Minggu, 10 Maret 2013

Marah

MARAH?
APA MANFAATNYA BAGIKU?

Fransiscus.
Juni 2011.

Saya yakin setiap orang pasti pernah marah, termasuk saya dan Anda. Marah tidak mengenal waktu dan tempat, bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Bersyukurlah bagi orang yang masih bisa marah. Pernyataan tersebut tidak dimaksudkan sebagai joke, tetapi beneran sebab orang yang masih bisa marah itu artinya masih mempunyai semangat hidup. Lalu apa kaitannya marah dengan semangat hidup? Karena orang yang memiliki semangat hidup masih memiliki kebutuhan, memiliki tujuan yang hendak dicapai, dan tentunya memiliki harapan akan dapat mencapainya. Harapan inilah yang mendorong (memotivasi) orang untuk melakukan  atau tidak melakukan sesuatu, kuat tidaknya dorongan itu sangat tergantung pada tinggi rendahnya nilai tujuan yang akan dicapai. Semakin berharga tujuan itu bagi hidupnya semakin besar hambatan yang dihadapi, tentunya semakin besar pula semangat yang dibutuhkan.
Makna hidup kita dapat dijelaskan oleh apa yang kita harapkan terwujud, apa yang mendorong kita melakukan atau tidak melakukan, apa yang bernilai dalam hidup kita. Saya yakin semua orang memiliki harapan, tetapi saya tidak yakin semua orang benar-benar sadar apa yang diharapkan. Dari hasil penelitian Stephen Covey hanya sepuluh proses orang yang benar-benar mengetahui tujuan hidup. Bila kita jujur pada diri sendiri, cobalah merenung sebentar apakah yang dikatakan Stephen Covey ini berlaku juga bagi diri kita? Saran saya bila tidak, lanjutkan dan bila ya, segeralah tentukan apa yang ingin anda capai? Sebab dengan menetapkan tujuan dengan jelas kita akan fokus, mengoptimalkan sumberdaya yang kita miliki kearah upaya pencapaian tujuan tersebut. Hasilnya tentu akan berbeda dengan bila kita berjalan tanpa arah yang jelas.
Dalam percakapan sehari-hari pada umumnya orang menyamaartikan marah dengan emosi. Yah, memang tidak terlalu salah, sebab bila dilihat dari sikap dan perilakunya, orang yang sedang marah sama dengan orang yang sedang emosi tinggi. Tapi tidak selalu orang yang sedang emosi tinggi itu sama dengan marah. Untuk memperjelas pengertian emosi mari kita berangkat dari arti katanya. Menurut The Grolier International Dictionary, kata emotion, berasal dari bahasa Latin e-movere, to move out, stir up. Kamus Inggris – Indonesia karangan John M Echols dan Hassan Shadily, kata emotion artinya perasaan, emosi. Jadi bergerak keluar,  perasaan, kan tidak selalu marah. Patricia Patton, dalam bukunya EQ di Tempat Kerja, emosi dinyatakan dengan rasa cemburu, terluka, marah, putus asa, bahagia, cemas dan takut. Perasaan–perasaan ini (emosi) terungkap dalam perilaku berupa keterbukakaan, semangat, keramahan, apatis, salah sangka, kenikmatan dan persahabatan. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa marah merupakan salah satu bentuk ungkapan perasaan atau emosi.
Dalam bidang ilmu psikologi saat ini telah terjadi perkembangan pandangan terhadap  makna marah (emotion). Ada dua perspektif tentang marah. Pertama,pada umumnya sampai saat ini kita memiliki perspektif yang negatif tentang marah. Artinya marah itu sikap yang jelek, karena kita menilai marah dari sudut pandang yang  negatif. Marah sebagai bentuk ungkapan kejengkelan, ketidakpuasan, kekawatiran, kekecewaan dan kondisi mental negatif yang lain. Marah yang demikian tentu akan menghasilkan kinerja yang negatif. Kondisi marah seperti itu memerlukan energi yang lebih besar dari diri kita. Marah mengganggu keseimbangan antara pikiran rasional dan emosional akibatnya orang tidak dapat melihat fakta, tidak dapat berpikir obyektif. Hasilnya salah mengambil keputusan, selanjutnya masalahnya tidak selesai, justru timbul masalah baru. Hasil akhirnya stres kinerja tidak optimal dan kondisi ini akan berpengaruh langsung pada kondisi pisik.  
Disamping merugikan diri sendiri, marah dalam arti negatif, juga merugikan orang lain, karena pelampiasan kemarahan, prilaku marah yang  berupa kata-kata maupun gerakkan pisik akan mengganggu ketenangan lingkungan, perasaan orang lain. Orang marah sering melontarkan kata-kata yang tidak terkontrol, pedas, keras, tajam, apa lagi disertai bahasa non-verbal suara keras cenderung berteriak, muka merah, mata melotot, bahu kaku, tangan mengepal atau berkacak pinggang, ini bentuk peragaan penampilan yang mengerikan yang membuat orang lain takut, tidak senang dan cenderung bereaksi negatif juga.
 Kedua, marah tidak selalu buruk, yaitu marah dipandang sebagai sikap yang baik, yang menunjukkan kekuatan, keperkasaan, yang diperlukan, yang harus ada dalam setiap upaya. Sebab tanpa kemarahan orang menjadi loyo, tidak bersemangat, demotivation, tidak akan menghantar pada tujuan yang diinginkan. Marah juga memberikan tanda yang jelas bagi diri sendiri dan terutama bagi orang lain tentang seperti apa sikap kita, karena sikap itu akan terungkap dalam perilaku. Kita dapat memastikan apa yang orang lain pikirkan berdasarkan bagaimana dia berperilaku, merespon, atau bereaksi terhadap fenomena yang dihadapi. Dengan melihat bagaimana dia berperilaku, orang lain akan lebih mudah menetapkan sikap dan perilaku yang tepat untuk menghadapinya. Berawal dari saling memahami inilah interaksi akan efektif, dimana keduabelah fihak akan merasa sama-sama senang, tidak ada rasa ketersinggungan.
Robert K Cooper, dalam bukunya Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi, memberikan penjelasan  perubahan perspektif terhadap emosi, yaitu perspektif konvensional dan perspektif kinerja tinggi sebagai berikut:
KONVENSIONAL
KINERJA TINGGI
Lambang kelemahan
Lambang kekuatan
Tidak boleh ada dalam bisnis
Penting dalam bisnis
Harus dihindari
Emosi memicu semangat belajar
Membingungkan
Memperjelas
Harus dipisahkan
Harus dipadukan
Menghindari orang yang emosional
Mencari orang yang emosional
Hanya pikiran yang diperhatikan
Emosi harus didengar
Menggunakan kata-kata tanpa emosi
Menggunakan kata-kata emosional
Mengganggu penilaian yang baik
Penting untuk penilaian yang baik
Mengalihkan perhatian kita
Memotivasi kita
Tanda kerentanan
Membuat kita nyata-nyata hidup
Menghalangi atau memperlambat penalaran
Mendorong untuk mempercepat penalaran
Menghalangi mekanisme kontrol
Membangun kepercayaan
Memperlemah sikap-sikap yang sudah baku
Mengaktifkan nlai-nilai etika
Menghambat aliran data objektif
Menyediakan informasi dan umpan balik yang vital
Merumitkan perencanaan
Memacu kreativitas & motivasi serta inovasi
Mengurangi otoritas
Mendatangkan pengaruh tanpa otoritas
Memperlambat pelaksanaan pekerjaan
Memicu pelaksanaan pekerjaan

Jadi telah terjadi pergeseran cara pandang terhadap emosi dari penghambat menjadi pembangkit dan penggerak. Emosi digolongkan dalam jenis kecerdasan manusia sejajar dengan intelegen (EQ dan IQ). Dalam the multiple intelligence- nya Gardner emosi menjadi salah satu jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Yang perlu menjadi pertimbangan kita sekarang bukan marah itu baik atau buruk. Tetapi bagaimana kita mengekpresikan kemarahan? Kita akan memilih marah yang negatif atau marah yang positif?
 Bagaimana cara kita memilihnya? Yang menjadi dasar atau tolok ukur marah itu positif atau  negatif adalah nilai atau tujuan yang ingin kita capai. Sebab positif atau negatifnya marah akan selalu dilihat dari dimensi “apa manfaatnya bagiku”? (“AMBAK”, Bobbi dePorter dalam Quantum Teaching) . Bicara tentang manfaat tentu tidak lepas dari apa yang akan terpenuhi dengan marah tersebut. Atau apakah hasil yang akan kita peroleh dari marah tersebut. Marah menjadi positif bila hasil yang kita peroleh sesuai yang kita inginkan atau tercapainya tujuan yang kita inginkan dan sebaliknya marah menjadi negatif bila hasilnya tidak sesuai dengan tujuan. Masalah kedua yang akan kita pertimbangkan dalam memilih marah atau tidak, adalah apa yang positif bagi kita belum tentu positif bagi orang lain. Oleh sebab itu tidak salah bila dikatakan bahwa marah memiliki dua demensi, yaitu demensi individual dan demensi sosial. Apabila tujuan atau nilai individu sesuai dengan nilai sosial sih, no problems, tapi hidup kita tidak selalu seperti itu. Kita lebih sering memiliki nilai atau tujuan yang berbeda dengan nilai sosial. Kita sering merasa terhalang oleh nilai sosial saat kita menginginkan sesuatu. Dorongan kehendak dalam diri kita seringkali ingin keluar dari nilai sosial yang kita anggap sudah tidak lagi sesuai. Dalam situasi seperti inilah kita dituntut untuk dapat menentukan sikap akan menjadi diri sendiri atau ingin menjadi seperti yang orang lain inginkan? Keputusan manapun yang kita ambil konsekuensinya sama, yaitu enak dan sengsara.

Manajemen marah.
Dari bahasan diatas, rasanya marah itu suatu yang wajar, bahkan harus kita miliki. Karena dunia yang kita diami ini rasanya semakin sempit akibat semakin penuh penghuninya. Secara tidak sadar kita setuju dengan Adam Smith yang mengatakan pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sedang pertumbuhan pangan  menurut deret hitung. Jadi pada suatu saat nanti manusia akan mati kelaparan. Ini pandangan yang sangat pesimis baik ditinjau dari kemampuan pikir manusia maupun secara spiritual. Semakin banyaknya penghuni bumi bukan pertanda malapetaka, tetapi itu menuntut semakin diperlukan pengoptimalan kemampuan otak manusia memang ya.
Kemarahan itu bersumber dari pikiran (persepsi) pemaknaan terhadap sesuatu yang tertangkap oleh indera. Persepsi ini didasarkan dari hasil pengalaman yang diperoleh selama hidup. Pengalaman ini menjadi pengetahuan, sesuatu yang telah terbukti sebagai kebenaran. Nah, inilah yang kemudian menjadi keyakinan (belief).  Dengan keyakinan (belief) inilah seseorang akan mengevaluasi  fenomena, atau informasi yang diperoleh dan hasilnya setuju atau tidak setuju. Keputusan manapun yang akan kita ambil, selalu diikuti oleh konsekuensi yang bersifat positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Setelah kita membahas berbagai aspek marah, lalu apa yang akan kita lakukan? Apakah kita perlu mencegah atau menghapuskan marah dari khasanah pikiran kita? Ini satu keinginan yang mustahil, oleh sebab itu saran saya adalah memanage marah itu agar lebih bermanfaat bagi hidup kita. Caranya adalah.
  1. Ingat pada hakekat diri kita sebagai manusia.
Dalam tulisan saya tentang mengenal diri, telah saya ungkapkan hasil renungan saya tentang hakekat penciptaan diri kita. Silahkan dibaca artikel sebelumnya di blog ini.Tuhan menciptakan diri kita berbeda satu dengan yang lain. Tidak pernah dan tidak akan pernah Tuhan menciptakan manusia yang sama. Apabila kita selalu ingat hakekat ini setiap kali berinteraksi dengan orang lain, kita tidak akan menjadi marah, bila orang lain berbeda dengan diri kita. Bila orang lain tidak seperti yang kita inginkan. Kita tidak akan mengukur orang lain dengan ukuran kita sehingga kita tidak akan membuat diri kita dan orang lain sakit hati. Kita akan tetap memandang diri sendiri dan orang lain secara proporsional, apa adanya. Aku adalah aku dengan segala demensinya dan engkau adalah engkau dengan segala demensinya.  Oleh sebab itu jadilah diri sendiri (be your self), sebagaimana Tuhan kehendaki. Dengan memahami hakekat manusia kita akan terhindar dari rasa marah yang negatif.
Berdasarkan pemikiran ini maka untuk mengendalikan (manage)  marah (emosi), pandanglah orang lain sebagaimana adanya dia. Jangan memandang orang lain sebagaimana yang aku inginkan / persepsi kita. Ingat setiap orang memiliki ukurannya sendiri-sendiri. Kita tidak bisa mengenakan ukuran kita untuk orang lain. Kita bukan produk masal, kata Jack Canfield. Kita diciptakan sebagai individu, diri kita sendiri. Maka trimalah perbedaan itu sebagai rachmad, artinya carilah dalam perbedaan itu apa yang bermanfaat bagiku. Apa yang dia miliki yang aku tidak miliki. Apa yang dia miliki yang dapat aku manfaatkan untuk membuat tujuanku tercapai. Dengan demikian maka marah dalam pengertian negatif akan hilang dari pikiran kita yang ada adalah kasih. Yaitu munculnya penghargaan, kekaguman, rasa homat dan ketertarikan untuk menjalin relasi.  Orang lain akan menjadi sahabat, menjadi saudara yang dengan senang hati akan menerima kita sebagai sahabat juga.
  1. Ingat bahwa semua orang itu sama.
Disamping Tuhan menciptakan diri kita berbeda-beda, Tuhan juga menganugerahkan hal yang sama kepada setiap manusia yaitu kebutuhan yang menjadi pendorong satu-satunya manusia untuk mau atau tidak mau melakukan, yang dalam bahasa ilmu disebut motivation. Mari kita lihat mengapa seseorang bisa marah? Satu hal yang menjadi penyebab adalah tidak terpenuhinya kebutuhan, atau ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan. Bahkan masih pada tingkat diperkirakan, sesuatu yang belum terjadi, tapi sudah melahirkan kekawatiran akan tidak terpenuhinya kebutuhan, itupun sudah dapat menyebabkan orang menjadi marah. Mari  kita renungkan kembali kejadian sehari-hari, baik di rumah maupun di kantor, hal-hal yang membuat kita marah, pasti ada hubungannya dengan kebutuhan kita. Apa saja kebutuhan kita, Abram Maslow telah memperkenalkan hirarkhi kebutuhan manusia yang apa bila kita simpulkan hanya dua yaitu kebutuhan pisik dan non-pisik. Lima tingkat herarakhi kebutuhan itu, empat tingkat diantaranya adalah kebutuhan non-pisik yang hanya dapat terpenuhi bila ada kehadiran orang lain. Dan hanya satu  kebutuhan yang merupakan kebutuhan puncak, yang pemenuhannya tidak dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, yaitu kebutuhan menjadi diri sendiri (self-actualization ).
Nah marah seringkali ditimbulkan oleh adanya  ketakutan, kekawatiran kehilangan sesuatu yang kita hargai yaitu kebutuhan. Mengapa ada ketakutan, kekawatiran? Karena pandangan yang negatif pada diri sendiri. Kita hanya mampu melihat diri sendiri dari kekurangan, kelemahan, keterbatasan, kita tidak melihat kemampuan, kekuatan, kelebihan, atau keluarbiasaan diri kita. Demikian juga halnya dalam melihat orang lain. Kita hanya melihat orang lain dari kekuatan, kehebatan dan kelebihan-kelebihannya dibandingkan diri sendiri kita tidak melihat bahwa orang lainpun memiliki kekurangan.Kita tidak obyektif melihat diri sendiri dan orang lain. Kita semua sama-sama memiliki kelemahan dan kekuatan, kelebihan dan kekurangan.
 Dengan melihat diri sendiri dari sudut pandang yang negatif seperti itu akan menghasilkan pandangan terhadap  orang lain nampak menjadi lebih besar, lebih kuat, lebih baik sehingga menjadi ancaman bagi diri kita yang akan mengalahkan diri kita. Orang lain dipandangnya sebagai pesaing, sebagai lawan berkompetisi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Dunia hanya selebar daun kelor, terlalu sempit untuk dibagi berdua. Kehadiran orang lain akan mengurangi jatah (porsi) yang akan diterima.  
Cara pandang terhadap dunia yang salah seperti ini harus dirubah. Pada saat Tuhan mendesain dunia ini sudah diperhitungkan dengan sangat teliti dan detail yang cukup untuk menampung umatnya. “Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmu dapat dihitung juga.”(Kejadian 13:16).  Inilah janji Tuhan pada Abraham. Bukankah Tuhan tidak pernah bohong, tidak pernah ingkar janji? Untuk apa kita takut tidak kebagian? Semuanya telah diperhitungkan, tidak ada satupun apa yang sudah diciptakan akan disia-siakan, semuanya akan mendpatkan bagiannya masing-masing. Bagi orang yang percaya, tidak ada alasan untuk kawatir tidak akan mendapatkan bagian. Hilangkan rasa takut, kawatir dan cintailah semua orang maka kita tidak akan marah pada diri sendiri dan orang lain.
Dari sinilah terjadi awal perubahan cara pandang terhadap orang lain yang semula orang lain adalah pesaing menjadi orang lain sebagai rekan, dari berpikir win-lose,  menang – kalah, menjadi berpikir kolaboratif win-win. Dengan demikian maka marah itu bersumber dari dalam diri sendiri, yaitu bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri, akan menentukan bagaimana kita mempersepsikan sesuatu diluar diri kita. Siapa aku menurut aku (self concept) akan menentukan siapa engkau menurut aku. Berdasarkan konsep ini maka yang perlu kita lakukan adalah pandanglah diri sendiri secara obyektif, agar dapat melihat orang lain dengan obyektif.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar