yang pernah kita alami sepanjang hidup kita. Ia menyimpan informasi dalam bentuk lambang-lambang, dalam masa kini (presen-tense) dan konsep dasar. Penyebab kegagalan pertama karena salah merumuskan tujuan.  Rumusan tujuan yang salah adalah rumusan tujuan yang tidak difahami oleh pikiran bawah sadar, sehingga tidak ada respon. Rumusan tujuan yang benar bila :
a.      Tujuan itu specific (khas) tidak bias. Contoh, uang, rumah, mobil. Bukan kaya, tempat berteduh, kendaraan.
b.      Tujuan itu measurable (terukur). Contoh, satu milyard, type 70, sedan merk Toyota tahun. Bukan banyak, besar, baru.
c.       Tujuan itu   achievable / attainable (terjangkau), ada harapan untuk terwujud.
d.      Tujuan itu realistic (nyata), tertangkap oleh indera kita.
e.      Tujuan itu time bond (batas waktu). Contoh, akhir tahun ... Bukan segera, kapan-kapan, nanti, pada suatu saat.
  1. Kagum pada diri sendiri.
Kagum pada diri sendiri diawali dengan melihat diri sempurna, bukan melihat pada kekurangan atau ketidak sempurnaannya. Seringkali orang salah memaknai kata kagum ini apa lagi bila dihubungkan dengan diri sendiri. Kagum pada diri sendiri sering dikaitkan dengan kesombongan sebab kagum pada diri sendiri akan menghasilkan rasa bangga pada diri sendiri. Bangga pada diri sendiri diasosiasikan dengan sombong. Sebenarnya sombong dengan bangga itu lambang dua konsep yang berbeda. Rasa kagum dan bangga pada diri sendiri karena menghargai kemampuan atau potensi yang dimiliki. Kagum pada diri sendiri akan menghasilkan motivasi diri, dan ini diperlukan untuk sukses. Dari sudut pandang spiritualitas kagum dan bangga pada diri sendiri adalah bentuk syukur kepada Tuhan. Sementara sombong didorong oleh hasil mmbandingkan diri dengan orang lain, dan hasilnya aku lebih dari dia. Akibatnya akan merendahkan orang lain.
  1. Singkirkan keraguan.
Berkaitan dengan kagum pada diri sendiri, keraguan adalah sikap yang dihasilkan oleh cara pandang yang melihat diri sendiri dari sisi kekurangan, kelemahan, ketidak mampuan kita. Orang yang selalu melihat dirinya kalah dari orang lain, melihat dirinya lebih rendah dari orang lain, tidak dapat melihat aspek positip dalam dirinya. Hasilnya adalah keraguan, ketakutan dan kegagalan. Orang ragu sebenarnya orang yang takut pada kegagalan. Mengapa takut pada kegagalan karena dia mengidentikkan dirinya dengan hasil yang dicapai. Ingat kegagalan tidak mewakili diri anda, kegagalan adalah proses mencapai tujuan singkirkan ketakutan Anda.
  1. Jangan menoleh ke belakang.
Ini nasehat seorang Guru kanuragan jaman dulu kepada muridnya yang sudah lulus dan diperkenankan mempraktekkan ilmunya di masyarakat. Waktu sang Guru melepas muridnya dia perpesan : “ Sampai langkah ke tujuh jangan menoleh ke belakang, kalau kamu menoleh ilmumu akan hilang.”Ada tiga masa dalam hidup kita yaitu masa lalu sebagai kenangan, masa kini adalah kenyataan, dan masa datang adalah harapan.  Masa lalu tidak akan terulang kembali, kita tidak dapat merubah sejarah, oleh sebab itu tinggalkan masa lalu. You cannot discover new oceans unless you have the courage to lose sight of the shore. Masa kini adalah kenyataan nikmatilah, syukurilah, dan masa datang adalah harapan, perjuangkan.
  1. Serahkan kepada Tuhan.
Setelah itu semua Anda penuhi, serahkan kepada Tuhan sebagai yang berkehendak terhadap diri kita. Seperti kata Bunda Maria: “Terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Sadari bahwa diri kita hanyalah debu yang tidak bernilai. Dengan menyerahkan kepada Tuhan agar berkarya dalam diri kita, maka tidak akan ada yang mustahil di dunia ini.

Renungan di akhir Maret, 2011
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Maret 2011

Mengenal diri

BENEH
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Matius 22 : 37 - 39


Beneh” bermakna dalam interaksi antar individu.
Saya menyadari bahwa belum tentu setiap orang Indonesia memahami makna kata tersebut. Sebab kata “beneh” berasal dari bahasa Jawa. Bahkan dari pengalaman saya bertatap muka dengan peserta Diklat Aparatur di lingkungan Kementerian Dalam Negeri khususnya di Jawa Timur,  meskipun mereka lahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa, belum tentu mereka memahami benar apa arti kata tersebut. Sampai-sampai dalam jokes yang sering saya berikan Saya bangga terlahir sebagai  Warga Negara Jawa, karena bangsa Jawa lebih tua dari pada bangsa Indonesia. Banyak ungkapan perasaan Orang Jawa yang tidak terwakili dalam kosa kata Indonesia secara tepat. Contoh “kunduran”, dalam kalimat: “Bapake mati amergo kunduran truk.” (Bapaknya mati karena ditabrak truk yang mundur.) Contoh lain adalah kata beneh. Saya yakin pembaca punya banyak lagi contoh yang lain.
            Dalam proses pembelajaran, saya selalu mengatakan bahwa tujuan inti dari kurikulum Diklat Aparatur adalah membuat PNS menjadi beneh, artinya memahami tugasnya dan fungsinya serta melaksanakannya sesuai dengan tugas dan fungsi  terdebut. Mereka tidak memahami benar makna kata beneh. Mereka pada umumnya menyamakannya dengan kata benar atau baik. Beneh menurut konsep Jawa bermakna lebih dari hanya sekedar benar atau baik.  Beneh adalah gambaran kondisi mental seseorang. Yaitu apa yang dipikirkan yang tidak dapat diketahui orang lain yang akan  terungkap dalam perilaku. Perilaku bisa berupa bicara, baik verbal maupun non verbal, juga bisa berupa gerakan. Jadi ke-beneh-an seseorang akan dapat diketahui orang lain lewat apa yang dilakukan  dan apa yang diucapkan.
            Bila kita membaca maupun mendengar berbagai berita di berbagai media masa, setiap hari selalu mendapati berita-berita tentang korupsi, kejahatan dalam keluarga, perlakuan kekerasan terhadap anak dan sebagainya. Seperti contoh yang sekarang ini lagi menjadi perhatian masyarakat adalah drama di lingkungan hukum dan peradilan dengan judul “Buaya dan cicak”, di bidang ekonomi dengan judul “Skandal Bank Centuri”, di bidang politik dengan judul “ Pansus Bank Centuri,” di bidang social dengan judul “Bebe”, dan masih banyak lagi di bidang yang lain, yang saya yakin pembaca tentu memiliki lebih banyak lagi kisah semacam itu. Pertanyaan yang timbul di pikiran kita adalah mengapa atau apa yang menyebabkan? Tentu anda memiliki banyak jawaban dengan berbagai argument. Dalam tulisan ini saya tidak hendak mencari penyebabnya apa lagi memberi solusinya. Saya yakin bahwa banyak diantara pembaca yang lebih kompeten dalam hal ini. Dalam tulisan ini saya hanya mencoba membuka wacana dan inspirasi lewat bermain-main dengan diri sendiri dan orang lain.
Beneh menjadi ukuran tingkat kedewasaan individu. Kedewasaan diukur dari keseimbangan antara penggunaan rasio dan emosi dalam menyikapi sesuatu, bukan dari jumlah tahun individu hidup di dunia. Dalam budaya Jawa ada ungkapan perasaan yang menggambarkan konsep beneh ini. “Wong tuwo kelakuanne kok koyo bocah.”  ( Orang tua perilakunya layaknya perilaku anak-anak.) Ini menunjukkan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang yang bukan anak-anak lagi.  Orang tua di sini menggambarkan seseorang yang sudah dewasa, yang sudah banyak belajar tentang kehidupan. Banyak tahu tentang norma atau etika pergaulan dalam masyarakat, dan pengetahuan ini akan menjadi dasar bagaimana ia menyikapi sesuatu. Sikap yang dianggap dewasa adalah sikap yang tidak berbeda dengan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Tapi sebaliknya ada ungkapan; “Bocah cilik omonganne kok koyok wong tuwo”. ( Anak kecil bicaranya layaknya orang tua.) Ungkapan ini menunjukkan konsep “beneh”.
Bila kita telaah dua ungkapan ini, menggambarkan adanya hubungan antara umur dengan perilaku. Logikanya semakin banyak umur seseorang, semakin banyak pengalaman dan pengetahuan yang ia miliki. Pengalaman dan pengetahuan ini tentunya tentang kehidupan, baik sebagai individu maupun masyarakat. Sebagai individu pasti memiliki nilai (value). Berdasarkan nilai inilah individu menyatakan sikap, setuju atau tidak setuju. Bukan hanya individu anggota masyarakat yang memiliki nilai, masyarakatpun memiliki nilai yang memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai tolok ukur terhadap sesuatu, baik orang, barang atau peristiwa. Berdasarkan inilah maka di masyarakat selalu ada apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Sesuatu dianggap baik bila sesuai dengan nilai, demikian sebaliknya yang dianggap jelek adalah yang tidak sesuai dengan nilai. Orang dewasa dianggap sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang nilai ini, sehingga layaklah bila dia dapat membedakan sesuatu yang sesuai dengan nilai dan yang tidak. Berbeda dengan anak-anak. 

Semoga bermanfaat

Mengenal diri

DUA DEMENSI BENEH

                        Kata beneh memiliki dua demensi yaitu demensi internal dan eksternal. Demensi internal berupa pemahaman terhadap diri sendiri. Yaitu siapa aku menurut aku, yang meliputi apa nilai (value) dan keyakinan (belief) yang aku pegang..Nilai (value) berkaitan dengan apa yang paling berharga bagiku dalam hidup ini. Atau dengan kata lain tujuan yang ingin  dicapai. Nilai adalah sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, yang ingin diwujutkan dalam kehidupan. Oleh sebab itu nilai akan mewarnai sikap dan perilaku seseorang dalam menghadapi sesuatu. Nilai menjadi arah kemana seseorang akan menuju.  Sedang yang dimaksud dengan  keyakinan (belief) adalah apa yang dianggap benar atau kebenaran menurut aku. Keyakinan (belief) merupakan aturan pribadi yang lahir dari nilai (value ). Keyakina merupakan aturan kelayakaan bagi individu dalam berprilaku guna mewujudkan nilai. Oleh sebab itu setiap nilai (value) selalu diikuti dengan seperangkat keyakinan (beliefs). Apabila spiritual menjadi nilai (value ) maka yang dianggap benar (beliefs ) adalah kejujuran, keeklasan, belas-kasih, penghargaan, rendah hati dan sebagainya. Bila kekayaan menjadi nilai (value), maka keyakinan-kenyakinannya (beliefs) meliputi, hemat, tabungan, menghargai waktu, kerja keras, kesederhanaan dan sebagainya.
            Nilai dan keyakinan ini terbangun dalam diri seseorang dari pengalaman hidupnya. Yaitu hasil belajar dari lingkungan dimana dia hidup. Atau dalam istilah pendidikan adalah hasil belajar. Hasil belajar atau pengalaman ini menjadi pola sikap dan perlaku dalam interaksi yang dilakukan seseorang, bukan semata-mata dengan orang lain tetapi juga dengan alam. Banyak ahli mengatakan pola sikap dan perilaku ini terbentuk sejak usia dini. Semua pengalaman yang diperoleh  terekam dalam memori (modern area) dalam otak kita. Dan inilah yang akan menjadi motor penggerak dalam hidup kita. Nilai merupakan sesuatu yang dipandang sebagai sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan. Sesuatu yang dijaga, dipelihara bahkan diperjuangkan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku. Nilai menjadi batu penjuru yang mengarahkan kemana akan menuju, bahkan menjadi “pisau analisis” menurut Bung Karno. Untuk mengevaluasi apakah sesuatu sesuai dengan nilai yang dipegang apa tidak. Bila sesuai disetujui, dan bila tidak sesuai ditolak. Dengan kata lain nilai inilah yang menentukan sikap setuju atau tidak setuju terhadap suatu yang tertangkap oleh indera, baik berupa benda, manusia maupun kejadian. Setiap orang memiliki nilai pada setiap segi kehidupannya. Dalam kehidupan di rumah tangga, dalam pekerjaan, di masyarakat dan bahkan lebih khusus lagi tentang uang atau kekayaan, pasangan, anak, teman dan sebagainya. Dengan fungsi nilai seperti itu maka aku akan dapat mengenal siapa aku melalui apa nilaiku.
            Demensi eksternal berkaitan dengan nilai-nilai (values ) masyarakat. Biasanya nilai-nilai masyarakat terbentuk melalui proses pembudayaan yang panjang oleh anggota. Nilai masyarakat (nilai social) berawal dari nilai individu, biasanya dari orang yang dituakan atau panutan dalam lingkungannya, yang diterima atau disetujui oleh masyarakat dan kemudian menjadi ukuran kelayakan. Seperti halnya individu, nilai-nilai (values ) masyarakat inipun dibungkus dengan seperangkat keyakinan (beliefs). Contoh, dalam kehidupan keluarga, orang tua selalu benar pendapatnya dan layak menjadi panutan anak dalam kehidupan sebagai nilai social. Maka  perilaku yang benar adalah anak harus menghormati, dan patuh pada orang tua. Inilah yang menjadi ukuran induvidu beneh atau tidak beneh dalam hubungan keluarga. Nilai dan keyakinan ini ditanamkan orang tua pada anak sejak awal kehidupan anak. Karena demikian intensifnya penanaman nilai ini maka akan menjadi karakter yang mewarnai kehidupan anak sampai dewasa. Saat individu berinteraksi dengan individu lain,  karakter itu terungkap dalam perilaku yang sesuai atau yang dapat diterima oleh individu lain.Nilai dan keyakinan masyarakat ini memiliki daya ikat, bahkan daya paksa yang sangat kuat terhadap individu anggotannya. Sehingga tidak jarang orang terpaksa mengalahkan nilai pribadinya demi menjaga nilai masyarakat karena rasa takut terhadap sangsi.  Disinilah awal individu mengingkari dirinya sendiri, karena merasa tidak mampu mengatasi tekanan nilai dan keyakinan social.
            Beneh juga  berhubungan dengan tempat, orang dan situasi dimana interaksi itu berlangsung. Yang berhubungan dengan tempat. Orang dikatakan “tidak beneh” bila misalnya di ruang tunggu praktek dokter, secara kebetulan bertemu dengan sahabat karib waktu sekolah yang sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Karena terkejut atas pertemuan yang tidak disangka-sangka itu kita menyapa dengan suara keras dan sambil berlari menghampirinya, tanpa memperhatikan orang lain yang sedang bersama-sama ada di tempat itu. Dalam peristiwa seperti itu orang akan menilai kita tidak beneh. Contoh lain yang berhubungan dengan orang misalnya, kita akan mempunyai hajat  menikahkan anak dan kita ingin mengundang orang yang lebih tua atau kita tuakan yang tempat tinggalnya di luar kota. Menjadi tidak “beneh” bila kita mengundang dia hanya melalui SMS (Sort Massage System). Yang berhubungan dengan situasi, bergurau di rumah duka saat sedang melawat orang meninggal. Dan anehnya peristiwa seperti ini hampir selalu kita temui.

Semoga bermanfaat