Sabtu, 05 Maret 2011

Mengenal diri

BENEH SEBAGAI STANDAR KUALITAS HUBUNGAN ANTAR INDIVIDU

Jadi beneh berkaitan dengan kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain, bagaimana kita berinteaksi dengan orang lain yang tidak hanya membuat diri kita senang, tetapi  orang lainpun senang. Bagaimana memenuhi kebutuhan pribadi dengan cara yang menyenangkan orang lain, atau tanpa mengurangi hak orang lain?. Hubungan dengan orang lain menjadi tidak efektif lebih banyak disebabkan karena ketidakmampuan memahami orang lain, dan terlalu memikirkan diri sendiri. Jadi orang beneh adalah orang yang memahami diri sendiri dan memahami orang lain, yaitu nilai dan keyakinan, memahami situasi dimana interaksi berlangsung, serta berprilaku yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (aku senang engkau senang) Dengan demikian maka beneh menjadi ukuran kelayakan dalam berinteraksi dengan orang lain. Ketika terjadi interaksi, individu pertama-tama akan mempertimbangkan kondisi dirinya sendiri. Apa kebutuhan yang ingin dipenuhi, dan penilaian terhadap orang lain, dan lingkungan. Siapa yang dihadapi dan dalam waktu, kondisi, tempat seperti apa. Kemampuan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal inilah yang  akan menentukan tingkat kedewasaan seseorang. Apa bila pertimbangan ini tepat maka apa yang kita inginkan akan tercapai dan orang lain yang menangkap ucapan dan perilaku kita akan merespon dengan baik.   
Kita sering mendengar komentar orang tua terhadap anaknya yang tidak menuruti kehendaknya; “ Anak tidak tahu membalas budi”, atau “ Anak tidak berbakti”, “Anak mursal” Dan sebaliknya terhadap anak yang taat pada kehendak orang tua, komentarnya menjadi; “Anak baik”, Anak yang berbakti” “Anak beneh.” Mengapa atau apa yang menyebabkan lahir komentar seperti itu? Penyebabnya tidak ada lain kecuali karena orang tua mengukur baik tidaknya anak dengan ukurannya sendiri. Orang tua merasa dirinya sudah banyak pengalaman dalam hidupnya sedang anak masih perlu banyak belajar. Anak dianggapnya masih belum banyak merasakan manis getirnya kehidupan. Orang tua tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan dalam hidupnya. Oleh sebab itu ia berusaha mewariskan pengetahuan dan pengalamannya kepada anaknya. Ia berpikir bahwa pengetahuan yang dimiliki akan bermanfaat bagi anaknya. Ia lupa bahwa dunia ini berputar, bahwa kehidupan manusia selalu berubah. Apa yang baik kemarin belum tentu tetap baik saat ini, dan apa yang baik saat ini belum tentu baik besuk. Ukuran baik dan buruk berubah berdasarkan ruang dan waktu.
Ketegangan hubungan antara anak dan orang tua atau antar generasi dalam masyarakat disebabkan karena ketidakmampuan masing-masing memahami satu sama  lain.Setiap generasi memiliki nilai sendiri, memiliki kebenarannya sendiri dan memiliki kecenderungan memandang sesuatu berdasarkan apa yang diyakini. Kebanyakan orang tua masih memandang  anak  sebagai harta, sebagai kekayaan atau bahkan sebagai sapi perah, atau lebih parah lagi sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri)  yang pada suatu saat nanti, sesudah besar dan dapat mencari nafkah sendiri, sedang orang tua sudah tidak lagi produktif, dapat menjadi penompang hidupnya. Orang tua memandang kasih sayang terhadap anak sebagai tugas atau pekerjaan yang harus menghasilkan sesuatu yaitu dapat membalas cinta orang tua, bukan sebagai tanggungjawab dan pengorbanan atau persembahan kepada Tuhan. Kita sering mendengar peribahasa kuno; “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Makna peribahasa tersebut adalah bahwa kasih ibu kepada anak tidak berbatas, tidak berujung, tidak seperti kasih anak kepada ibu. Ini sebatas peribahasa. Apakah kenyataannya seperti itu? Apakah memang benar-benar tidak berbatas? Hal ini perlu kita telaah lebih jauh.
Bila kita melihat apa yang terjadi di lingkungan Aparatur Pemerintah seperti halnya dalam masyarakat mereka bekerja selalu didasarkan pada aturan yang orang sering sebut dengan “Juklak dan Juknis” Seorang pegawai dituntut ketaatannya pada aturan yang telah ditetapkan dalam juklak dan juknis tersebut. Ketaatan pada aturan bagi seorang Pegawai Negeri adalah keharusan. Meskipun kenyataannya pada satu peristiwa tertentu aturan itu tidak dapat memenuhi suatu kebutuhan. Bila kita tetap berpegang pada aturan, tujuan tidak dapat tercapai atau minimal terlambat tercapai. Sementara bila kita hanya orientasi pada tercapainya tujuan saat itu, kita akan salah secara prosedur. Contoh yang sering kita jumpai adalah ketika terjadi bencana alam misalnya tanah longsor atau banjir yang sekarang ini sering terjadi. Meskipun untuk penanggulangan akibat bencana tersebut telah dianggarkan, tetapi untuk dapat menyalurkan bantuan pada korban diperlukan prosedur yang tidak selalu dengan cepat dapat diselesaikan. Akibatnya kita sering mendengar pemerintah terlambat dalam pemberian bantuan pada korban. Belum lagi bahwa prosedur itu berkaitan dengan keharusan melibatkan Satuan Kerja yang lain.
            Kecenderungan manusiawi yang sering membuat PNS belum beneh adalah dominannya kepentingan pribadi dan kelompok. Pada hakekatnya memang manusia diciptakan sebagai individu oleh sebab itu maka semua akal dan budinya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Apapun yang dipikirkan dan diperbuat selalu berujung pada kepentingan diri sendiri. Sedang perhatian pada kepentingan orang lain sangat kecil. Ada pendapat yang mengatakan pikiran manusia 90% dipergunakan untuk memikirkan diri sendiri sedang untuk memikirkan hal-hal lain hanya 10%.
            PNS disamping dituntut professional dalam melaksanakan tugas, juga dituntut kesetiaan yang sering disebut loyalitas. Ada masa dalam sejarah Negara kita kata loyal ini menjadi sangat sacral bahkan menjadi kata kunci karir dan hidup matinya seorang PNS bahkan semua warga Negara. Secara politis kata loyal ini dikaitkan dengan Ideologi Negara yaitu Pancasila. Menjadi keharusan seorang warga Negara setia kepada Pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup. Kualitas seorang warga Negara diukur dari kesetiaannya pada Pancasila. Ini bagus, dan bukan sesuatu yang salah, bahkan sampai saat ini. Yang menjadi tidak sesuai adalah bahwa kesetiaan secara politis ini ditafsirkan secara luas dan sangat subyektif, sampai masuk ke lingkungan birokarasi. Kata loyalitas ini dapat dipergunakan untuk menyingkirkan orang yang tidak disenangi, bahkan dipergunakan untuk membunuh karier dan karakter PNS.
            Bila kita membaca semua peraturan yang mengatur Struktur Organisasi dan Tata-kerja Satuan Kerja, baik di tingkat pusat maupun daerah, pada pasal yang mengatur tugas dan fungsi suatu jabatan, ayat terakhir selalu berbunyi, “dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan (atasan).” Makna ayat ini lebih lanjut tidak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal-pasal, karena dianggap sudah jelas.  Ayat ini menjadi ukuran kesetiaan (loyalitas) bawahan. Karena tidak ada penjelasan resmi maka ayat ini, menjadi pasal “karet”, menjadi sumber penyalah gunaan wewenang atasan kepada bawahan. Perintah yang diberikan oleh atasan bisa saja tidak ada kaitannya dengan tugas pokok dan fungsi, atau yang berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi. Perintah atasan bisa saja demi kepentingan pribadi, keluarga atau golongannya. Bila demikian halnya apakah perintah tersebut masih dapat dipergunakan sebagai ukuran loyalitas seorang bawahan? Peristiwa semacam ini sangat sering terjadi di lingkungan birokrasi.
            Kata loyalitas yang bermakna positif tidak selalu demikian dalam praktek sehari-hari Dari permaknaan loyalitas seperti itu akan mengakibatkan pengingkaran, pembelengguan bahkan penghapusan identitas pribadi seseorang. Di lingkungan kerja (birokrasi yang benar-benar saya ketahui dan rasakan) seorang PNS pada saat berposisi sebagai bawahan. Akan cenderung berupaya membuat pimpinan senang lebih penting dari pada memberikan hasil kerja yang benar. Artinya bahwa dia cenderung mengikuti kebenaran yang dianut oleh pimpinan. Dia merasa tidak memiliki bergaining power yang cukup untuk memperjuangkan keyakinannya. Sebagai bawahan lebih sering harus makan hati dan berulam jantung, karena harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang diparjuangkannya sebagai pribadi. Dan sebaliknya pada saat berposisi sebagai pimpinan, seorang PNS cenderung memperlakukan bawahannya seperti perlakuan yang dia terima dari pimpinannya.


Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar