Minggu, 10 Maret 2013

Pengembangan Diri

Siapa aku menurutku dan siapa aku menurutmu?
MEMAHAMI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN
Landasan berpikir.
            Untuk memahami dengan baik konsep beneh ini, kita perlu memahami terlebih dulu landasan berpikir yang saya pergunakan. Konflik dalam kehidupan bersama, baik di masrakat, keluarga maupun tempat kerja merupakan kejadian yang biasa, wajar dan terjadi setiap saat. Tetapi anehnya hal yang biasa tersebut sering dinilai negatif. Konflik itu tidak baik. Bila ada konflik dalam suatu interaksi, baik dalam sekala individu maupun dalam sekala organisasi, kita buru-buru mencari siapa yang menyebabkan, bukan mencari tahu apa yang menyebabkan. Gaya menyikapi konflik yang demikian ini tentu akan melahirkan cara menyelesaikan yang berbeda. Bila kita menanyakan siapa yang menyebabkan konflik, tentu kita akan menemukan orang. Dan langkah selanjutnya adalah upaya merubah orang tersebut. Dan bila ini yang kita lakukan maka hasilnya adalah konflik baru yang lebih hebat, yaitu konflik pribadi (personel conflict ). Berbeda tentunya bila kita bertanya “apa” yang menyebabkan konflik, kita akan menemukan penyebab yang berupa benda atau keadaan (professional conflict).
Kecenderungan kedua, dengan alasan pribadi, demi keutuhan hubungan, kita tidak berani atau tidak mau mengakui secara terbuka bahwa sedang terjadi konflik. Gaya menyikapi konflik yang demikian akan melahirkan tindakan yang sebunyi-sembunyi, misalnya sabotase, gosip, membiarkan orang lain berbuat kesalahan, membuka medan perang dingin. Karenanya banyak diantara kita yang lebih senang menghindari konflik sebagai penyelesaian yang dianggap paling baik. Ironisnya masing-masing orang memiliki gaya menyelesaikan konflik yang berbeda-beda. Dan ini dibangun dari nilai (value) dan keyakinan (belief) seseorang yang diperoleh dari hasil pengalaman selama hidupnya.
Pada umumnya konflik disebabkan oleh adanya kekawatiran tidak terpenuhi kebutuhan atau adanya ancaman terhadap terpenuhinya kebutuhan sendiri karena kehadiran pihak kedua. Konflik selalu melibatkan dua fihak, meskipun belum tentu fihak lain menyadari bahwa kehadirannya menimbulkan konflik. Kekawatiran akan adanya ancaman dari pihak lain, menunjukkan ketidaktauan (tidak mengenal) apa kebutuhan  dia atau mereka. Jadi kebutuhanlah yang selalu menjadi motiv terjadinya konflik. Dan konflik ini dapat melibatkan individu dengan jumlah yang besar. Seperti yang sering terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Konflik antar pelajar dari dua sekolah, antar fakultas pada satu perguruan tinggi, antar suku, antar desa,antar agama dan sebagainya.
Cara seseorang menyelesaikan konflik dapat menjadi ukuran tingkat kebenehannya. Mengapa demikian? Karena penyelesaian konflik selalu harus memperhatikan faktor kepentingan sendiri dan orang lain.
Untuk dapat menjadi “beneh” ada tiga landasan berpikir yang perlu dipedomani.
1.      Setiap individu diciptakan berbeda-beda.
2.      Setiap individu memiliki potensi yang relatif sama.
3.      Tuhan menciptakan manusia untuk sukses.

  1. Setiap individu diciptakan berbeda-beda, pisik dan non-pisik
            Telah bermilyard-milyard manusia pernah diciptakan di dunia ini sejak manusia pertama sampai saat ini, tetapi belum pernah tercatat dalam sejarah atau secara ilmiah, ada dua individu yang sama persis.Ini menunjukkan bahwa setiap orang diciptakan sebagai individu. Manusia tidak diciptakan secara masal seperti layaknya barang-barang produk pabrik. Saya belum tahu apakah  kloning dapat menghasilkan dua manusia yang sama persis baik secara pisik maupun psikologis. Sebab manusia berbeda dengan binatang. Manusia memiliki akal-budi yang melahirkan perbedaan karakter, kepribadian, atau aspek psikologis. Secara pisik manusia berbeda satu sama lain meskipun itu lahir kembar.
            Saya ingat pada akhir tahun 60 an, saat saya mahasiswa tingkat Doktoral ( Semester akhir istilah sekarang) di Unibra Malang saya punya kenalan cowok kembar. Yang satu namanya Petrus, yang satu Paulus. Semula yang saya kenal si Petrus karena kebetulan sama-sama ikut kegiatan Paroki (Mudika). Kami berdua tidak terlalu akrap tapi sering ketemu, ngobrol-ngobrol. Kebetulan si Petrus ini disamping tampan juga ramah, ceriteranya banyak dan lucu lagi. Jadi tidak heran bila selalu menjadi kerumunan teman-teman bukan saja cowok tapi juga cewek-cewek. Setiap pertemuan yang rutin Minggu siang, menjadi hambar tanpa kehadiran Si Petrus. Banyak teman yang kecewa, hingga pada suatu saat sudah dua kali pertemuan tanpa kehadiran Petrus. Semua teman penasaran karena tidak satupun yang tahu penyebabnya. Akhirnya kami putuskan untuk ramai-ramai datang ke rumahnya. Kami berlima tiga cowok dua cewek. Jangan bodohkan kami kenapa tidak di telpon saja ? Ini terjadi pada tahun 1969 teman, dimana telpon merupakan barang langka lagi mewah. Tidak setiap rumah punya telpon dan belum ada telpon umum.. Memang rumah Petrus ada tepon, maklum bapaknya pengusaha,  tapi tidak semudah itu kita bisa telpon. Kita harus ke kantor Telpon dulu, dan itupun harus antri dan bayar. Kami berlima naik sepeda ontel, kendaraan rakyat waktu itu. Endang dibonceng Kris, Cicil dibonceng Budi, saya sendirian, bukan karena sok tapi memang karena sepeda saya tidak ada boncengannya, memang sengaja sesuai pesan bapak saya, tidak perlu dipasang boncengan biar sepedanya awet.
            Sesampai dirumah Petrus, di jalan Oro-Oro Dowo, Endang yang anak Ngebruk itu dengan gayanya yang perkemi (sok tahu) memencet bell. Agak lama kami menunggu, tidak  biasanya seperti itu, karena kamar tidur Petrus di bagian depan, sehingga dia pasti sudah mendengar kedatangan kami, pada saat membuka pagar. Kami tidak menaruh curiga, hanya sedikit menggerutu, apa lagi Endang sudah mulai ngomel, ngumpat-ngumpat. Akhirnya pintu dibuka juga. Tanpa basa-basi dicubitnya kedua pipi Pembuka pintu sambil tetap mengumpat: “Kemana saja kamu he, dua kali gak datang?” Pemilik pipi menjerit terkejut dan kesakitan dipegangnya tangan Endang sambil agak berteriak:” Aduh, aduh, sebentar to, “ wajahnya menunjukkan kesakitan. Kami semua tertawa, karena bisa memahami sikap Endang yang demikian sebagai ungkapan kekecewaan. “Sebentar, sabar-sabar, kalian ini siapa? Tanya nya setelah bebas dari cubitan Endang. “Ha!?” Hampir bersamaan kami berteriak karena terkejut bercampur heran, mendengar pertanyaan itu. Sekilas dalam pikiran saya ada sesuatu yang tidak beres pada diri anak ini, masak dengan kami lupa. Saya tidak berpikir bahwa dia melucu, hal ini saya simpulkan dari wajahnya yang serius bercampur heran. Ternyata teman-temanpun berpikiran sama, Kami saling melihat satu-sama lain dengan pandangan keheranan. Suasana hening sesaat, tidak lama kemudian teka-teki ini terpecahkan dengan terdengarnya suara Kris yang keras tapi agak parau:” He!, Petrus kau kena dimana?” Maksudnya kemasukan makluk halus dimana, sampai-sampi sudah tidak mengenal kami. Kami semua tertawa lagi. Tapi berbeda dengan si Pembuka pintu. Dengan wajah keheranan dan minta dikasiani dia berkata: “ Aku bukan Petrus tapi Paulus, saudara kembarnya” Kami semua malu, terutama Endang serba salah tingkah berkali-kali minta maaf sambil cium-cium tangan Paulus segala. Baru saat itu kami tahu bila Petrus punya saudara kembar. Sepintas memang sama  tapi tidak berapa lama setelah kita berbincang-bincang makin banyak menemukan perbedaan keduanya, baik pisik maupun nonpisik.
Perbedaan non- pisik.
            Disamping perbedaan pisik setiap individu juga berbeda secara non-pisik. Beberapa ngdominan. Karakter adalah ciri yang sangat nyata dilihat oleh orang lain, karena karakter ini akan nampak saat individu berinteraksi dengan individu lain. Karakter akan mewarnai perilaku individu. Karakter ini antara lain berupa keajegan (consistency), semangat (enthusiasm), tanggungjawab (consequences), kejujuran (integrity), ketulusan (sincere), Jadi karakterter menunjuk pada sikap individu saat mengahadapi sesuatu. Bagaimana gaya yang ditunjukkan individu saat berhadapan dengan orang lain, barang atau keadaan.
            Perbedaan non-pisik yang lain adalah potensi dominan. Bila kita mengacu pada ajaran agama semua mengakui kemahaan Tuhan. Antara lain Tuhan Maha Adil dan Maha Murah. Semua manusia dianugrahi potensi (kemampuan) yang diperlukan untuk dapat hidup di dunia dan anugrah itu relative sama bagi setiap individu. Kalau toh akhirnya terjadi berbedaan antara individu yang satu dengan yang lain, itu karena manajemen yang dilakukan terhadap potensi yang bebeda. Taufik Hidayat sebagai master bulutangkis, Krisdayanti sebagai diva dalam olah suara, Inul Daratista sebagai Ratu dalam pengeboran, he, he. Itu bakan secara tiba-tiba muncul, tetapi melalui proses penggalian, dan pelatihan yang disertai keajegan (consistency), semangat (enthusiasm), tanggungjawab (consequences), kejujuran (integraty), dan ketulusan (sincere).
Apa kesimpulan yang dapat kita ambil dari landasan berpikir ini? Ini menunjukkan ke Maha Besaran Tuhan, bahwa perbedaan diantara kita adalah kehendakNya, dan perbedaan itu adalah rachmad bagi kita. Meskipun secara pisik hampir tidak dapat dibedakan tetapi mereka tetap dua pribadi yang berbeda. Setiap manusia diciptakan Tuhan sebagai pribadi, sebagai individu yang diberikan otonomi untuk menentukan sendiri jati dirinya masing-masing. Setiap individu diciptakan menurut citra Tuhan sendiri. Lalu apa maknanya bagi kita?  
a.Yang pertama iklas menerima apa adanya diri kita dan selanjutnya memanfaatkanya. Tuhan itu Maha Sempurna, apapun yang diberikan kepada kita pasti sempurna. Artinya pasti bermanfaat bagi diri kita apa bila kita mampu memanfaatkannya dengan benar. Wujud konkrit dari iklas adalah rasa bangga pada diri sendiri. Bangga dengan apa yang dimiliki, sebab apa yang dimilki dapat bermanfaat bagi dirinya. Kebanggaan pada diri sendiri merupakan landasan pertama untuk sukses. Tanpa ada kebanggaan pada diri sendiri individu tidak akan dapat menjadi dirinya sendiri. Menjadi diri sendiri inilah sebenarnya misi yang kita emban sebagai bentuk syukur dari peristiwa penciptaan diri kita. Untuk bisa memiliki kebanggaan pada diri sendiri pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mencintai diri sendiri. Sebenarnya sedikit aneh bila saya  katakan orang harus mencintai dirinya sendiri. Apakah ada orang yang tidak mencintai dirinya sendiri? Sebelum menjawab pertanyaan ini baiklah sata sedikit berdefinisi tentang cinta dan mencintai ini.
Cinta seringkali di jadikan kata majemuk dengan kata kasih yang memiliki makna kurang lebih sama, menjadi cinta-kasih adalah kata benda, bila konteknya “Saya memberikan seluruh cintaku padamu.” Menjadi kata sifat bila konteknya, “Cinta tanah air adalah kewajiban setiap warga negara.” Menjadi kata kerja bila konteknya: “Aku mencintaimu sepanjang hidupku.” Dan menjadi kata keadaan bila konteknya: “Muda-mudi itu sedang dimabuk cinta.” Ini sedikit tentang ilmu bahasa, makna suatu kata ditentukan oleh konteknya. Setiap orang memiliki rasa cinta ini. Oleh sebab itu tidak salah bila ada orang berpendapat bahwa cinta adalah bahasa universal. Mengapa karena cinta itu bersumber langsung dari Tuhan. Karena cintaNya kita diciptakan dengan kesempurnaan dan hanya Tuhanlah yang memiliki cinta sejati. Nah ini berarti manusia tidak memiliki cinta sejati? Lalu cinta macam apa antara suami terhadap istri dan sebaliknya? Orang tua terhadap anak dan sebaliknya? Yang membedakan adalah cinta Tuhan kepada kita tanpa pamrih. Nah sekarang mari kita jawab secara jujur, apakah cinta kita tanpa pamrih? Bila anda jujur, saya yakin anda akan menjawab “pasti dengan pamrih” Misalnya cinta orang tua kepada anak tentu disertai harapan anak akan membalas cinta itu sehingga anak tidak akan menterlantarkannya saat sudah tua nanti. Lalu bagaimana dengan mencintai diri sendiri apakah disertai pamrih juga? La iya lah.
Lalu bagaimana bentuknya bila kita mencintai diri sendiri? Cinta itu melindungi, cinta itu pengorbanan, bila kita mencintai diri sendiri tentu kita akan berupaya melindungi diri kita dan berkorban kepada diri sendiri. Apakah kita tidak demikian? Itu yang saya tidak tahu apakah kita sudah seperti itu, marilah kita lihat bersama-sama. Melindungi diri tentunya melindungi diri dari ketidak nyamanan baik secara pisik maupun non-pisik. Secara pisik misalnya kemiskinan, sakit. Sedang yang non-pisik rasa malu, tidak diperhitungkan manfaat kehadirannya dihadapan orang lain (tidak diorangkan), dihina, didholimi dan sebagainya. Lalu bagaimana cara kita melindungi diri dari kemiskinan? Tentunya dengan kerajinan, kerja keras, belajar, menabung, berhemat membangun hubungan dan sebagainya. Ini semua membutuhkan pengorbanan dari kita berupa menunda menikmati kesenangan. Melindungi diri dari sakit dengan melakukan pencegahan. Kata dokter pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Kegiatan pencegahan antara lain berolahraga secara teratur dan terus-menerus, makan makanan yang seimbang, menghindari makanan yang tidak sehat, istirahat cukup. Melindungi diri dari penghinaan dari orang lain adalah selalu belajar, komunikasi efektif, Sudahkan ini kita lakukan? Jadi mencintai bukan berarti memanjakan diri, permisive, tidak kuasa menghukum diri sendiri. Bila kita perlakukan diri kita seperti ini, berarti kita membenci diri, mendholimi diri karena membiarkan diri dihina, dan menderita.
Cinta, kata yang memiliki makna yang luarbiasa dalam kehidupan manusia.
 Bangga pada diri sendiri bukan berarti membanggakan diri. Sebab membanggakan diri sendiri selalu dihadapkan dengan orang lain. Dengan kata lain aku membanggakan diriku karena aku lebih baik, lebih cantik, lebih gagah, lebih kuat, lebih tinggi dan bahkan lebih sempurna dibandingkan dengan kau, dengan dia, dengan mereka.  Saya yakin anda pasti pernah punya teman, atau pernah mendengar orang berbicara yang selalu diawali dengan aku,aku, aku. Saya yakin anda akan bosan mendengarnya atau bahkan anda mengalihkan perhatian atau memotong bicaranya. Aku centris memang bukan bentuk orang yang menerima diri apa adanya. Tapi sebaliknya, yaitu orang yang tidak puas dengan dirinya sendiri. Itu suatu upaya kompensasi menutupi kelemahannya, agar orang lain mau mengakui, menghargai mengagumi dirinya.
Satu contoh pengalaman saya berteman dengan seorang cewek tanah Kawanua pada awal tahun 70an tepatnya tahun 1971 bernama Caroline. Setiap saya datang kerumah kost nya, dia selalu berceritera tentang kakaknya yang menjadi pelaut. Kelihatannya kakaknya merupakan sosok yang sangat dikagumi. Topik apapun yang kami bicarakan selalu ada saja persamaanya dengan kakaknya. Waktu saya bicara tentang olah raga karena kebetulan saat itu masyarakat sedang demam PON iapun menyahut:” Kakakku sejak masih SMA adalah pemain basket bla,bla,bla.” Ketika bicara tentang film diapun menyahut: “Kakakku favoritnya bintang film bla,bla,bla.”  Bagaimana sikap anda bila berdialog dengan orang yang memiliki egocentris seperti ini? Saya berani bertaruh anda pasti muak dan segera meninggalkan dia.
Membanggakan diri selalu dilakukan dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Tadi sudah dijelaskan bahwa kita diciptakan sebagai invidu yang berberbeda-beda, jadi buat apa kita saling bandingkan? Hasil membandingkan diri kita dengan orang lain cenderung negative dan ini akan menghasilkan banyak kerugian bagi diri kita sendiri. Bila ini yang kita lakukan yang terjadi adalah; pertama aku lebih dari  orang lain, atau  yang kedua aku kalah dari orang lain. Bila hasil perbandingan tersebut kita yang menang, artinya lebih baik dari orang lain, maka kita akan menjadi sombong, bersikap merendahkan orang lain. Karena kita merasa lebih baik maka kita enggan belajar, tidak mengembangkan diri, merasa benar sehingga enggan menerima pendapat orang lain, suka memaksakan kehendak, mudah tersinggung bila menerima pendapat yang berbeda atau kritik, dan ini merupakan kondisi yang rentan terhadap stress. Dan hasil yang kita peroleh dalam interaksi dengan orang lain adalah konflik. Karena akan menimbulkan ketersinggungan, sakit hati, anti pati, kekecewaan. Kondisi yang demikian tentu akan menjauhkan atau setidaknya mengurangi dukungan orang lain terhadap kita.
Dan sebaliknya bila hasil membandingkan tersebut kita yang kalah, kita akan cenderung merendahkan diri sendiri, akibatnya malu, tidak percaya diri dan menutup diri dari orang lain, tidak berani mencoba, tidak berani mengambil risiko. Kita akan menjadi seperti katak dibawah tempurung, menjadi pengkhayal ,dream only no action. Kondisi yang demikian akan mengakibatkan kita tidak dikenal orang, atau dikenal sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sehingga kehadiran kita tidak diperhitungkan. Kedua hasil perbandingan ini berdampak negatif secara psikologis terhadap diri kita. Inilah gambaran sikap tidak iklas menerima diri sendiri atau tidak bersyukur atas rahmad Tuhan.
Ada satu pengalaman pribadi yang sangat mengesan saya dan tak terlupakan sampai saat ini. Yaitu ketika saya membanggakan diri saya sebagai sarjana keenam dalam jajaran Pemerintah Kabupaten Blitar, di awal tahun 70an. Peristiwa ini terjadi saat saya baru belajar bekerja di lingkungan Pemerintah. Setelah saya lulus dari perguruan tinggi dengan menyandang gelar Sarjana Administrasi Negara saya mencoba melamar sebagai pegawai Kantor Kabupaten Blitar. Kebetulan saya punya sahabat karib yang punya kerabat mejadi Kepala Personalia. Malam-malam saya diperkenalkan dan saya sampaikan maksud saya. Jawabannya: Besuk pagi datang saja di kantor.” Pagi-pagi jam 07.00 saya sudah tiba di kantor. Para pegawai masih apel pagi. Selesai apel saya diterima oleh Kepala Personalia, beliau bertanya: “Sudah bawa lamaran?” “Belum”, jawab saya. “Turunan ijasah?” lanjutnya. “Belum,” jawab saya. “Ya, sudah, sekarang buat saja lamarannya ini kertasnya,” diberikannya selembar kertas bermeterai sekalian dengan fulpennya. Di ruangan beliau saya membuat lamaran dan saya serahkan. Kemudian beliau suruh stafnya mengantar saya menghadap Kepala Ditsusl untuk di screening. Itu terjadi pada bulan Juni tanggal 15 tahun 1973. Tanggal 1 Agustus saya diperintah untuk mulai kerja dengan status Honorer dan di tempatkan di Bagian Humas.
Satu minggu kemudian, bersama seorang teman yang sudah lama jadi pegawai, saya ditugasi untuk menyusun buku memori Operasi Teritorial Sipil yaitu operasi yang dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri setelah keberhasilan Operasi Trisula (Operasi Militer dalam pemberantasan PKI Partai Komunis Indonesia di Blitar Selatan). Buku tersebut disamping berupa rencana pembangunan juga berupa hasil-hasil yang telah dicapai. Dalam buku tersebut dilengkapi juga dengan dokumentasi berupa poto. Dalam proses penyunan buku tersebut diperlukan banyak data dan nara sumber yang harus saya hubungi, baik mereka dari lingkungan Pemerintah Daerah, maupun instansi-instansi lain baik sipil maupun militer karena memang dalam pelaksanaan operasi tersebut melibatkan seluruh instansi. Setelah kira-kira satu bulan draft memori sudah kami selesaikan kemudian kami sediakan pada pimpinan untuk di koreksi. Disini pimpinan menemukan data kunci yang belum dilengkapi poto. Data ini tentang pemberangkatan jemaah haji yang pertama diikuti oleh jemaah dari Blitar Selatan. Mengapa data ini penting, karena sebelum itu Blitar Selatan adalah daerah basis PKI. Jadi pemberangkatan jemaah haji dari daerah itu merupakan salah satu hasil operasi yang sangat penting. Pimpinan ingat betul ada potografer yang mengabadikan peristiwa tersebut. File di Bagian Humas tidak kami peroleh terpaksa kami harus mencari di instansi lain. Ada informasi bahwa Humas Kodim ( Komando Distrik Militer) mengambil gambar peristiwa tersebut, maka saya datang di Markas Kodim. Oleh petugas Piket saya diarahkan ke Seksi Teritorial. Setelah saya sampaikan maksud saya meminjam file negatip dari peristiwa tersebut untuk saya cetak, saya diarahkan untuk menemui Kopral Karsono karena dia yang menyimpan negatifnya.
Setelah mendengar nama Kopral Karsono, saya terhenyak kaget, pikiran saya melayang menuju ke satu wajah yang sangat saya kenal. Terbayang di pikiran saya wajah Kopral Karsono yang sinis dan tak acuh memandang saya menggambarkan sikap yang tidak bersahabat. Dengan sikapnya yang demikian, sudah terbayang bahwa saya akan gagal memperoleh negative yang saya perlukan. Kemudian terbayang juga tugas pertama saya akan gagal dan tentunya akan sangat mengecewakan pimpinan. Sikap Kopral Karsono yang tidak bersahabat kepada saya, sangat saya maklumi, sebab seandainya saya yang mengalaminya, reaksi saya jauh lebih sadis dari dia.
 Peristiwa ini terjadi saat sama-sama mengikuti acara presentasi saya sebagai penyusun draf Buku Memori dia hadir sebagai staf Kodim. Dalam sesi tanya jawab antara yang hadir dengan kami berdua Kopral Karsono mengajukan pertanyaan dan saran tentang mengapa bukti keberhasilan operasi itu hanya ditonjolkan pembangunan pisik saja apakah tidak lebih bagus dilengkapi hasil nonpisik? Kami terkejut dengan pertanyaan dan saran tersebut. Sebenarnya kami telah memasukkan tapi Kopral Karsono menyoroti dari aspek keamanan. Sedang kami berdua memiliki pengetahuan yang minim diaspek tersebut. Secara obyektif pertanyaan itu bagus, tapi sebagai orang muda yang sedang penuh kebanggaan diri merasa terbantai dengan pertanyaan itu. Reaksi spontan yang saya berikan adalah menganggap dia tidak mencermati presentasi saya dan saya minta untuk membaca lebih teliti lagi. Reaksi ini tentu saja saya sertai dengan sikap menekan.
Menghadapi persoalan seperti itu lalu apa dan bagaimana saya menghadapinya? Pelajaran yang pernah saya peroleh dari membaca buku-buku perjuangan merebut kemerdekaan dalam dunia tentara adalah selalu mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang paling jelek. Saya perkirakan Kopral Karsono akan menolak meminjami negatif dan bila ini terjadi kiamatlah karier saya. Satu pelajaran lagi yang saya peroleh dari bapak saya, “Huruf jawa akan mati bila dipangku” Artinya orang Jawa akan luluh bila dihadapi dengan rendah hati. Maka dengan berat hati saya tekan harga diri saya serendah-rendahnya dihadapan Kopral. Begitu saya masuk ruangannya dan berhadapan dengan dia yang saya lakukan adalah mengakui kesalahan dan minta maaf sebesar-besarnya dengan wajah penuh penyesalan badan membungkuk hampir sejajar meja kerja dan suara rendah dan melankolis. Benar apa yang dikatakan Bapak saya Kopral luluh hatinya dan dengan sedikit nasehat deserahkannya negatifnya pada saya.
b.Yang kedua bersyukur berarti mengoptimalkan diri kita agar bermanfaat bagi diri  sendiri dan orang lain serta menghargai kelebihan yang dimiliki orang lain meskipun seandainya kita tidak setuju. Seberapapun lemahnya manusia pasti memiliki potensi atau kemampuan yaitu sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk menompang hidupnya. Pengertian potensi disini adalah sesuatu  yang ada pada diri kita baik pisik maupun nonpisik. Dan potensi ini ada yang positif menjadi kekuatan dan ada yang negatif menjadi kelemahan. Potensi positif (kekuatan) adalah sesuatu yang paling kita suka untuk melakukan. Dan bila kita melakukannya kita lakukan dengan penuh semangat dan hasilnya lebih baik dari pada bila kita melakukan hal yang lain. Bahkan sering membuat orang lain terkagum-kagum. Sedang potensi negative (kelemahan) adalah sebaliknya.
Ironisnya tidak banyak orang mengetahui dengan jelas apa kemampuan yang dimilikinya. Berangkat dari pendapat Stephen Covey dalam bukunya The Seven Habits, “Manusia tidak dapat optimal dalam hidupnya karena; (1) mereka tidak benar-benar mengenal tujuan hidupnya, dan (2) mereka tidak benar-benar mengenal dirinya sendiri” Orang yang tidak mengenal tujuan hidupnya tidak akan terdorong untuk mengkonsentrasikan diri pada kemampuannya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dia tidak akan membuat perencanaan apa yang harus didahulukan dan kapan akan tercapai. Hidupnya cenderung mengukuti kata hati dan didasarkan pada apa yang dihadapi sat itu. Dia tidak akan pernah sukses tapi juga tidak akan pernah gagal. Karena sukses dan gagal diukur dari pencapaian tujuan. Selanjutnya orang yang tidak benar-benar mengenal dirinya sendiri, tidak tahu apa kekuatan dan kelemahan dirinya. Potensi apa yang dia miliki, sehingga dia tidak dapat mengoptimalkan daya yang dimiliki. Akibatnya dia akan menetapkan tujuan dibawah kemampuan yang dimilkinya. Dia tidak percaya bawa dirinya memiliki potensi yang luar biasa besar.
            Dengan memahami makna perbedaan antar individu sebagai rachmad akan tercipta suasana toleransi, saling menghargai, saling berbagi dan akhirnya saling mengasihi. Saya ingat kata Bung Karno dalam salah satu pidatonya yang mengatakan, “Indahnya taman sari karena keanekaan warna bunganya.” Ungkapan ini memiliki makna bahwa kemajemukan suku bangsa, bahasa dan budaya merupakan modal yang berharga bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sebagai benih perpecahan, tetapi kekayaan yang membuat besar dan kuat. Landasan berpikir ini memberikan makna kepada kita agar kita tidak iri akan keberhasilan, kemampuan orang lain. Tetapi menghargai kemampuan orang lain alih-alih kita manfaatkan untuk membantu mencapai tujuan kita. Inilah sikap kolaboratif sehingga menguntungkan kedua belah fihak.

  1. Setiap individu memiliki potensi yang relatif sama.
            Ilmu pengetahuan saat ini sudah demikian majunya sehingga semakin banyak rahasia Tuhan (alam) yang telah dapat diketahui dan dimanfaatkan seperti fisika, biolagi, psikologi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa otak merupakan salah satu bentuk rachmat Tuhan yang sangat luar biasa yang diberikan kepada kita. Teknologi telah mampu memotret otak manusia dalam kondisi hidup.Dari sini diketahui cell otak yang berjumlah sejuta-juta itu saling berhubungan satu sama lain dalam  pola pola yang tidak terhitung jumlahnya. Tony Buzan dalam bukunya Mind map mengatakan jumlahnya setara dengan galaksi dengan 200 milyart bintang. Cell  sangat kecil menurut ukuran mata kita, 10.000 cell otak dapat ditempatkan pada ujung jarum. Jadi jika kita menyusun cell otak kita keatas, tingginya bisa mencapai bulan pergi-pulang. (jarak bulan dari bumi 384.000Km). Setiap cell memiliki kapasitas melebihi kemampuan komputer standar yang paling canggih sekalipun. Otak ini merupakan pusat yang menggerakkan hidup kita. Otak kita merupakan kunci hidup kita.
            Itu tentang otak kita. Lalu bagaimana dengan tubuh kita? Tony Buzam mengatakan bahwa “manusia merupakan keajaiban hidup”. Ini berdasarkan data bahwa di seluruh tubuh kita memiliki 500.000 sensor sentuhan, mulut kita merupakan laboratorium yang paling canggih, dengan kombinasi rasa manis, asam, asin, dan pahit serta aroma, mulut dapat mengenali lebih dari miliar rasa yang berbeda. Sistem penciuman dapat mengenali bau kimiawi dalam satu bagian per trilyun udara. Kemampuan otak manusia ini tidak dibedakan menurut etnis, atau sosial. Karena kita meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil, Maha Murah, tidak akan membeda-bedakan rahmad kepada umat ciptaannya. Nah secara keseluruhan kita sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk membuat diri kita berhasil, dapat mepertahankan kehidupan kita bahkan dapat berkembang menjadi lebih baik.
            Lalu apa yang membedakan “nasib” manusia satu dengan yang lain, atau bangsa yang satu dengan yang lain? Ada rumor dalam masyarakat yang mengatakan “Otak orang Indosesia bila dijual harganya lebih mahal dari pada otak orang Jepang.” Mengapa demikian? Jawabannya karena otak orang Indonesia masih utuh, asli karena jarang dipakai untuk berpikir, sedang otak orang Jepang sudah aus karena sering dipakai. Ini pemikiran analogi bahwa barang yang sering dipakai akan menjadi aus, rusak. Tapi bagi otak manusia tidak berlaku hukum ini. Bahkan sebaliknya otak yang sering dipergunakan untuk berpikir akan lebih lama bertahan dari penyakit “pikun” mudah lupa. Sehingga para ahli psikologi menganjurkan bagi para manula agar membiasakan diri setiap hari mengisi tetak-teki silang untuk mempertahankan kemampuan otak, sehingga terhindar dari penyakit “pikun”.
            Bila kenyataannya tidak setiap orang dapat mencapai suatu tingkat kesuksesan yang sama dalam kehidupan, penyebabnya bukan karena modal yang kita miliki berbeda, tetapi lebih disebabkan karena penggunaan kemampuan kita yang berbeda. Saya ingat satu perumpamaan yang diberikan oleh Yesus tentang uang mina Lukas 19:11-27; (disadur secara bebas) Ada seorang bangsawan yang akan pergi, ia memanggil hamba-hambanya sebelum pergi. Ia memberikan kepada mereka masing-masing 1 mina dengan pesan untuk dipergunakan berdagang. Setelah bangsawan itu kembali dipanggillah hamba-hambanya yang telah diberinya uang untuk mengetahui hasilnya. Orang pertama mengatakan uang tuan yang satu mina telah menghasilkan 10 mina. Maka bangsawan itu sangat senang dan sebagai penghargaannya hamba itu diberinya kekuasaan pada 10 kota. Hamba yang kedua melaporkan bahwa satu mina telah menghasilkan 5 mina. Maka dengan pujian kepada hamba itu diberinya hadiah kekuasaan terhadap 5 kota. Kemudian datanglah hamba yang ketiga, dia mengembalikan satu mina pemberian tuannya dengan berkata bahwa dia tidak berani menggunakan mina itu karena tuannya sangat keras dan suka mengambil hasil yang bukan hasil jerih payahnya sendiri. Maka murkalah bangsawan itu dan menghukum mati hamba tersebut.
            Makna apa yang bisa kita dapat ambil dari cara berpikir ini? Bahwa keadilan bagi Tuhan tidak sama dengan keadilan bagi manusia. Keadilan Tuhan mutlak sama kepada setiap orang. Setiap orang dicintai sama, rachmad Tuhan berlaku untuk setiap orang hal ini digambarkan dengan disediakannya sinar matahari dan udara bagi kita. Hasil yang kita capai ditentukan oleh bagaimana kita mendayagunakan potensi yang kita miliki bukan ditentukan olehNya.

  1. Tuhan menciptakan manusia untuk sukses.
            Tuhan menciptakan manusia tentu dengan maksud baik. Itu keyakinan kita sebagai manusia yang beriman. Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan tujuan dihancurkan. Seperti layaknya kita manusia akan berusaha memelihara apa yang sudah kita buat. Pada Tuhan tidak ada sesuatu yang jelek, karena Tuhan adalah Maha Sempurna. Manusia diciptakan disertai modal yang cukup berupa potensi dan itu semua baik adanya. Manusia adalah ciptaan yang luar biasa, dan manusia adalah makluk yang sangat dikasihi.
            Sebagai tanda kasih Tuhan kepada manusia, diciptakan dunia ini baginya. Dunia diciptakan untuk manusia. Mau diapakan dunia ini terserah manusia. Tuhan hanya memberikan hukum sebagai rambu-rambu yaitu hukum sebab akibat. Olah sebab itu apa yang kita inginkan di dunia ini pasti terwujut, sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Collier, “Di dunia ini tidak ada yang tidak dapat anda miliki, begitu anda secara mental menerima kenyataan bahwa anda dapat memilikinya.” Dengan demikian maka apa yang kita hasilkan ditentukan oleh diri kita sendiri. Bagaimana responku terhadap peristiwa itulah hasilnya. Secara matematis dapat digambarkan dengan rumus E + R = O. (Event + Respond = Outcome) Apabila kita ingin merubah hasil, rubahlah respon anda. Kita tidak punya kemampuan untuk merubah peristiwa, karena peristiwa berada diluar kendali kita. Yang mutlak berada dalam kewenangan kita adalah respon kita. Apa sikap dan perlaku kita menghadapi peristiwa, terserah pada diri kita sendiri.
            Makna apa yang dapat kita ambil dari dasar berpikir ini? Tuhan Maha Kasih kepada kita sebagai ciptaanNya yang paling sempurna. Sebagai Maha Pencipta tentu tidak akan merusak sendiri ciptaan itu. Oleh sebab itu diberikanNya kita kemampuan untuk memanfaatkan dunia ini.  Seperti yang dikatakan oleh Adi W. Gunawan berikut ini; “Kita pada dasarnya adalah orang sukses. Kita sukses mencapai keberhasilan atau sukses mencapai kegagalan.” Mana sukses yang kita inginkan terserah pada pilihan kita sendiri.

            Mengenal orang lain sebagai  pendukung sukses.
            Stephen Covey, untuk menjadi efektif dalam hidup ini dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu kemenangan individu dan kemenangan publik. Kemenangan individu berkenaan dengan pengendalian diri dan pemberdayaan diri. Atau yang disebut kemandirian. Sedang kemenangan publik bekenaan dengan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Efek negatip dari pengaruh lingkungan terhadap diri kita adalah destorsi terhadap kemampuan asal yang kita miliki. Dari sinilah awal mula keterbatasan manusia sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Bahkan semakin tinggi peradaban manusia, semakin tinggi ketergantungannya pada orang lain. Dengan demikian  maka mengenal orang lain menjadi sangat penting dalam hidup kita.
            Kembali ke landasan berpikir, kita diciptakan sebagai makluk individu yang berbeda satu dengan yang lain. Tetapi di fihak lain, semua manusia sama. Sesuatu yang menyamakan kita adalah motivasi. Semua manusia memiliki kebutuhan yang sama. Bila kita mengacu pada pendapat A Maslow pemikir yang terkenal dengan herarki kebutuhannya, ada lima jenis kebutuhan manusia. Setiap orang pasti memiliki harapan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Harapan inilah yang menggerakkan setiap orang, yang oleh para ahli disebut motivasi. Kita mengenal banyak teori motivasi yang berdasarkan kebutuhan ini. Yang intinya kebutuhanlah yang mendorong orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jadi motivasi merupakan perekat untuk menyatukan menusia yang berbeda-beda tersebut.

Agar kita dapat mengenal orang lain dengan baik, syarat utama kita adalah harus mengenal diri kita sendiri. Apa tujuan kita, dimana posisi kita, umur, status sosial, bagaimana kondisi emosi kita saat berinteraksi dengan orang lain, karena ini semua akan berdampak pada sikap dan perilaku kita. Elwood N. Chapman mendefinikan; “Sikap adalah cara anda melihat sesuatu secara mental. Di dalam benak anda, di mana segalanya dimulai, sikap adalah cerminan jiwa.”  Misalnya seorang Kepala Satuan Kerja  memandang dirinya sebagai atasan bagi stafnya, maka dia akan menempatkan diri diatas stafnya dengan perilaku selalu PLN (Perintah, Larangan dan Nasehat). Berbeda tentunya bila dia memandang dirinya sebagai rekan  kerja, maka dia akan cerderung berperilaku menyemangati, memfasilitasi dan melayani stafnya.
  
Agar mampu membangun hubungan yang baik dengan orang lain diperlukan kemampuan bukan saja mengedepankan kebutuhan diri sendiri tetapi juga kemampuan mengenali dan berupaya memenuhi kebutuhan orang lain, atau minimal memberikan harapan akan terpenuhinya kebutuhannya. Stephen Covey menyebutnya “mental berkelimpahan”, yang maknanya kurang lebih adalah dunia ini milik kita bersama, bukan hanya aku yang punya hak tetapi juga orang lain. Lebih lanjut Covey memberikan hukum utama untuk memperoleh kemenangan publik yaitu; “Berbuatlah kepada orang lain, seperti apa yang kamu kehendaki mereka berbuat kepadamu.”  . Ini mengingatkan ku pada hukum Cinta-kasih yang Tuhan ajarkan :”... dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” (Markus 12:31). Dengan demikian maka aku puas, engkaupun puas adalah buah yang paling lezat dari interaksi sosial. Inilah makna hidup yang sesungguhnya.




Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar