Senin, 02 Mei 2011

Pengembanagan Diri

TAKUT
Siapa takut?
“... Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau munum, dan jangan kuatir pula pada tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Lukas 12: 25)
Tidak ada satu orangpun yang tidak pernah merasa takut, perasaan yang akrab sekali dengan diri kita, sampai-sampai ada orang yang mengatakan, karena rasa takut itulah makanya engkau hidup. Saya rasa benar juga pendapat ini, karena orang mati tidak punya rasa takut. Namun demikian pada umumnya kita memiliki persepsi yang negatif terhadap rasa takut ini. Takut menggambarkan kondisi mental yang lemah, yang tidak macho, tidak gagah, tidak percaya diri dan akibatnya merugikan. Jarang sekali orang memaknai rasa takut dengan makna positif, padahal tidak selamanya takut itu negatif. Misalnya takut berbuat dosa, bukankah itu takut yang baik?
 Ingat rumus matematika (-  x -  = +) negatif X negatif = positif,( - x + = - ) negatif . X positif = negatif. Berdasarkan rumus ini maka benarlah kata filsuf China, Tao yang mengatakan; “Putih tidak selamanya baik, dan hitam tidak selamanya jelek.”  Yang menjadi masalah adalah  ketika orang tidak dapat membedakan mana hal yang positif yang harus aku respon secara positif, dan mana hal yang negatif yang harus direspon secara negatif, agar hasilnya tetap positif.
Saya sangat terkesan dengan tulisan DR. Norman Vincent Pearle lewat bukunya yang berjudul  Anda pasti bisa bila Anda berpikir bisa, yang ditulis tahun 1974, yang di Indonesia diterbitkan oleh Binarupa Aksara, tahun 1993. Saya membeli buku itu bulan September tahun 1994 tetapi saya baru membaca sampai bab 1 dan setelah itu melupakannya, entah mengapa. Saya menemukan kembali buku itu diantara deretan buku saya pada tahun 2010. Lama saya renungkan judulnya, apa kira-kira isinya, apa ada hubungannya dengan topik yang sekarang lagi saya tekuni, saya belum membuka apa lagi membacanya. Saya buka daftar isi, ada sedikit gambaran isi buku ini relevan dengan apa yang saya perlukan. Dari situ mulailah saya baca  Pengantar sampai bab terakhir.  Saya sedikit menyesal mengapa tidak saya baca mulai dulu? Untung tulisannya masih terbaca karena halamannya saling lengket akibat  terkena air hujan saat rumah saya bocor.  Judul diatas terinspirasi oleh judul buku tersebut.
DR. Pearle, menyebutkan tiga jenis ketakutan yaitu agorafobia, takut kepada tempat terbuka, klaustrofobia, takut kepada tempat tertutup, dan akrofobia, takut kepada tempat tinggi. Disamping itu menurutnya masih ada sembilan puluh delapan ketakutan lagi.  Saya tidak tahu jenis ketakutan seperti apa yang dia maksud. Saya akan melihat rasa takut ini dari sudut pandang yang berbeda, tapi sama-sama dapat menyebabkan orang terhambat atau terhalang bahkan mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu. Sebelum lebih jauh berbicara tentang rasa takut ini, saya ajak dulu anda menelusuri mengapa orang merasa takut? Kapan orang mulai merasa takut?
Mengapa takut?
1.      Salah memandang diri sendiri.

Takut, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap diri sendiri. Takut seringkali bukan disebabkan oleh musuh atau yang kita hadapi terlalu besar atau terlalu kuat, tetapi karena kita merasa terlalu kecil atau terlalu lemah. Kita merasa tidak ada potensi apapun yang dapat dipergunakan untuk menghadapi. Kalaupun kita dipaksa untuk menghadapi musuh itu kita pasti akan kalah dan kekalahan itu menyakitkan, memalukan. Saya tertarik dengan Hukum Korespondensinya DR Ibrahim Elfiky, dalam bukunya, Terapi Berpikir Positif, yang intinya adalah bahwa pikiran adalah persepsi. Yaitu bagaimana kita memaknai atau cara pandang kita terhadap alam (sesuatu yang tertangkap oleh indera). Yang disebut kenyataan (realitas), kebenaran (keyakinan), itu ada dalam pikiran (persepsi) kita. Dan jangan terkejut bahwa itu bukan kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya, tapi hanya kenyataan dan kebenaran relatif.  Yaitu kebenaran dan kenyataan menurutku, menurut persepsiku. Persepsilah yang mendifinisikan alam termasuk tentang siapa aku.   “Tidak seorangpun dapat membuat anda lebih kecil darinya tanpa izin dari anda sendiri.” Kata Ibrahim lfiky. Sementara persepsi sendiri terbentuk dari hasil belajar sejak kecil.
Saya ingat kejadian yang merugikan diri saya sendiri. Saya dilahirkan di dunia sebagai anak bungsu dan laki-laki satu-satunya. Saya yakin Anda dapat membayangkan bagaimana sikap ibu saya kepada saya.  Sudah lazim di masyarakat kita bahwa anak dengan posisi seperti saya ini pasti sebagai “Anak Mama” artinya anak kesayangan ibu. Bagaimana sikap dan perilaku ibu terhadap anak kesayangan? Saya yakin Anda pasti juga tahu. Pertama, hampir semua keinginannya dipenuhi sepanjang mampu memenuhi. Kedua, mendapat perlindungan yang istimewa, bahkan over protected. Ketiga selalu benar, tidak pernah salah dan selalu menang (dimenangkan). Sikap seperti ini berlanjut terus sampai beliau tidak mampu lagi melalukannya. Apa akibat dari perlakuan seperti ini, saya merasa tidak mampu, tidak PeDe (self underconfidence). Menjadi “Jago kandang” artinya hanya berani bila di rumah sendiri, di lingkungan sendiri, tidak berani keluar dari wilayah nyaman, tidak berani mencoba hal yang baru, tidak berani bersaing, berkompetisi secara terbuka.
Cara memandang diri sendiri yang salah seperti itu, akan menghasilkan cara memandang  orang lain yang salah juga (negatip ). Orang lain dipandang sebagai pesaing, sebagai musuh yang kehadirannya hanya akan mengurangi bagian yang seharusnya dia terima. Bila kita memiliki pandangan yang demikian terhadap orang lain, tentu kita beranggapan bahwa semua orang pasti memiliki perasaan yang sama dengan perasaan kita kepada mereka yaitu membenci, memusuhi dan tidak bersahabat. Orang lain hanya mau membantu bila mendapat imbalan, semua bentuk persahabatan hanyalah kepura-puraan. Dunia ini panggung sandiwara seperti lagunya  Achmad Albar. Tdak ada rasa kedamaian dan persahabatan sejati, yang ada kepentingan. Seperti pandangan orang politik, tidak ada kualisi permanen, yang ada kepentingan kekuasaan. Pandangan demikian tentu menghasilkan rasa takut, cemas, khawatir dan akan menghasilkan prilaku reaktif untuk mempertahankan diri.
2.      Mencintai apa membenci diri sendiri?
Setiap orang mencintai dirinya sendiri itu pasti, tentunya orang normal lo. Saya tidak tahu apakah orang sakit jiwa itu juga mencintai dirinya sendiri.  Pembaca yang mengerti tentang ini, saya sangat berterima kasih, bila berkenan memberi penjelasan.  Tetapi tidak setiap orang dapat mencintai dirinya sendiri dengan benar. Banyak orang tidak tepat memaknai rasa cinta dan inilah yang akan membedakan bentuk implementasinya. Kita sering sulit membedakan antara mencintai atau membenci. Karena kata orang  beda antara cinta dan benci itu sangat tipis.  Berikut beberapa ungkapan yang dapat membedakan antara cinta dan benci. Cinta itu memberi bukan meminta, rela berkorban bukan menuntut hak, melindungi bukan mengabaikan, menghukum bukan membiarkan .  Untuk memperjelas perbedaannya marilah kita lihat contoh implementasi pasangan konsep tersebut dalam perilaku.
Bila kita mencintai pasangan kita, maka kita akan berusaha dapat memberikan apa yang ia butuhkan, bukan sebaliknya kita minta agar ia memenuhi apa kebutuhan kita. Coba ingat-ingat suasana hati kita saat kita masih pacaran, atau  saat penganten baru, atau terhadap anak atau cucu pertama. Suasana hati itu mendorong kita untuk berusaha memberikan apapun yang dapat kita berikan dengan penuh kegembiraan, keiklasan. Untuk dapat memberikan apa yang ia butuhkan, kita rela mengorbankan diri kita, bukan hanya pisik dan mental tetapi bahkan nyawa, seperti pernah dikatakan oleh novelis  tahun lima puluhan Motinggo Busye. Bila kita mencintai sudah pasti kita akan selalu berusaha melindungi yang kita cintai agar terhindar dari bahanya, terhindar dari kerugian, terhindar dari rasa malu dan sebagainya. Bukan membiarkan, permissive, tidak berani menolak, mencegah, bahkan menghukum,  sehingga hal yang tidak  nyenangkan menimpa dirinya.
Demikian juga halnya bila kita mencintai diri sendiri sudah tentu kita tidak akan merelakan diri kita mendapat malu, dihina orang, mendapatkan penderitaan dan ketidaknyamanan yang lain. Lalu apa yang kita lakukan terhadap diri kita? Bila kita punya konsep diri positif yang kita lakukan tentunya membekali diri dengan kemampuan yang dibutuhkan, caranya berupaya dengan belajar atau berlatih, meskipun ini tentunya membuat kita menderita. Ingat pepatah, bila ingin pandai belajarlah, bila ingin kaya bekerjalah.
3.      Kebutuhan.
Ekspektasi, merupakan penyebab yang dominan timbulnya rasa takut. Dalam teori motivasi, kebutuhan merupakan faktor penggerak kehidupan. Kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu selalu diarahkan untuk terpenuhinya kebutuhan. Atau melindungi, menjaga, mempertahankan agar tidak ada kebutuhan yang hilang. Hidup manusia 100% berpikir untuk dirinya sendiri, untuk terpenuhinya kebutuhan sendiri. Saya tidak yakin bahwa ada orang yang berbuat untuk orang lain tanpa pamrih untuk diri sendiri. Apapun yang kita lakukan atau tidak kita lakukan ujug-ujungnya untuk terpenuhinya kebutuhan kita sendiri. Berdasarkan kenyataan ini maka rasa takut itu pada dasarnya adalah karena adanya kekawatiran tidak terpenuhinya kebutuhan.
Kita telah bicarakan didepan bahwa rasa takut lebih didominasi oleh penyebab dari  dalam diri kita yang berupa cara kita memandang diri sendiri.  Cara kita memandang diri sendiri akan menentukan persepsi kita tentang sesuatu di luar diri kita. Jadi untuk menghilangkan rasa takut harus dilakukan dengan cara merubah cara memandang diri sendiri.
1.      Yakin pada diri sendiri
Yakin pada diri sendiri, yang saya maksud disini adalah tingkat kepercayaan pada diri sendiri yang didasarkan atas kepercayaan terhadap kemampuan diri. Suatu keyakinan akan terbentuk bila kita merasa diri  mampu, merasa memiliki, merasa dapat, merasa punya hak. Ini akan memiliki efek yang sangat berbeda dengan apabila kita merasa tidak memiliki, tidak mampu, tidak dapat, tidak berhak dan rasa negatif yang lain. Rasa mampu akan mendorong kita untuk melalukan tindakan. Ada tiga kondisi yang biasa dimiliki oleh individu dalam menyikapi keberhasilan. Yang pertama adalah mereka yang tidak merasa memiliki sehingga tidak melakukan sesuatu. Yang kedua, mereka yang merasa memiliki tapi tidak melakukan sesuatu. Dan yang ketiga adalah mereka yang merasa memiliki dan segera melakukan.
Masalah yang menjadi ganjalan adalah tidak setiap orang dapat menemukan apa yang dimilikinya. Berdasarkan penjelasan diatas ketidakpercayaan pada diri sendiri menjadi penyebab utama individu sulit menemukan kemampuan apa yang dimilikinya. Ada tiga cara umum yang dapat kita pergunakan untuk melihat kemampuan apa yang kita miliki. Bukan cara apa yang penting tetapi sikap kita pada diri sendiri itu yang lebih penting, karena cara apapun yang kita pergunakan tidak akan dapat memberikan hasil yang optimal  apabila kita tidak jujur pada diri sendiri. Kita sering berbantah bahkan cenderung menolak hasil yang kita peroleh. Kejujuran pada diri sendiri menjadi kunci keefektifan cara yang kita pergunakan.
Cara-cara itu adalah:
a.       Introsprksi, yaitu melihat diri sediri dengan kaca mata pikiran. Dalam penggunaan cara ini kita akan secara otomatis melihat peristiwa masa lalu apa yang pernah kita lakukan, dan bagaimana kita melakukannya. Apa yang dulu pernah berhasil kita lakukan, atau selalu dapat kita lakukan dengan sangat mudah, serta kita merasa senang melakukannya bahkan selalu menghasilkan  yang paling baik menurut diri kita. Cara ini paling sulit kita lakukan, karena ditentukan oleh kualitas kepercayaan pada diri sendiri tetapi hasilnya paling akurat.
b.      Minta pendapat orang lain. Cara ini paling mudah kita lakukan yaitu dengan minta pendapat orang lain. Apa pendapat mereka tentang diri kita. Tetapi justru cara yang paling mudah inilah yang membuat hasilnya menjadi paling tidak obyektif. Karena pendapat orang adalah persepsi orang tersebut terhadap kita yang tentu menjadi sangat subyektif.
c.       Tes Psikologi, cara ini lebih obyektif, disamping kita dapat memilih apa yang ingin kita ketahui , kitapun dapat juga memperoleh hasilnya secara kuantitatif. Instrumen penilaian merupakan hasil penelitian para ahli yang lebih dapat dijamin validasi dan akurasinya. Hanya, kita perlu ingat dua hal bila kita akan menggunakan cara ini. Pertama budaya kita dan budaya pembuat maupun responden penelitian berbeda dengan budaya kita orang Indonesia. Ada hal-hal yang bagi mereka baik tapi bagi kita jelek. Misalnya pada saat kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang kita tuakan, dalam budaya kita yang baik, kita tidak harus bertemu pandang. Atau bagi budaya kita menyatakan kemampuan diri secara langsung dihadapan orang lain, apa lagi yang baru kita kenal, bukan hal yang baik. Kedua, ada instrumen yang sifatnya pilihan (multiple choise) dimana kita harus memilih jawaban yang talah tersedia, masalahnya seringkali kita tidak setuju dengan jawaban yang tersedia, tetapi kita harus memilih.

2.      Yakin semua orang baik.
Sebenarnya Tuhan telah mengajarkan kepada kita, agar kita tidak  berprangsang buruk terhadap orang lain, tetapi justru harus menganggap semua orang saudara, karena kita semua berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan. Tetapi kebutuhan hidup sesaat atau jangka pendek yang sering kali membuat kita merasa tidak bersaudara dengan orang lain. Orang lain kita pandang sebagai pesaing, sebagai musuh yang akan mengambil hak kita, rejeki yang diperuntukkan bagi kita. Kehadiran orang lain menimbulkan rasa takut, was-was, khawatir karena orang lain  bermaksud jahat pada kita. Cara kita memandang orang lain seperti inilah yang membuat kita takut.
Yang perlu kita lakukan adalah merubah cara pandang kita pada orang lain dari memandang orang lain sebagai pesaing menjadi memandang orang lain sebagai mitra. Memandang semua orang itu baik terhadap diri kita, mencintai kita, bersedia membantu kita.  Dengan cara pandang ini kita merasa hidup kita tidak sendirian. Ingat dalam kehidupan yang semakin canggih ini, menghasilkan jenis dan jumlah kebutuhan hidup yang semakin meningkat, dan ini menuntut semakin tingginya spesialisasi kemampuan untuk mewujudkannya, hasilnya semakin banyak keahlian yang tidak kita miliki, dan akhirnya semakin tinggi ketergantungan kita pada orang lain. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya seorang diri. Senjata yang paling ampuh yang dapat kita pergunakan untuk memanfaatkan kebaikan orang kepada kita adalah komunikasi. Pandangan yang positif kepada diri sendiri dan orang lain adalah kunci sukses dalam berkomunikasi.    
3.      Yakin Tuhan tidak pernah bohong.
Saya yakin  semua agama mengajarkan bahwa Tuhan menjanjikan penyertaan, perlindungan dan bantuan kepada manusia dan Tuhan tidak pernah ingkar janji. Sebagai umat yang mengimani tentu punya keyakinan bahwa itu benar. Tetapi apakah dalam kehidupan sehari-hari keyakinan ini tercermin dalam sikap dan perilaku? Keyakinan ini akan membuat kita tidak pernah sendirian meskipun dalam kesendirian, kita tidak pernah khawatir meskipun tidak tahu pasti apa yang ada didepan kita, kita tidak akan cemas meskipun kita merasa tidak cukup memiliki bekal, karena itu semua akan dinyatakan kepada kita bila kita tetap melangkah. Seorang pemberani adalah mereka yang tetap melangkah meskipun takut.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar